KETIKA berpangkat kapten, Soegih Arto ditugaskan untuk memimpin Batalyon 22 Brigade XIII Divisi Siliwangi. Wilayah wewenangnya meliputi Cililin, Gunung Halu dan sebagian Cianjur (Ciranjang). Di Cililin, Yon 22 berhadapan langsung dengan KST (Kors Pasukan Khusus) yang bermarkas di Batujajar (sekarang menjadi pusat pendidikan latihan Kopassus).
Baca juga: Spesialis Pencabut Nyawa
Begitu militer Belanda melancarkan aksi polisional ke-1 (dalam sejarah Indonesia dikenal sebagai aksi Agresi Militer Belanda I) pada Juli-Agustus 1947, Yon 22 terdesak sampai ke pedalaman. Tentu saja situasi tersebut memutlakan mereka untuk melakukan perang gerilya terhadap kedudukan pasukan Belanda.
“Kami jadinya sering melakukan patroli dan berbagai penghadangan terhadap konvoi mereka di sepanjang jalan raya,” ujar Soegih Arto dalam Saya Menulis Anda Membaca (Sanul Daca), Pengalaman Pribadi Letjen (Purn) Soegih Arto.
Suatu hari sepulang dari patroli, satu seksi pasukan Yon 22 kemalaman di jalan. Terpaksalah mereka harus menginap di satu lapangan kosong bekas kuburan. Pasukan yang kelelahan itu, setelah mengatur giliran jaga sebagian besar langsung "terkapar". Saat mau tidur inilah, seorang prajurit bernama Holil menemukan tengkorak manusia di salah satu sudut lapangan.
Pagi-pagi sekali, seluruh seksi telah dibuat panik karena mendengar suara orang berteriak-teriak histeris. Ketika disambangi nampak Holil sedang memegang tengkorak tersebut sambil menjerit-jerit. Setelah ditenangkan, dia baru bisa menceritakan mengapa dia begitu ketakutan.
“Secara iseng, begitu bangun dia menggelitiki hidung tengkorak itu,” tulis Soegih Arto. Tanpa diduganya, tetiba tengkorak itu langsung “bersin”: Hachiiiiisss!!!
Mendengar cerita itu, alih-alih menjadi takut seluruh seksi malah menyambutnya dengan tawa terbahak-bahak. Hanya Holil yang berwajah serius dan berkali-kali meyakinkan kawan-kawannya bahwa dia sedang tidak bercanda. Menanggapi cerita Holil, Soegih sendiri hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Di lain kesempatan, prajurit Holil lagi-lagi membuat cerita. Namun kali ini kendati kisah itu lucu namun menjadi musibah bagi dirinya. Ceritanya saat pulang patroli rutin, pasukan Yon 22 beristirahat di bawah sebatang pohon besar. Guna mengantisipasi kedatangan musuh secara mendadak, Soegih memerintahkan Holil untuk mengawasi keadaan sekitar dari atas pohon tersebut.
Baca juga: Pengalaman Pasukan Kelaparan
Entah karena lelah atau memang bawaan suasana sejuk dengan angin sepoi-sepoi, di atas pohon Holil tertidur dan dilupakan kawan-kawannnya yang begitu merasa cukup beristirahat langsung bergerak lagi menuju markas mereka di wilayah Gunung Halu.
Tak terasa waktu pun berlalu. Menjelang sore, sepasukan tentara Belanda yang juga baru pulang berpatroli tiba di bawah pohon tersebut dan memutuskan untuk istirahat. Saat itulah Holil yang sedang terlelap di atas pohon tetiba terbangun dan langsung kaget begitu melihat pasukan Belanda ada di bawahnya.
Begitu kagetnya, Holil lantas meluncur dan jatuh tepat di tengah-tengah pasukan Belanda tersebut. Kontan seluruh pasukan Belanda yang sedang berleha-leha itu buyar dan kabur ke segala arah. Bisa jadi mereka mengira Holil adalah hantu penunggu pohon yang marah karena mereka menempati wilayahnya tanpa permisi.
Namun setelah mengetahui yang terjatuh itu adalah anggota TNI, pasukan Belanda langsung mengepung Holil dan menangkapnya. Jadilah Holil sebagai tawanan pertama dari pihak Yon 22. Lantas dari mana Soegih mendapatkan kisah lucu namun sial itu?
“Saya mengetahui cerita ini dari Holil secara langsung waktu kami sama-sama menjadi penghuni Penjara Banceuy di Bandung,” kenang Soegih.
Memang beberapa bulan setelah kejadian yang dialami Holil, Soegih Arto bersama beberapa anak buahnya berhasil dijebak oleh pasukan Belanda. Seperti biasa, penangkapan itu melibatkan pula mata-mata dari kalangan bumiputera sendiri yang menurut Soegih tak lain adalah orang terdekatnya sendiri.
Soegih mendekam di Penjara Banceuy hingga akhir 1949, usai Belanda mengakui kedaulatan pemerintah Republik Indonesia.
Baca juga: Rusuh Napi Era Revolusi