Memori Perjuangan Kota Bogor yang Mulai Dilupakan Orang
Museum ini mengabadikan pejuangan di Kota Bogor. Sayang, sepi pengunjung.
PADA 26 Oktober 1957, puluhan pejuang kemerdekaan se-Karesidenan Bogor berkumpul di rumah Bupati Bogor, R.E. Abdoellah, di Jalan Panaragan No. 31. Secara aklamasi, mereka menyepakati bahwa gedung di Jalan Cikeumeuh No. 28 (sekarang Jalan Merdeka) sebagai Museum Perjoangan.
Mulanya bangunan tersebut adalah gudang barang milik Wilhelm Sustaff Wissner, sejak 7 Juli 1879. Setelah beralih tangan beberapa kali, gedung ini sempat menjadi kantor perusahaan. Kemudian pada Juni 1938 menjadi gedung persaudaraan Parindra (Partai Indonesia Raya) cabang Bogor. Lalu sejak 9 Maret 1942, tentara Jepang memfungsikan gedung ini sebagai gudang.
“Pada periode 1945-an, beragam laskar rakyat dan organ perjuangan lain juga berkoordinasi di sini. Kapten Muslihat, Mayor Oking, dan Margonda sering pula berkumpul di gedung ini. Kemudian pada 1949, menjadi kantor pemerintah darurat kabupaten,” ujar Ma’ruf (46 tahun), kurator Museum Perjoangan Bogor, kepada Historia. Sekolah Rakyat juga pernah bertempat di gedung tersbut sekira tahun 1952.
(Baca: Margonda Sang Legenda Revolusi, Kisah Cinta Margonda, Riwayat Sebuah Jalan)
Kartinah Muslihat, istri almarhum Kapten Muslihat, melantik dewan pengurus Yayasan Museum Perjoangan Bogor (YMPB) pada 10 Nopember 1957. Tak lama berselang, muncul surat keputusan Pelaksana Kuasa Militer Daerah Res. Inf 8/III-No. Kpts/3/7/PKM/57, yang berisi arahan kepada pengurus YMPB untuk mempersiapkan dan mengusahakan gedung Museum Perjoangan agar dapat diwujudkan dan diresmikan pada 17 Agustus 1958.
Sejak 1958-1981, Museum Perjoangan tersebut tak pernah tersentuh renovasi. Pada 18 September 1981, seperti dicatat harian Merdeka 16 Agustus 1987, Jawatan Gedung-gedung Bogor menyatakan kondisi bangunan Museum Perjoangan Bogor secara keseluruhan dinyatakan rusak.
YMPB pun berusaha melakukan renovasi dengan melakukan penggalangan dana. Setelah menghabiskan dana sekira Rp80 juta, akhirnya renovasi selesai pada Juni 1987. Bangunan bertingkat satu ini pun mulai menambah koleksinya, terutama dari era revolusi fisik 1945.
YMPB membentuk tim khusus untuk sejarah lisan untuk membuat diorama, sebagai bagian koleksi museum. Beberapa diorama itu antara lain peristiwa pertempuran Kapten Muslihat pada 25 Desember 1945, pertempuran di Maseng, pertempuran di Kota Paris, dan peristiwa Cemplang.
Hingga tahun 2014, Museum Perjoangan Bogor masih menerima koleksi hibah dari eks pejuang. “Meski sudah dihibahkan ke museum, tak serta merta artefak tersebut bisa di-display. Harus melalui verifikasi yang ketat dan informasi yang akurat tentang sejarah dan fungsi artefak tersebut,” terang Ma’ruf.
Berdasarkan buku tamu, tak banyak pengunjung yang datang di museum tersebut, meski tarif masuknya terbilang murah hanya Rp4.000. “Saya sengaja di hari kemerdekaan ini datang mengajak anak dan istri saya kesini. Selain mengenalkan sejarah kepada anak-anak, juga sudah lama saya tidak kesini. Kunjungan pertama tahun 2005, dan ini yang kedua,” ujar Dede Supriyana, 28 tahun, pengunjung museum kepada Historia.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar