KARAWANG, Jawa Barat, akhir Januari 1950. Kopral Nasilan Asmin, anggota intelijen Batalyon Tadjimalela, mendadak harus pergi ke Ciranjang. Dia mendapat perintah untuk menyelidiki gerak mundur pasukan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA), sebuah milisi beranggotakan bekas anggota Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) yang dipimpin Kapten R.P.P. Westerling, setelah menyerang Bandung.
“Kami mendapat informasi, setelah dipukul mundur dari Bandung, mereka akan bergabung dengan pemberontak DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) di wilayah Ciranjang,” ujar Nasilan, kini sesepuh di Ciranjang, kepada Historia.
Namun sebelum penyelidikan sempat dilakukan, di Cipeuyeum (kawasan dekat Ciranjang), sebagian besar pasukan APRA keburu dihabisi pasukan Divisi Siliwangi dari Batalyon H pimpinan Mayor Soetojo. “Sebagian kecil meloloskan diri dan raib, diperkirakan bergabung dengan kelompok DI/TII di wilayah Cikalong Kulon,” ujar Nasilan.
Salah satu yang bergabung ke kubu DI/TII adalah C.H. van Kleef, bekas anak buah Westerling dan pernah menjabat inspektur polisi Belanda di Bogor.
“Sebagai anggota DI/TII, dia pernah bertugas di Bogor, Sukabumi, dan Ciranjang,” ujar Al Chaidar, sejarawan Universitas Malikussaleh, Aceh, yang juga peneliti sejarah gerakan DI/TII.
Tudingan Sukarno
Menurut Holk H. Dengel, sejarawan asal Jerman, kerjasama DI/TII-APRA terutama terlihat di Bogor. Kesatuan TII yang beroperasi di daerah itu dilengkapi senjata-senjata dan amunisi dari APRA. Piet Colson, ajudan Westerling, berulang kali mendampingi perwira-perwira APRA pada pertemuan dengan komandan-komandan TII. Perwira-perwira TII juga sering bertemu dengan Westerling.
Dalam suatu pertemuan, Colson bertemu dengan van Kleef yang baru kembali ke daerah DI setelah penyerangan APRA atas kota Bandung pada 23 Januari 1950. Colson pula yang membawa van Kleef yang saat itu sakit keras ke dokter di Bandung. Di Bandung van Kleef diurus APRA.
Van Kleef disebut-sebut merupakan penghubung penting antara Kartosuwirjo dan Westerling. Dalam suratnya 10 Mei 1952, atas nama DI, van Kleef mengundang Westerling untuk mendarat di Indonesia, “sendiri atau dengan pasukannya”, sembari menyebut pantai utara Jawa Barat sebagai tempat terbaik untuk pendaratan rahasia dalam rangka bantuan pasukan sukarela untuk Negara Islam Indonesia (NII).
Dalam surat itu, van Kleef juga memberitahu Westerling bahwa pada tahun itu NII telah merintis hubungan diplomatik dengan pemerintah Amerika Serikat (AS). Bahkan AS mengirimkan seorang utusan untuk membicarakan kemungkinan bantuan AS kepada NII. Tapi, utusan itu berhasil ditangkap pemerintah RI.
“Kemungkinan Kartosuwirjo mengetahui semua hubungan dengan APRA dan dia secara diam-diam menyetujui hubungan itu, selama gerakannya dapat menarik keuntungan dari hubungan-hubungan tersebut,” tulis Holk H. Dengel dalam Darul Islam dan Kartosuwirjo.
Van Kleef menarik perhatian pers ketika dalam pidato Hari Pahlawan 10 November 1953, Presiden Sukarno mengutip surat Kartosuwirjo yang disita di mana nama van Kleef disebut untuk menunjukkan persekongkolan Belanda dengan DI/TII.
“Pidato Presiden Sukarno yang memukau membuat “kisah-kisah liar dan benar-benar tak berdasar” menjadi santapan pers,” tulis C.L.M. Penders dalam The West New Guinea Debacle: Dutch Decolonisation and Indonesia, 1945-1962. Sentimen anti-Belanda pun mencuat.
Pada Januari 1954, polisi menangkap sejumlah warga Belanda. Di antara yang ditangkap adalah Leon Nicholaas Hubert Jungschlager, eks anggota intelijen Belanda (NEFIS), dan Kapten Henricus Catharinus Johannes Georgius Schmidt, eks perwira KNIL, di Jakarta. Sementara van Kleef masih berada di tengah pasukan TII. Kasus Jungschlager-Schmidt kemudian diproses di pengadilan.
Kasus Jungschlager-Schmidt
Rabu, 6 Juli 1955. Hakim G.A. Maengkom dan Jaksa Tinggi R. Soenario meninjau rumah dan perkebunan milik keluarga Pieter Reinier van Motman (1773-1821), tuan tanah pertama di kawasan Dramaga, Bogor –kini, Wisma Tamu IPB Landhuis. Rumah itu ditenggarai menjadi tempat keluar-masuk senjata, amunisi, dan logistik untuk gerombolan bersenjata yang hendak melakukan aksi makar terhadap pemerintah.
Soenario dalam Proses Jungschlager menyebut rumah itu telah difungsikan sebagai markas besar dari sempalan APRA seperti Nederlandsch Indische Guerilla Organisatie (NIGO), White Eagles, Nederland zal Herrijzen (NzH) yang berpucuk pada beberapa warga Belanda. Di antaranya Jungschlager dan Schmidt.
Sadar kekuatannya kecil, kelompok-kelompok itu memutuskan tak bergerak sendiri. Mereka membangun kerjasama senyap dengan DI/TII, sebentuk persekutuan aneh mengingat keduanya pernah berhadapan sebagai lawan. Selain memasok senjata dan tenaga tempur, Jungschlager dan Schmidt tak pernah putus membangun komunikasi dengan Kartosuwirjo.
Di persidangan, Haris bin Suhaemi (anggota DI/TII yang disebut-sebut sebagai orang kepercayaan Kartosuwirjo) memberikan kesaksian bahwa sepuluh hari sebelum APRA menyerang Bandung, pemimpin APRA (Westerling), pemimpin DI/TII (Kartosuwirjo), dan Kepala Negara Pasundan (Wiranatakusumah) menggelar suatu pertemuan rahasia di Hotel Preanger, Bandung.
“Selama pertemuan itu diputuskan bahwa, andaikan serangan terhadap Bandung sukses, wilayah Jawa Barat secara de facto menjadi teritori DI...,” tulis Subversive Activities in Indonesia: The Jungschlager and Schmidt Affair, diterbitkan Kementerian Luar Negeri Indonesia tahun 1957.
Haris juga mengatakan dalam pertemuan sebelumnya pada 1949 DI/TII dan Westerling sepakat untuk melakukan aksi bersama di Jawa Barat. Dan faktanya, pada hari yang sama dengan aksi APRA di Bandung, pasukan DI melakukan serangan di dua kota lain di Jawa Barat: Tasikmalaya dan Garut.
Beberapa kali pula, menurut Haris, pemerintah Belanda lewat klik Jungschlager diam-diam memasok senjata dan amunisi ke basis-basis DI/TII. Bantuan itu didistribusikan melalui jalur udara, menggunakan pesawat-pesawat milik Bataafsche Petroleum Maatchappij (BPM), perusahaan minyak Belanda, dan pantai.
“Terutama di wilayah pantai selatan dekat pedalaman Garut,” ujar sejarawan Rushdy Hoesein.
Persidangan kasus ini menjadi berita hangat di media. Bahkan informasi-informasi, entah benar atau tidak, berseliweran. Keng Po, 30 Oktober 1956 misalnya, menyebut adanya empat orang Belanda yang ikut dalam serangan DI/TII ke suatu pos Organisasi Keamanan Desa (OKD) di wilayah Cililin, Jawa Barat.
Tentu saja, orang-orang atau pemerintah asing yang dituduh terlibat menyangkal keras tuduhan-tuduhan itu. Begitu pula pihak DI/TII. (Bersambung)