Masuk Daftar
My Getplus

Haji Engkar Meresahkan Jonggol

Sebelum pecah kongsi dan membentuk pasukan sendiri, Haji Engkar pengikut Kartosuwiryo dan komandan DI/TII Jonggol. Meresahkan banyak pihak.

Oleh: Petrik Matanasi | 15 Agt 2024
Para personel tentara APRI berpatroli di era Pemberontakan DI/TII (IPPHOS)

SEBELUM ada Ibukota Nusantara di Kalimantan Timur, Jonggol pernah diwacanakan menjadi ibukota Indonesia menggantikan Jakarta. Letaknnya tak terlalu jauh dari Jakarta. Selain itu, kecamatan luas di Kabupaten Bogor yang berbatasan dengan Bekasi di sisi utara dan Cianjur di sisi selatan ini dikenal sejuk hawanya dan reliefnya yang berbukit-bukit. Jonggol punya kawasan hijau yang agak sulit dijangkau kendaraan bermesin hingga kini.

Di zaman “Gerombolan” alias Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) 1950-an, Jonggol sempat dijadikan daerah gerilya pengacau keamanan. Sebelum menjadi basis gerilya gerombolan, daerah Jonggol merupakan daerah gerilya batalyon ke-3 Siliwangi yang dipimpin Mayor Hartono Rekso Dharsono semasa Perang Kemerdekaan. 

“Batalyon Dharsono di daerah Jonggol (sebelah timur Bogor), diperkuat oleh Kompi Oking,” sebut Abdul Haris Nasution dalam Sekitar perang kemerdekaan Indonesia: Perang Gerilya Semesta.

Advertising
Advertising

Daerah Jonggol relatif aman untuk menghindari kejaran tentara Belanda. Namun sebaliknya, di masa kolonial Hindia Belanda, Jonggol sempat tidak aman bagi pemerintah. Het Dagblad edisi 18 Mei 1937 memberitakan, Geng Pa’i meresahkan di Jonggol sebelum pimpinannya ditangkap dan diadili kemudian.

Setelah Indonesia merdeka, pada 1950-an, Jonggol kembali tidak aman. DI/TII menjadikannya sebagai daerah perlawanan.

Ada seorang DI/TII yang begitu berpengaruh di sana, yakni Haji Engkar. Kemungkinan dia dan kelompoknya sudah beroperasi di Jonggol sejak sebelum pengakuan kedaulatan,  sebagaimana Het Dagblad taggal 8 Maret 1948 memberitakan bahwa ada gerombolan di Bogor di bawah pimpinan Haji Engkar bin Haji Mangku yang tertangkap di Cipayung Bogor. Sama atau tidak, Haji Engkar adalah legenda Bogor.

Mula-mula Haji Engkar diamanahi memimpin pasukan DI/TII di Jonggol. Menurut Cees van Dijk dalam Rebellion Under the Banner of Islam  The Darul Islam in Indonesia, Haji Engkar membawahi sekitar 400-500 pengikut di kawasan sekitar Bogor dan Cianjur (baca: Jonggol). Jumlah pasukan Haji Engkar itu setara dengan satu batalyon kecil era 1940-an.

Pada awal 1950-an, Haji Engkar adalah bahan pemberitaan koran Belanda. Nieuw Dagblad voor Sumatra tanggal 20 Maret 1951, misalnya, memberitakan Haji Engkar bisa bergerak ke Leuwiliang, Bogor Selatan dari Jonggol yang berada di Bogor Timur.

Gangguan gerombolan Haji Engkar awalnya cukup kuat. Di Desa Cimapir, diberitakan De Preanger-Bode tanggal 18 Januari 1952, pada Senin, 14 Januari 1952 malam diserang  Sapran dkk. Sapran dkk. merupakan bagian dari gerombolan Haji Engkar. Anggota gerombolan menembak serampangan dan melukai seorang perempuan. Gerombolan Sapran juga merampas uang senilai Rp5000,-.

Namun setelah 1953 kekuatan gerobolan Haji Engkar melemah. Koran Java Bode tanggal 5 Agustus 1953 memberitakan, dia dikejar-kejar Tentara Nasional Indonesia (TNI) sejak sebelum 1950 hingga tahun 1953 Haji Engkar dan pengikutnya terdesak.

Gerombolan Haji Engkar, sebagaimana diberitakan Indische Courant, 14 September 1953, dikejar pasukan Batalyon Infanteri 313 Siliwangi di kawasan Jonggol. Anak buahnya yan bernama Ropi bin Ardji, salah satu komandan peleton dalam TII, sampai meregang nyawa ditembak di Citeureup.

Haji Engkar kian goyah. De Locomotief edisi 7 September 1953 sampai memberitakan salah satu komandan bawahannya, yakni Utji, dianggap lebih layak memimpin daripada sang haji. Panglima DI/TII Ahmad Sungkawa bahkan ingin mengambil alih komando dari Haji Engkar.

Menurut pihak Siliwangi pada akhir 1953 itu, komando pasukan DI/TII terpecah dan rusak. Sulit bagi mereka menyaingi TNI. Apalagi TNI didukung oleh Mobil Brigade (Mobrig), pendahulu Brimob.

“Pada akhir tahun 1952 berhubung dengan akan datangnya tamu negara dari Filipina yaitu Presiden Quirino di mana tamu tersebut akan bermalam di Istana Bogor dan akan berkunjung ke Bandung melalui jalan Bogor-Cipanas-Cianjur-Bandung, maka untuk pengamanan, Kepala Kepolisian Negara memerintahkan kepada Kepala Bagian Inspeksi Brimob PKB Moh. Jasin untuk membentuk satu Batalyon Brimob yang bertugas khusus. Adapun gerombolan-gerombolan yang seirng mengganggu keamanan di daerah Bogor itu adalah gerombolan DI/TII yang dipimpin oleh Haji Engkar, Ahmad Sungkawa, dan H. Makmun.  Batalyon Pengejar ini dalam melaksanakan tugasnya di bawah koordinasi Dan Men VIII/TT III Jawa Barat Let.Kol Sambas Atmadinata,” tulis Memet Tanumidjaja dalam Sedjarah Perkembangan Angkatan Kepolisian.

Hubungan antara Haji Engkar dan DI/TII pun memburuk pada 1954. Konflik Haji Engkar dengan Ahmad Sungkawa, tulis Cees van Dijk, hanya makin memperkuat posisi TNI. Haji Engkar akhirnya pecah kongsi dari DI/TII Kartosuwiryo. Koran Java Bode tanggal 26 Februari 1954 memberitakan Haji Engkar lalu membentuk pasukan sendiri, bernama Tentara Achli Sunah wal Djamaah. Hal itu membuat Kartosuwiryo berang lalu memerintahkan Djaelani untuk menghukum mati Haji Engkar serta menghancurkan tentaranya yang ingkar padanya.

Belasan bulan kemudian, Haji Engkar kelelahan menghadapi perang segitiga antara kelompoknya dengan DI/TII dan di lain waktu berhadapan dengan TNI. Pada pertengahan 1955, Haji Engkar menyerah di Jonggol. Dia langsung disambut Bupati Bogor Abdoellah Natadipoera dalam upacara penyerahannya.

TAG

di-tii sm kartosoewirjo bogor

ARTIKEL TERKAIT

Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Bos Perkebunan Diculik TKR Susahnya Bisnis Karet di Zaman Gerombolan Memburu Njoto Simpanan Senjata Brigjen Frans Karangan Kahar Muzakkar Buka Warung Kala Perang Dunia Van Kleef, Polisi Nakal yang Ikut DI/TII Dari Vila Buitenzorg ke Istana Bogor Kunjungan Putra Mahkota Belgia Leopold dan Putri Astrid ke Hindia Belanda Bogor Historical Walk, Menjawab Keingintahuan Khalayak