Masuk Daftar
My Getplus

Dari Lapangan Kerbau Sampai Lapangan Monas

Monas berawal dari padang rumput luas tempat kerbau mencari makan. Menjadi tempat rekreasi keluarga.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 13 Jun 2019
Tugu Monas dikelilingi oleh pepohonan rimbun dan taman luas. (Hendaru Tri Hanggoro/Historia).

Banyak orang telah masuk kerja kembali pada 10 Juni kemarin setelah libur panjang Lebaran 2019. Tapi sebilangan orang masih memiliki jatah liburnya hingga beberapa hari lagi. Mereka memanfaatkannya dengan membawa keluarga ke tempat wisata. Salah satunya ke kawasan Monumen Nasional (Monas), Jakarta.

Ribuan orang tampak mengunjungi kawasan Monas pada Selasa, 11 Juni 2019. Banyak keluarga antre lebih dari sejam demi naik ke puncak Monas. Tiketnya murah. Antara Rp2.000 sampai Rp10.000 per orang, bergantung usia pengunjung. Keluarga lainnya merasa cukup berkeliling taman atau gelar tikar menikmati rindangnya kawasan Monas secara gratisan.

Kawasan Monas dulunya hanyalah padang rumput luas. Lukisan karya E. Hardouin, pelukis Prancis (hidup pada 1820–1854), menunjukkan beberapa hewan ternak memakan rumput sehingga kawasan ini sempat bernama Buffelsveld (lapangan kerbau).

Advertising
Advertising

Pepohonan rimbun mengelilingi sisi terluar padang rumput. Tampak pula Gunung Salak, Buitenzorg (sekarang Bogor), Gunung Gede, dan Gunung Pangrango di arah selatan. Hanya terlihat dua bangunan di sisi luar Buffelsveld: sebuah rumah dan satu gereja.

Kawasan Monas kali pertama berkembang seiring perluasan kota Batavia ke selatan yang sejuk (Weltevreden) pada masa Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels (1808–1811), seorang pendukung Napoleon Bonaparte dan Revolusi Prancis.

Lapangan Militer Berlatih

Di Weltevreden inilah banyak bangunan milik pemerintah berdiri. Tadinya pusat pemerintahan terletak di utara, dekat laut. Tersebab degradasi lingkungan dan kesehatan di utara, pusat pemerintahan bergeser ke selatan.

Daendels membeli tanah luas tak jauh dari Pavilljoensveld (sekarang Lapangan Banteng). Dia lalu meratakan tanahnya, memberikan jalan di setiap sisi luarnya, membentuknya menyerupai persegi, dan mengubahsuaikan namanya.

Baca juga: Bara di Bekas Lapangan Singa

“Daendels memberi nama Champ de Mars pada lapangan luas ini,” catat Adolf Heuken dalam Medan Merdeka Jantung Ibukota RI. Champ de Mars berfungsi sebagai tempat latihan militer. Tujuannya menyiapkan militer untuk menghadapi serangan Inggris. Kerbau dan penggembalanya tak boleh masuk untuk sementara.

Daendels beroleh panggilan pulang ke Prancis dari atasannya pada 1811. Jan Willem Janssens, pengganti Daendels, tak bisa mempertahankan Batavia dari serangan Inggris. Kawasan ini jatuh ke Thomas Stamford Raffles, seorang Letnan-Gubernur atau pemimpin tertinggi di Hindia Timur (1811–1816).

Raffles membeli rumah di Rijskwijk (sekarang Jalan Veteran), 300 meter dari Champ de Mars. Kebunnya luas, membentang hingga Champ de Mars. Sejak Raffles membeli rumah di sana, persil-persil di sekitar Champ de Mars mulai terisi oleh rumah milik pejabat. Setelah masa Raffles, lapangan ini berganti nama menjadi Koningsplein atau Lapangan Raja.

Para pejabat membangun rumah di sisi luar Koningsplein dengan gaya Indische Woonhuis. Konsepnya berasal dari adaptasi arsitektur klasisisme dengan tuntutan iklim tropis. Maka ciri-ciri utamanya terlihat pada serambi luas; langit-langit, pintu, dan jendela yang tinggi; permukaan lantai agak naik; dan atap menjulang berbentuk perisai, menjorok keluar tembok.

Gubernur Jenderal juga bertempat tinggal di sekitar Koningsplein (sekarang bangunan itu menjadi Istana Negara). “Karena gubernur-jenderal mulai tinggal di Istana Negara (1818), maka beberapa instansi pemerintah dan kantor perusahaan besar mulai dibangun di pinggir lapangan luas ini sejak awal abad ke-19,” tulis Adolf Heuken dalam Tempat-Tempat Bersejarah di Jakarta.

Wajah Koningsplein berubah drastis memasuki paruh pertama abad ke-20. Ia tak lagi padang rumput hijau nan luas. Peta milik Topographische Inrichting Batavia pada 1918 dan revisinya pada 1921 menunjukkan kehadiran lapangan olahraga berbentuk oval di sisi dalam bagian timur. Juga tampak beberapa taman kecil dan bioskop (Deca Park) di sisi dalam bagian barat. Rel dan stasiun kereta api (sekarang menjadi Stasiun Gambir) muncul di sisi luar bagian timur

Luas lahan hijau di Koningsplein semakin mengecil memasuki 1930-an. Pemerintah Kolonial mendirikan bangunan baru semi permanen untuk menggelar pasar malam tahunan tiap Agustus untuk merayakan kelahiran Ratu.

Tak pernah Sesuai Rencana

Semua pembangunan di sisi dalam itu melenceng dari rencana penataan Koningsplein. Rencana penataan terawal karya C. Deeleman pada 1878 memperlihatkan sisi dalam bagian barat lapangan akan diisi oleh sejumlah rumah.

Terdapat pula rencana pembuatan jalan setapak dari empat sisi tampak melingkar menuju sisi dalam lapangan. Di tengah lingkaran itu nantinya akan berdiri sebuah monumen.

Rencana penataan kedua Koningsplein keluar pada 1892. Dr. M. Treub, perancangnya, mengajukan empat jalan menyilang tanpa pohon. Masing-masing dari sisi terluar lapangan, menuju sisi dalam bagian tengah.

Empat jalan itu akan bertemu di tengah dan membentuk lingkaran. Di pusat lingkaran, Treub berencana membangun air mancur. Dia tak memasukkan bangunan apapun di sisi dalam lapangan demi membuat aliran udara tetap lancar dan tidak menghalangi pemandangan.

Ketika sisi dalam Koningsplein kian semrawut dengan berbagai bangunan pada 1930-an, Pemerintah Kotapraja (Gemeente) Batavia menugaskan Biro Karsten, Lutjens, en Toussaint di Semarang untuk menata ulang. 

Gemeente meminta kehadiran gedung balaikota di sisi dalam Koningsplein. Biro Karstens, Lutjens, en Toussaint menempatkan gedung itu di tengah lapangan. Rencana Biro itu juga memuat penambahan pepohonan dan pembuatan boulevard baru untuk kendaraan bermotor di sekitar stasiun kereta api.

Tapi semua rencana tersebut tak pernah mewujud. “Tak ada yang dilaksanakan,” catat Heuken.

Menjadi Taman Besar

Sebuah rencana penataan Koningsplein mengemuka lagi ketika pengelolaan lapangan tersebut berada di bawah Pemerintah Indonesia. Saat itu nama Koningsplein berubah jadi Lapangan Merdeka, sesuai dengan nama jalan di empat sisi luar lapangan tersebut.

Sukarno menghendaki wajah baru Lapangan Merdeka. Sebuah taman besar dengan empat ruas boulevard di sisi luar, jalan diagonal di sisi dalam, dan tugu monumental di tengah lapangan serupa Menara Eifel di Paris, Prancis. Itu berarti segala bangunan di sisi dalam lapangan harus rata tanah. Salah satunya Stadion Ikada, tempat penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional ke-2 pada 1951.

Baca juga: Yang Terlupa dalam Rapat Raksasa Ikada

“Lapangan merdeka sebagaimana diketahui luasnya lebih kurang 100 hektar bila telah dikosongkan sama sekali. Memang pengosongannya tidak lama lagi akan dimulai yaitu untuk pembuatan jalan-jalan diagonal dari tengah lapangan ke keempat sudut lapangan,” tulis Star Weekly, 17 Juni 1961.

Kehendak Sukarno mulai terlaksana pada 1962. Stadion Ikada dibongkar dan sayembara pembuatan tugu diumumkan. Lapangan Merdeka perlahan kosong. Aktivitas olahraga pindah ke wilayah Senayan. Tetapi pembangunan tugu justru selesai ketika kekuasaan Sukarno berakhir pada 1968. Tugu itu bernama Monumen Nasional (Monas).

Tetapi lapangan itu tak lantas menjadi taman besar. Setelah kekuasaan Sukarno berakhir, pembangunan sisi dalam lapangan justru kian marak. Taman Ria berdiri di sisi dalam bagian barat-daya pada 1969. Pasar Gambir hidup kembali di sisi dalam bagian selatan, tetapi namanya menjadi Pekan Raya Jakarta (PRJ). Tenda-tenda, warung pedagang kaki lima, taksi, dan bus juga turut menyesaki lapangan tersebut.

Baca juga: PRJ untuk Rakyat

Keruntuhan Orde Baru melahirkan kebiasaan baru warga: berdemonstrasi di depan Istana Merdeka, kantor dan tempat tinggal Presiden. Maraknya demonstrasi mengkhawatirkan Sutiyoso, Gubernur Jakarta 1997–2007. Dia memagari lapangan Monas untuk menjaga wilayah tersebut dari kerusakan. Kendaraan bermotor tak bisa lagi melintasi jalan diagonal. Aspal jalan diubah konblok untuk menyokong kebutuhan pejalan kaki.

“Efek sampingan dari tindakan itu baik: Lapangan luas menjadi bersih, ditanami berbagai jenis pepohonan dan tetap dapat dinikmati pejalan kaki dengan aman,” terang Heuken.

Sekarang kawasan Monas menjadi ruang terbuka hijau atau paru-paru kota terluas di ibukota. Ia juga menjelma tempat bagi keluarga untuk mengikat momen-momen hangat di ruang publik yang sejuk.

TAG

Jakarta Monas

ARTIKEL TERKAIT

Samsi Maela Pejuang Jakarta Ketika Hujan Es Melanda Jakarta Sri Nasti Mencoba Melepas Trauma 1965 dengan Suara Ketika Perayaan HUT RI Marak Lagi di Jakarta Buah dan Susu di Duren Tiga Menikmati Pameran “Para Sekutu Yang Tidak Bisa Berkata Tidak” Tempat Jin Buang Anak Jejak Bung Karno di Jakarta Saksi Bisu Kerusuhan Mei 1998 di Glodok Warna-warni Mudik Lebaran Tahun Ini di Jakarta