Menjelang lebaran, warga Jakarta kembali memenuhi ruang publik. Sempat viral ketika warga turun beramai-ramai menyaksikan drama penutupan sebuah waralaba makanan cepat saji di kawasan Sarinah, Jakarta Pusat. Belakangan ini, warga bahkan tumpah ke beberapa pusat perbelanjaan yang kembali dibuka. Salah satunya, Pasar Tanah Abang yang merupakan sentra tekstil di ibu kota. Padahal, Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) untuk meminimalisasi penyebaran virus Covid-19 masih berlaku.
Ketidakpatuhan ini membuat tenaga medis yang berjuang di garda depan seakan percuma. Di masa pandemi seperti sekarang, berkumpul di keramaian kian memperbesar potensi penyebaran dan penularan virus. Buntut kekecewaan mereka kemudian memunculkan gerakan “Indonesia? Terserah!” ≠sukasukakaliansaja.
Bila menengok kembali ke rumah sejarah, warga Jakarta memang sulit untuk dikendalikan. Perkara serupa juga pernah dialami Ali Sadikin, gubernur terbaik yang pernah memimpin kota Jakarta. Bang Ali – demikian Ali Sadikin disapa – menjabat pada periode 1966—1977.
Baca juga: Harapan Bung Karno pada Bang Ali
Pada 1970, Bang Ali memberlakukan kebijakan “Jakarta sebagai Kota Tertutup”. Menjadikan Jakarta sebagai Kota Tertutup merupakan upaya untuk mengatur dan mengurangi laju perkembangan penduduk Jakarta. Kebijakan itu kemudian diatur dalam Surat Keputusan Gubernur No lb.3/1/27/1970. Di dalamnya disebutkan Jakarta sebagai kota tertutup bagi pendatang baru dari daerah lain.
Ketika diberlakukan, kebijakan Ali Sadikin “menutup Jakarta” cukup mengejutkan publik. Peraturan menetapkan bahwa semua warga harus memiliki kartu tanda penduduk. Hanya mereka yang dapat membuktikan identitas sebagai penduduk tetaplah yang diizinkan menetap di Jakarta.
“Tim-tim keamanan sering melakukan razia untuk mengumpulkan para imigran ilegal yang kemudian dikembalikan ke daerah asal mereka,” tulis Susan Blackburn dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Operasi kependudukan ini kerap didukung dengan operasi pembersihan jalan. Biasanya ditujukan kepada orang-orang yang memiliki pekerjaan berbasis jalanan. Misalnya, tukang becak dan pedagang keliling.
Baca juga: Bang Ali dan Bang Becak
Sejarawan Universitas Indonesia,Tri Wahyuning M. Irsyam mencatat, jumlah penduduk pada saat Ali Sadikin diangkat sebagai gubernur adalah 3.639.465 jiwa. Jumlah tersebut meningkat pada akhir periode pertama Bang Ali (1972), yaitu 4.755.279 jiwa. Pada akhir masa jabatannya yang kedua (1977), jumlah penduduk Jakarta telah mencapai 5.925.417 jiwa. Jika ditelusuri lebih lanjut, tampak bahwa penduduk Jakarta sebagian besar berasal dari luar Jakarta.
“Dari data tersebut tampak bahwa Kebijakan Jakarta sebagai Kota Tertutup tidak berjalan sesuai dengan yang diharapkan,” tulis Tri Wahyuning dalam disertasinya yang dibukukan Berkembang dalam Bayang-bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950—1990.
Di tengah jalan, Ali Sadikin kalah lihai dari warganya. Gagasannya menjadikan Jakarta kota tertutup tidak kesampaian. Penyebab kegagalan Bang Ali, sebagaimana dalam penelitian Susan Blakckburn yang menyebutkan terjadi praktik pemalsuan kartu tanda penduduk. Selain lumrahnya pemalsuan identitas, banyak penduduk Jakarta yang menyembunyikan pendatang “gelap”. Para imigran tanpa identitas ini tidak terdeteksi oleh aparatur pemerintah DKI Jakarta. Sementara itu, menurut Ian Wilson dalam Politik Jatah Preman, lonjakan ekonomi pada 1970-an ditandingi oleh gelombang migrasi terus-menerus yang membuat populasi ibu kota terus meningkat.
Baca juga: Ali Sadikin dan Jalanan Jakarta
Ali Sadikin pada akhirnya terpaksa berdamai dengan keadaan. Populasi warga Jakarta menjadi sangat besar dan terus bertambah. Dalam perkembangannya, para penerus Ali Sadikin juga tetap berupaya menekan laju pertumbuhan penduduk.
“Sayangnya, sejauh ini tidak ada yang berhasil” kata budayawan Betawi Alwi Shahab dalam Robin Hood Betawi: Kisah Betawi Tempo Doeloe “Bahkan, penduduk Ibu Kota kini membengkak lebih dari 10 juta jiwa.”