PEMBERONTAKAN Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) merupakan pembangkangan bersenjata paling panjang dalam sejarah Indonesia. Usianya berlangsung hingga 13 tahun lamanya (1949-1962). Versi orang-orang DI/TII sendiri perlawanan itu bahkan masih berlangsung hingga tahun 1964.
Di awal revolusi, para anggota DI/TII (sebagian besar berasal dari lasykar Hizbullah dan Sabilillah) sejatinya ikut bahu membahu melawan militer Belanda bersama TNI. Pada 1946-1947, mereka kerap melakukan patroli dan penghadangan bersama.
“Tak aneh jika hubungan kami sangat akrab dan seperti saudara,” ujar Asikin Rachman (96), salah seorang eks anggota TNI di wilayah Tasikmalaya.
Permusuhan mulai mewarnai hubungan orang-orang DI/TII dengan para prajurit TNI pada awal 1949. Saat itu, pimpinan tertinggi DI/TII (S.M. Kartosoewirjo) memerintahkan anak buahnya untuk memerangi para prajurit TNI yang pulang kandang ke Jawa Barat akibat bubarnya kesepakatan Perjanjian Renville.
Baca juga: Berjudi di Atas Renville
“Begitu pulang long march dari Jawa Tengah, eh di Jawa Barat, kami dibantai dan diracuni oleh orang-orang DI/TII,” ungkap Rachman. Puncak permusuhan terjadi manakala Kartosoewirjo memproklmasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) pada 7 Agustus 1949.
Tersebutlah Batalyon F.22 Djaja Pangrerot pimpinan Mayor Soegih Arto. Begitu TNI hijrah ke Jawa Tengah pada awal 1948, Yon F.22 diperintahkan untuk tetap “bertahan” di Jawa Barat dan merubah kesatuannya menjadi sejenis pasukan liar. Perintah yang datang langsung dari atasannya itu (Letnan Kolonel Daan Yahya, Komandan Brigade Guntur Divisi Siliwangi) langsung disanggupi oleh Mayor Soegih.
Usai TNI keluar dari Jawa Barat, Mayor Soegih kemudian “membubarkan” Yon F.22. Dia memecah batalyon-nya menjadi unit-unit setingkat antara kompi dan seksi (sekitar 100 orang). Salah satu unit itu bernama Pasukan Siloeman, yang dipimpin oleh orang kepercayaannya, Letnan Muda Achmad Soengkawa.
Pasukan Siloeman dalam petualangannya ternyata merambah sampai jauh dari wilayah teritorial eks Yon F.22. Mereka melakukan penjelajahan bahkan hingga ke Cianjur Utara. Di wilayah tersebut, Pasukan Siloeman melakukan kerjasama dengan unit-unit bersenjata yang ada di bawah TII. Karena putus koordinasi dengan induk pasukan, lambat laun Letnan Muda Achmad Soengkawa terpengaruh ide-ide DI/TII dan memutuskan untuk bergabung dengan angkatan bersenjata NII itu.
Baca juga: Persekutuan Aneh di Barat Jawa
Soegih masih ingat, suatu hari dia mendapat surat dari seorang kurir yang dikirim langsung oleh Letnan Muda Soengkawa. Dalam surat tersebut, Soengkawa menyatakan bahwa dia mengundurkan diri dari Yon F.22 dan diangkat sebagai bupati sekaligus komandan resimen di DI/TII.
“Tapi Pak, meskipun organisasi berlainan, Pak Soegih pribadi tetap bapak saya pribadi,” tulis Soengkawa seperti dikutip oleh Soegih Arto dalam bukunya Sanul Daca (Saya Nulis Anda Membaca) Pengalaman Pribadi Letjen (Purn.) Soegih Arto.
Kata-kata Soengkawa itu kelak dibuktikannya dalam suatu peristiwa. Suatu ketika pada 1950, Mayor Soegih Arto mendapat tugas untuk memimpin suatu operasi pembersihan unsur-unsur DI/TII di Garut. Saat tiba di suatu wilayah pegunungan dekat selatan Majalaya, Bandung Barat, pasukan Soegih harus melewati suatu tebing yang potensial dijadikan tempat penghadangan oleh pasukan musuh.
“Di atas tebing terdapat sebatang pohon beringin, saya melewati pohon beringin itu dengan selamat…” kenang Soegih.
Namun baru saja lewat dari kawasan itu (sekitar 100 meter), Soegih yang menunggang seekor kuda, mendengar kegaduhan di belakangnya. Terdengar serentetan tembakan, disusul para pengawal-nya berlarian menaiki tebing itu sambil berteriak-teriak. Tak lama kemudian, mereka datang dengan membawa seorang tawanan DI/TII.
Baca juga: Sebuah Kamp di Atas Bukit
Rupanya tawanan DI/TII itu adalah seorang prajurit pemegang Brengun. Dia ditugaskan untuk menghabisi pimpinan pasukan TNI (Mayor Soegih Arto) yang tengah menuju Garut itu. Namun baru saja dia membidikan arah moncong Brengun-nya, tetiba Achmad Soengkawa (komandan pasukan DI/TII tersebut) berteriak.
“Jangan tembak! Itu bapak saya!”ujarnya sambil memukul kepala Si Pemegang Brengun. Merasa kesakitan dan pusing, Si Pemegang Brengun refleks melepaskan senjatanya hingga jatuh ke bawah.
Saat diburu, semua pasukan penghadang dari DI/TII langsung melarikan diri, kecuali Si Pemegang Brengun yang sudah tak berdaya akibat kepalanya dipukul komandannya sendiri. Achmad Soengkawa sendiri berhasil lolos.
“Andaikan Achmad Soengkawa tidak memukul anak buahnya yang hendak menembak saya, mungkin saya sudah mati ditembak peluru Brengun. Dia menepati janjinya bahwa dia akan memperlakukan saya seperti bapaknya pribadi,” kenang Soegih Arto.
Sejak penghadangan itu, Soegih Arto tak pernah bertemu lagi dengan Achmad Soengkawa. Hingga sekitar tahun 1960-an, dia mendengar mantan anak buah kesayangannya itu tewas tertembak peluru TNI di Sukabumi.
Baca juga: Kisah Tengkorak Bersin