La Domeng muda cukup beruntung dibanding anak-anak Indonesia kebanyakan. Setidaknya, dia bisa bersekolah, bahkan pernah sekolah Muhammadiyah di kota Solo. Selama bersekolah di Jawa itu, ada tokoh Muhammadiyah terkena bernama Kahar Muzakkir. Nama itulah yang kemudian digunakan La Domeng hingga akhir hayatnya.
Setelah bertahun-tahun belajar di Jawa, Kahar Muzakkar (1920-1965) pulang kampung ke Sulawesi Selatan. Dia membantu bisnis orangtuanya dan terlibat bisnis pengiriman kulit kayu bakko ke Jepang.
Namun, kerjasama dagang Jepang itu membawa konsekuensi politik bagi keluarga tersebut. Sebab, Jepang sudah diawasi pemerintah Hindia Belanda sejak sebelum 1940 meski barang-barang buatan Jepang sudah banyak masuk ke Jawa dan kota-kota lain di Hindia Belanda. Arsip Kabinet Perdana Menteri 1950-1959 nomor 939 menyebut nama Kahar kemudian masuk dalam daftar hitam pemerintah Hindia Belanda.
Beruntung buat Kahar, dia tak lama menjadi orang yang diawasi pemerintah karena pada 8 Maret 1942 Hindia Belanda menyerah kalah kepada tentara Jepang. Wilayah tempat tinggal Kahar kemudian selama pendudukan Jepang dikuasai Kaigun (Angkatan Laut Jepang). Kahar sendiri lalu menjadi orang kepercayaan pemerintahan militer Jepang di kampungnya.
Baca juga: Alex Maramis: Dari Pendudukan Jepang Hingga Menjadi Anggota BPUPK
Kehidupan Kahar sebenarnya tergolong baik di kampung halamannya, Palopo. Sebagai orang yang pernah bersekolah di Muhammadiyah, dia cenderung menyukai dirinya setara dengan siapa saja, termasuk kaum bangsawan. Lantaran itu Kahar yang anti feodal berselisih dengan Dewan Adat Kedatuan Luwu. Hidupanya lalu jadi tak baik-baik saja. Selain masuk penjara karena prinsipnya, di dalam penjara Kahar dapat pukulan tiga kali sehari. Pengadilan lantas memutuskan Kahar diusir dari daerah Luwu.
Kahar lalu merantau ke Makassar, pusat dari Armada Selatan Kedua Kaigun yang mengusai kawasan timur Indonesia selama Perang Dunia II, pada akhir 1942. Selama tiga Makassar bulan, Kahar bekerja di Ogata Shoten, sebuah kantor dagang Jepang.
Baca juga: Pelajar Makassar Bernyali Besar
Tahun berikutnya, Kahar memutuskan kembali ke Jawa. Kali ini bersama istri pertama dan anaknya. Mereka kemudian menetap di Solo. Sebagai orang yang memiliki ilmu dagang, Kahar kembali berdagang dengan mendirikan perusahaan bernama Oesaha Semangat Moeda.
Perniagaan Kahar mendapatkan momen baik. Di zaman pendudukan Jepang, orang-orang Tionghoa yang mayoritas bergerak di bidang perdagangan kurang begitu maju imbas dari Perang Sino-Jepang II. Momen ini pula yang membuat banyak saudagar bersatu dalam sebuah wadah untuk pedagang pribumi. Imam Halilintar dalam BR Motik menyebut perkumpulan itu bernama Perserikatan Warung Bangsa Indonesia (Perwabi). Anggotanya mencapai 2 ribu pedagang. Organisasi ini hendak menyaingi pedagang Tionghoa.
Pada 6 April 1945, di Keresidenan Bandung pengusaha Indonesia dari Jawa dan Bali berkumpul. Bulan April 1945, Bung Hatta menekankan bahwa kedepannya peran pengusaha sangat penting bagi Indonesia.
Kahar menjadi pebisnis hingga kalahnya tentara Jepang dan merdekanya Indonesia. Setelahnya, waktunya total dihabiskannya untuk revolusi Indonesia, baik untuk mengurus pasukan di dalam Kesatuan Rakyat Indonesia Sulawesi (KRIS) ataupun Tentara Republik Indonesia Persiapan Sulawesi (TRIPS). Hingga awal 1950-an, Kahar Muzakkar hanya sibuk jadi perwira dan perang.
Baca juga: Di Balik Tabir Pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir
Setelah berseberangan dengan pemerintah pusat yang tak bisa menerima banyak anggota pasukannya menjadi anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI), barulah Kahar Muzakkar masuk hutan untuk bergerilya. Ilmu dagangnya kembali terpakai. Salah satu istri Kahar, Siti Hamie, bahkan seorang pedagang yang punya lahan luas. Jaringan Kahar berdagang hingga Tawao dan Singapura.
Kahar sendiri aktif berhubungan dengan Andi Selle (Mattola), bawahan Kahar di Korps Cadangan Nasional Sulawesi Selatan. Sejak lama, Selle memang sudah berbisnis. Di wilayah kekuasaannya, ia berlaku bak warlord.
“Laporan Staf Angkatan Darat tahun 1961, yang saat itu jelas-jelas dianggap sebagai liabilitas, menggambarkannya sebagai seorang oportunis dan petualang ambisius, siap memperkaya dirinya dengan cara apapun yang mungkin dan selalu mencari peluang untuk mendapatkan untung dari kedua belah pihak, apakah pemerintah atau gerilyawan,” tulis Profesor Roxana Waterson dari National University of Singapore dalam Paths and Rivers: Sa’dan Toraja Society in Transformation.
Dengan Selle, Kahar menjalin hubungan niaga. Perniagaan itu tentu saling menguntungkan kedua belah pihak.
Baca juga: Kala M. Jusuf Nyaris Direnggut Maut
“Abdul Qahhar Mudzakkar mempunyai hubungan dengan seorang bangsawan selama bertahun-tahun yaitu Andi Selle (Mattola), tetapi hubungan itu ‘bukanlah hubungan politis dan ideologis, hanyalah hubungan dagang saja.’ Hubungan yang demikian dilakukannya dengan cara mengirimkan bahan-bahan mentah dari daerah yang dikuasainya kepada Andi Selle. Sebagai imbalannya, ia membayarnya dalam bentuk mengirimkan peluru, senjata-senjata ringan dan berat serta pakaian tentara kepada Abdul Qahhar Mudzakkar,” tulis sejarawan Anhar Gonggong dalam Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot hingga Pemberontak.
Berkat perniagaan-perniagaan itulah kemungkinan gerakan perlawanan Kahar yang lalu berkembang menjadi Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) bisa lama bertahan. Logistik mereka terbilang kuat.
“Keterlibatan DI/TII mengusai sumber-sumber ekonomi itu memungkinkan karena mereka mampu bermain mata dengan para perwira militer, di antaranya Mayor Andi Sose, Kepala Resimen RI 23 Parepare,” tulis Rasyid Asba dalam Kopra Makassar Perebutan Pusat dan Daerah.