LANGIT di atas Bogor berwarna biru cerah pagi itu. Bayangan bulan separuh terlukis sebagai sisa-sisa malam yang tertinggal. Di mulut Jalan Suryakancana, persis dekat Vihara Dhanagun, orang-orang berpakaian merah berkumpul. Dari menit ke menit, jam ke jam, jumlahnya semakin bertambah hingga puncaknya mencapai 40-an orang.
“Ayo kawan-kawan, ibu-ibu-bapak-bapak, jam 9 teng kita akan langsung berangkat ya,” ujar Ramadhian Fadillah (36), seorang lelaki berkacamata.
Iyan (panggilan akrab Ramadhian Fadillah) merupakan salah satu pemandu dari Bogor Historical Walk (BHW). Itu adalah nama sebuah komunitas non profit yang memiliki misi mengenalkan sejarah dan keanekaragaman budaya di Kota Bogor. Didirikan pada 2019, BHW pada awalnya hanya kumpulan anak-anak muda yang memiliki minat yang sama: mempelajari sejarah Bogor.
Baca juga:
Dua Abad Membangun Reputasi Kebun Raya Bogor
“Awalnya cuma kegiatan untuk mengasuh anak dan mengenalkan sejarah. Cuma saat beberapa kawan ikut bergabung, lalu muncul usul kenapa nggak dibuat untuk publik saja sekalian,” ujar Iyan yang juga seorang jurnalis.
Setelah melakukan riset seperlunya, maka pada 14 September 2019, BHW pun bergerak. Dengan dibantu anggota BHW lainnya yakni Leni Maria Dewi, Yessy Elizabeth, Habibie Faturachman dan Arief Rachman Hakim, Iyan memandu tur umum pertama mereka bertajuk “Bogor Era Kolonial”.
Dengan 25 peserta, BHW berkeliling Bogor. Rute yang mereka singgahi masing-masing Stasiun Bogor, Jalan T.B. Muslihat, Katedral, Balai Kota dan berakhir di Lapangan Sempur.
Kegiatan perdana mereka ternyata disambut secara antusias oleh orang-orang lintas profesi yang memiliki minat terhadap sejarah Bogor. Berita adanya tur sejarah kota Bogor cepat menyebar melalui jejaring media sosial. Maka setiap bulan secara rutin BHW selalu mengadakan tur Bogor Era Kolonial.
“Rupanya banyak juga orang yang ingin tahu sejarah Bogor. Bukan hanya orang Bogor saja tapi juga dari Jakarta dan Depok. Nah, kami ada untuk menjawab keingintahuan itu,” kata Iyan.
Uniknya, BHW tidak menerapkan sistem “pemandu tahu segalanya”. Di tur mereka, semua peserta bisa menjadi narasumber dan saling melengkapi pengetahuan yang ada. Tidak heran, jika usai satu tur, alih-alih menjadi jenuh, pengetahuan peserta dan pemandu tentang Bogor malah semakin bertambah. Cerita-cerita baru itu tentu saja selalu disampaikan dalam pertemuan berikutnya.
Baca juga:
De Brings Tjiandjoer, Berjalan Berbareng Belajar Sejarah
Untuk mendapatkan situasi dan pengetahuan baru, maka sejak Januari 2020, BHW membuat tema “Jejak Naga di Suryakancana”. Tema ini menelusuri sejarah perkembangan orang-orang Tionghoa di kota hujan itu. Mulai dari Vihara Dhanagun hingga rumah bekas kapiten Tionghoa di Bogor.
Tak dinyana tema tersebut mendapat sambutan yang sangat luar biasa. Sejak mengeluarkan pengumuman, orang yang mendaftarkan diri sebagai peserta seolah tak ada hentinya.
“Bahkan sampai melebihi jumlah 250 orang. Itu pun terpaksa kami tolak sebagian karena kami membatasinya hanya sampai angka 250 saja” kata Yessy alias Echie.
Merasa tidak mungkin melayani semuanya dalam satu tur, maka BHW membagi jumlah itu dalam beberapa sesi. Satu sesi dijalankan pada setiap Sabtu pagi hingga tengah hari.
“Jumlah yang kami sanggup menanganinya hanya sekitar 40-an dalam setiap sesi. Itu pun lalu dibagi dua kelompok menjadi masing-masing 20 orang,” ungkap Leni.
Dalam setiap tur ada pembagian kerja yang tetap di kalangan BHW. Jika Iyan, Habibie dan Echie merupakan spesialis sebagai periset dan pemandu, maka Leni dan Arief berlaku sebagai tim pendukung meliputi masalah-masalah teknis seperti logistik, perlengkapan dan dokumentasi.
Lantas bagaimana komentar para peserta setelah mengikuti tur BHW itu? Rata-rata menyatakan sangat puas dan kecanduan ingin ikut kembali. Seperti Nina, misalnya. Penduduk Bogor itu menyebut kegiatan tur kota Bogor tersebut jelas sekali manfaatnya bagi dirinya.
“Walau saya tinggal sudah lama di Bogor, tapi cerita seputar obyek-obyek yang saya kenal sejak kecil itu tidak selamanya saya tahu latar belakangnya. Di kegiatan ini, nyaris semua terjawab dan saya jadi memiliki pengetahuan baru,” ujar alumni Fakultas Ilmu Budaya Jurusan Sastra Prancis UI itu.
Baca juga:
Memori Perjuangan Kota Bogor yang Mulai Dilupakan Orang
Senada dengan Nina, Idris yang datang dari Cibubur, Jakarta Timur menyatakan bahwa tur yang diadakan oleh BHW itu merupakan kegiatan yang patut menjadi referensi para peminat sejarah di sekitar Jabodetabek. Dia kagum bahwa kegiatan itu justru diinisiasi oleh anak-anak muda.
“Sayang, pesertanya kebanyakan orang separuh baya ke atas ya…Ke depan semoga lebih banyak kalangan mudanya,” ujar lelaki berusia 52 tahun itu.
Iyan mengakui soal itu. Dia tidak menafikan jika sebagian besar peserta datang dari kalangan tua. Seiring waktu, dia memang berencana untuk lebih gencar lagi mengajak kalangan muda.
“Tapi ya pelan-pelan saja, tidak usah terburu-buru. Toh ini pun kami lakukan atas dasar kecintaan kami kepada sejarah saja. Jadi tidak usah ada target dulu-lah. Berapa pun jumlah peserta, jalan saja,”ujarnya.
Langit di atas Bogor mulai memutih. Matahari sudah mencorong dan membagikan hawa panasnya kepada penghuni bumi. Peluh pun mulai berjatuhan di wajah-wajah para peserta. Keletihan mulai membayang. Namun begitu, mata mereka terlihat bersinar penuh kegembiraan.
“Bulan depan kalau ada tema lain, boleh kasih tahu saya lagi ya,” ujar salah seorang peserta sambil memasuki mobilnya untuk kembali ke Jakarta.
Baca juga:
Tewasnya Perwira Australia di Bogor