Pada masa awal penyebarannya di Nusantara, agama Islam diajarkan secara informal. Anak-anak dan orang dewasa belajar membaca dan menghafal Al-Qur’an dari orang-orang kampung yang telah lebih dulu menguasainya.
Sejarawan Martin van Bruinessen menjelaskan bahkan sebelum abad ke-20 di Kalimantan, Sulawesi, dan Lombok belum ada lembaga semacam pesantren. Jadi, kalau ada seorang haji atau pedagang Arab mampir ke suatu desa di pulau-pulau itu, ia akan diminta singgah beberapa hari. Kemudian ia akan mengajarkan kitab agama di masjid seusai salat.
“Ulama setempat di beberapa daerah juga memberikan pengajian umum kepada masyarakat di masjid,” tulis Martin dalam Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat.
Murid-murid yang sangat berminat akan mendatangi ulama itu di rumahnya dan bahkan tinggal di sana untuk belajar agama. Sementara murid-murid yang ingin belajar lebih lanjut, biasanya pergi mondok ke Jawa. Bahkan, jika memungkinkan mereka akan langsung belajar ke Makkah.
“Itulah juga kiranya situasi yang ada di Jawa dan Sumatra selama abad-abad pertama penyebaran Islam,” jelasnya.
Datang Berguru
Martin menduga pesantren belum ada sebelum abad ke-18. Penyiaran agama Islam di Jawa awalnya dilakukan lewat paguron atau padepokan.
“Serat Centhini yang kadang membicarakan perguruan, tidak menyebutnya pesantren melainkan paguron atau padepokan,” tulis Martin.
Dikisahkan sebuah perguruan terkenal di Banten bernama Karang. Letaknya mungkin di sekitar Gunung Karang, sebelah barat Pandeglang.
Seorang pertapa, Danadarma, belajar di Karang selama tiga tahun di bawah bimbingan Seh Kadir Jalena. “Mungkin maksudnya ia belajar ilmu yang dikaitkan dengan sufi besar Abd Al-Qadir Al-Jailani,” jelas Martin.
Baca juga: Empat Penyebar Islam Pra Wali Songo
Tokoh lain, Jayengresmi atau Among Raga juga belajar di Karang. Ia dibimbing seorang guru Arab bernama Syaikh Ibrahim bin Abu Bakar, yang lebih dikenal dengan Ki Ageng Karang.
Dari Karang, Jayengresmi pergi ke paguron besar lainnya di sebuah desa di Jawa Timur. Perguruan itu dipimpin oleh Ki Baji Panutra. Sang guru dikisahkan menguasai kitab-kitab ortodoks dengan sangat mendalam.
Namun, Jayengresmi menurut Serat Centhini hidup sezaman dengan Sultan Agung Mataram, yaitu paruh pertama abad ke-17. Sedangkan serat ini baru disusun pada awal abad ke-19.
Serat Centhini ditulis atas perintah Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amengkunegara III yang memerintah Surakarta (1820–1823). Ia adalah putra Pakubuwono IV (1788–1820). Penyusunannya dipimpin Ki Ngabehi Ranggasutrasna, didampingi Raden Ngabehi Yasadipura dan Raden Ngabehi Sastradipura. Mereka dibantu Pangeran Jungut Mandurareja dari Klaten, Kiai Kasan Besari dari Panaraga, dan Kiai Mohammad Mindad dari Surakarta.
“Gegabahlah menganggap bahwa keterangannya benar untuk masa jauh sebelum Serat Centhini disusun,” jelas Martin.
Baca juga: Peran Ulama dalam Kerajaan Islam di Nusantara
Soal keberadaan kegiatan keagamaan di Karang itu, kata Martin, dibahas pula dalam primbon Jawa dari Kabupaten Banyumas. Namun yang disebutkan hanya keberadaan guru di Karang. Dikisahkan Seh Bari Karang (Seh Bari ing Kawis) yang konon telah menyebarkan ajaran para wali Jawa.
“Naskah dari Banyumas itu tidak menyinggung sebuah perguruan. Hanya menyebutkan sang syaikh,” kata Martin.
Alih-alih perguruan, baik di Karang maupun di tempat lain, sumber Sajarah Banten yang disusun pada abad ke-17 justru menyebut adanya tempat yang banyak didatangi orang untuk bertapa. Satu-satunya pengajaran agama yang disebutkan di kitab ini adalah pendidikan pribadi putra mahkota di tangan Kiai Dukuh dan qadhi kesultanan.
“Jadi pada abad ke-16 dan ke-17 yang ada adalah guru yang mengajarkan agama Islam di masjid atau istana dan ahli tasawuf yang berpusat di tempat pertapaan atau di dekat makam keramat,” jelas Martin.
Dai Kelana
Selain murid yang mencari guru, dai kelana juga memainkan peran dalam mengislamkan dan mengajar penduduk. Menurut Guru Besar Sejarah UIN Syarif Hidayatullah, Azyumardi Azra, dalam Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII & XVIII, mereka kebanyakan adalah orang sufi.
Kedatangan para dai di Sulawesi jauh lebih akhir dibandingkan dengan bagian barat Nusantara. Guru keliling dari Aceh, Minangkabau, Kalimantan Selatan, Jawa, Semenanjung Melayu, dan Timur Tengah, datang ke Sulawesi pada awal abad ke-17.
“Mereka mengislamkan sejumlah besar penduduk Sulawesi, mencapai keberhasilan jauh lebih besar setelah para penguasa setempat memeluk Islam,” tulis Azyumardi.
Baca juga: Ulama Tetap Berkarya di Tengah Wabah
Salah satunya adalah Yusuf al-Makassari. Ia memperoleh pendidikan dari para dai kelana. Pada waktu itu, Islam sudah mengakar kuat di Sulawesi Selatan.
Mulanya, Yusuf belajar membaca Al-Qur’an dengan guru Daeng ri Tasammang. Ia lalu belajar bahasa Arab, fikih, tauhid, dan tasawuf dengan Sayid Ba‘Alwi bin ‘Abd Allah al-‘Allamah al-Thahir, seorang dai Arab yang tinggal di Bontoala, wilayah di Makassar.
Ketika umur 15 tahun, Yusuf melanjutkan pelajarannya di Cikoang, sebuah desa di Sulawesi Selatan. Ia belajar kepada Jalal al-Din al-Aydid, seorang guru keliling.
“Guru keliling yang diriwayatkan datang dari Aceh ke Kutai, Kalimantan, sebelum akhirnya menetap di Cikoang,” kata Azyumardi.
Seusai belajar dari para guru itu, Yusuf kemudian menuntut ilmu ke Timur Tengah. Ia berguru pada banyak ulama terkemuka di berbagai negara.
Transmisi keilmuan tak berhenti sampai di sana. Banyak murid yang berkeliling mencari ilmu nantinya akan menjadi pengajar. Menurut Azyumardi, sumber-sumber Gowa menyebut Yusuf di Makkah telah mulai mengajar. Ia kemudian membawa ilmunya ke Nusantara hingga ikut membesarkan keislaman di Kesultanan Banten.
“Ketika al-Makassari kembali dengan membawa keunggulan keilmuan, Sultan Ageng Tirtayasa dengan segala cara termasuk lewat tali perkawinan, berusaha menahannya di Banten,” jelas Azyumardi.
Baca juga: Demak Mengislamkan Banten
Abdurrauf as-Singkili kemudian dikenal sebagai ulama terkemuka di Aceh. Namun, sebelumnya ia meninggalkan Sumatra sekira 1642 dan mengembara mencari ilmu di banyak tempat di Timur Tengah. Hal itu membuatnya tak pulang selama 20 tahun.
Menurut Carool Kersten, dosen senior Studi Islam dan Dunia Islam di King’s College London, dalam Mengislamkan Indonesia, Sejarah Peradaban Islam di Nusantara, ulama ini kemudian membangun reputasinya sebagai penyambung jejaring ulama yang memperoleh ilmu agama yang luas dan mendalam. Itu lewat puluhan tahun perjalanan dan pembelajaran di pusat-pusat pendidikan Islam di seluruh dunia.
“Asia Tenggara maritim sudah terintegrasi ke dalam jejaring intelektual dunia Islam yang lebih luas,” kata Kersten.
Utamanya Aceh, pada awal abad ke-17 adalah pos terdepan di zona Samudera Hindia. Ia telah mendapat reputasi sebagai pusat pendidikan Islam dan tempat berkumpulnya para ulama. Bukan hanya dari tempat di sebelah timur namun juga dari barat.
Model transmisi keilmuan itu masih berlanjut hingga abad-abad berikutnya. Ini nantinya merangsang kemunculan sistem lembaga pendidikan Islam awal di Nusantara.
Baca juga: Saran Para Ulama dalam Menghadapi Wabah
Sementara itu, menurut Azyumardi Azra dalam Surau Pendidikan Islam Tradisional dalam Transisi dan Modern, sistem pengajaran agama di Sumatra Barat berkembang dari Surau. Salah satu yang terkenal berada di Batuhampar, Payakumbuh, Sumatra Barat. Awalnya didirikan oleh kakek Mohammad Hatta, Syaikh Abdurrahman (1777–1899) setelah 48 tahun berkelana menuntut ilmu kepada berbagai ulama terkemuka di Sumatra.
Di sana, ia mengajarkan membaca Al-Qur’an. Banyak murid mendatanginya karena telah dikenal sebagai qari terkemuka. Murid-muridnya berdatangan dari dalam maupun luar Minangkabau, seperti Jambi, Palembang, dan Bangka. Banyaknya murid memunculkan gagasan untuk membangun kompleks pendidikan Islam dengan fasilitas memadai.
Kersten menyimpulkan bahwa kontak antarulama yang ikut serta dalam jejaring yang melintasi Samudera Hindia menimbulkan interaksi antarulama yang makin intens. Ini pun merangsang pertukaran ilmu Islam.
Baca juga: Pondok Pesantren dan Penyiaran Islam Tertua di Jawa
Pertukaran itu ikut mengembangkan budaya menulis muslim baru di Asia Tenggara menggunakan bahasa lokal. Lalu merangsang cara baru melegitimasi kekuasaan politik dan patronase kerajaan untuk pendidikan agama. Jejaring ulama itu kemudian ikut memunculkan pula sistem pendidikan Islam, seperti pesantren.
Azyumardi berpendapat, berkembangnya pendidikan Islam juga terdorong oleh keyakinan bahwa pendidikan atau pengajaran merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Banyak ayat Al-Qur’an, termasuk ayat pertama, menjelaskan kewajiban muslim menuntut pendidikan dan pengajaran di mana pun dan kapan pun.
“Karenanya dalam sejarah kaum muslim tradisi pengajaran selalu menempati posisi sangat penting,” katanya.