Pada 19 Februari 2006, massa Front Pembela Islam (FPI) berdemonstrasi di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta. Mereka memprotes visualisasi Nabi Muhammad Saw. di gedung Mahkamah Agung AS. Menurut selebaran yang dibagikan pendemo, patung buatan tahun 1835 itu sudah sering diprotes kaum muslim di seluruh dunia. Selain patung Nabi Muhammad, juga ada visualisasi Nabi Muda dan Confusius.
Tempo.co melaporkan demonstrasi yang berlangsung sekitar satu jam itu diwarnai perusakan kaca dan pagar kedutaan. Mereka juga melempari gedung kedutaan dengan batu dan telur busuk. Kerusakan meliputi pagar pembatas antrean, kaca jendela ruang tempat menerima tahu pecah, dan meja yang biasa digunakan satpam untuk menerima tamu digulingkan. Massa juga membakar bendera dan gambar Presiden AS George W. Bush.
Mereka beraksi tanpa menyadari bahwa sniper marinir AS mengintai dari atas gedung siap menembak.
Pihak Kedubes AS kemudian menghubungi Yahya Assegaf, agen Badan Intelijen Negara (BIN). Mereka menanyakan apakah FPI bagian dari Alqaeda Indonesia.
“Mereka juga mengatakan kepada saya bahwa marinir Amerika Serikat yang bersiaga di Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta siap menembak FPI jika akhirnya memaksa masuk ke gedung kedutaan,” kata Yahya Assegaf dalam John Sakava: Lika-Liku Perjalanan Mantan Staf Khusus Kepala BIN. John Sakava adalah nama alias Yahya Assegaf, agen intelijen keturunan Yaman-Jawa.
Baca juga: Sniper Kopassus Stres, Menembaki Orang di Papua
Yahya menjawab pertanyaan dari pihak Kedubes AS itu: “saya bisa pastikan seratus persen bahwa organisasi itu sama sekali tidak punya afiliasi apa pun dengan Alqaeda, sebaliknya percayalah pada saya, FPI aman di tangan polisi karena mereka mitra polisi.”
Dengan posisi FPI seperti itu, Yahya yakin mereka tidak mungkin sampai merusak atau mengancam Kedubes AS atau simbol dan aset AS di Indonesia. Kendati pada demonstrasi besar FPI di depan Kedubes AS di Jakarta, massa beringas dan seakan akan merangsek masuk ke gedung kedutaan, sampai-sampai marinir AS bersiap menembak di atap gedung kompleks Kedutaan AS.
Anjing Penyerang
Apa yang disampaikan Yahya kepada pihak Kedubes AS kemudian muncul dalam laporan intelijen yang dibocorkan WikiLeaks pada September 2011. Dalam laporan itu disebut FPI menerima aliran dana dari kepolisian. WikiLeaks juga menyebut Yahya sebagai sumber yang memberitahu Kedubes AS di Jakarta bahwa polisi memanfaatkan FPI sebagai “anjing penyerang”.
FPI marah dan mengeluarkan selebaran yang menyebut Yahya pengkhianat negara sekaligus agen CIA yang menyusup ke BIN. Dia juga dituduh sebagai anggota BIN yang menjual informasi palsu ke AS. Sementara itu Polri juga membantah semua hal yang disebut WikiLeaks bahwa beberapa pejabatnya sengaja melindungi dan memelihara FPI.
Baca juga: Mulai Gilchrist Sampai WikiLeaks
Seorang perwira Polri mengatakan bahwa apa yang dilakukan Polri sehingga dianggap publik dekat dengan FPI adalah demi meminimalisasi kasus-kasus kekerasan yang berhubungan dengan FPI. “Masyarakat sudah cerdas. FPI merupakan ormas yang berkembang di masyarakat. Polri institusi negara hubungannya sebagai mitra yang sifatnya positif untuk kepentingan bangsa,” katanya.
Yahya mengakui telah memberikan jawaban atas pertanyaan pihak Kedubes AS apakah FPI ada kaitannya dengan Alqaeda. Menurutnya FPI tidak ada kaitannya dengan jaringan teroris manapun, termasuk Alqaeda.
“Mengenai istilah ‘anjing penyerang’, itu sama sekali bukan dari mulut saya,” kata Yahya. “Saya memang tidak bersepakat dengan cara dan metode kerja FPI, namun saya tidak mungkin sebodoh itu mengucapkan kalimat itu.”
Yahya yakin istilah itu adalah penafsiran orang Kedubes AS yang mendapatkan informasi tidak hanya darinya, namun juga dari orang lain.
Perkataan Yahya yang ditafsirkan orang Kedubes AS mungkin bagian “FPI aman di tangan polisi karena mereka mitra polisi.” Dan “FPI mitra polisi” terlihat dalam aksi 22 Mei 2019.
“Ini (massa) bukan dari Jakarta, bukan Petamburan. Kami juga tadi dibantu tokoh FPI dan ulama menghalau mereka,” kata Komisaris Besar Hengki Haryadi, Kapolres Metro Jakarta Barat, dikutip kompas.com. Massa itu yang diamankan berasal dari Tasikmalaya, Banten, bahkan Flores.
Namun, masyarakat tetap banyak yang tak suka FPI karena aksi-aksinya meresahkan.