Jemaah haji asal Indonesia pada abad ke-19 hingga abad ke-20 acapkali diperdaya penduduk Arab. Mereka kerap diperas, baik oleh syekh, mutawif, maupun pedagang tanpa ampun.
Biasanya, para jemaah disuruh melakukan bermacam ziarah yang aneh, mahal, dan melelahkan karena mereka tak tahu ritus-ritus yang dijalankan dalam ibadah haji. Sasaran utamanya adalah jemaah haji asal Jawa. Orang Arab bahkan menyematkan julukan bernada menghina sebagai sebutan terhadap orang Jawa: farukha (ayam itik) dan Baqar (hewan ternak).
Menurut Islamolog terkemuka Snouck Hurgronje, dikutip Henri Chambert-Loir dalam Naik Haji Masa Silam 1482-1890, peziarah Nusantara menjadi sasaran empuk karena umumnya tak menguasai bahasa Arab dan tak tahu rukun, kewajiban, dan sunah haji.
“Mereka cenderung mengagumi segala sesuatu yang berbau Arab; meyakini diri mereka berasal dari suatu peradaban yang hina dan menganggap perlu membersihkan diri dari berbagai kenistaan itu,” tulis Chambert-Loir.
Tipu muslihat ini terus berlangsung dari waktu ke waktu hingga berdirinya Kerajaan Arab Saudi yang kemudian menerapkan regulasi.