GEJOLAK revolusi di Prancis tak hanya merengut ribuan jiwa manusia tapi juga binatang. Seekor badak jantan tak bernama, yang sudah 23 tahun menjadi salah satu koleksi binatang di kandang-kandang pameran (menagerie) di Istana Versailles, menemui ajal pada 1793.
Di tengah ketidakpastian masa revolusi, beberapa ilmuwan di Prancis merasa perlu melestarikan pengetahuan tentang badak. Jasad badak jantan tak bernama dipindahkan ke Taman Botani (Jardin des Plantes) di Paris.
Di sana, profesor anatomi binatang Jean-Claude Mertrud bersama dokter dan ahli anatomi Felix Vicq d’Azyr, serta Direktur Museum d'Histoire Naturelle Louis Jean-Marie Daubenton membedah jasad serta mengawetkan kerangka badak jantan.
Lewat kerja keras para ilmuwan, kerangkanya menjadi bagian dari awal yang mengungkap spesies baru badak di belahan dunia lain.
Spesies Baru
Seorang anatomis dan paleontologis kelahiran Belanda, Petrus Camper, sempat mengunjungi badak jantan tak bernama di menagerie Versailles. Penelitian Camper kemudian merambah ke Hindia Belanda. Keberadaan badak di sana, khususnya di Pulau Jawa, menjadi fokus penelitiannya.
Jacob van der Steege, mantan murid Camper yang bekerja di Batavia (kini, Jakarta), mulai mengirim beberapa spesimen badak untuk penelitian Camper.
Dikutip dari Bijdragen Tot De Dierkunde Vol 52 No 2 (1982), salah satu surat Van der Steege kepada Camper pada 1 Oktober 1787 menyampaikan bahwa dia mengirim dua kotak spesimen, “termasuk dua kepala badak yang utuh. Untuk mendapatkannya, saya mengirim empat budak dan beberapa penduduk lokal ke gunung. Mereka kembali setelah sebulan lebih berada di hutan. Kepala-kepala ini milik betina tua dan jantan muda… giginya masih tumbuh mirip buaya.”
Namun Petrus Camper tidak sempat menuntaskan penelitiannya. Dia meninggal dunia pada 7 April 1789.
Putranya, Adriaan Gilles (A.G) Camper, mewarisi seluruh koleksi spesimen dan katalog penelitian. A.G. Camper mendonasikan salah satu tengkorak badak dari Jawa kepada Georges Cuvier, seorang naturalis Prancis sekaligus ahli anatomi perbandingan (yang kelak menjadi tonggak paleontologi) di Paris pada 1801.
Cuvier melanjutkan penelitian Camper. Dia membandingkan kerangka badak dari Jawa dengan kerangka badak jantan tak bernama dari Versailles serta spesimen lain, termasuk deskripsi badak Sumatra oleh William Bell (1793), ahli bedah VOC. Cuvier kemudian menyampaikan asumsi bahwa badak di Jawa kemungkinan merupakan spesies baru di wilayah Asia. Namun bukti-bukti saat itu belum memadai.
Asumsi Cuvier akhirnya terjawab. Pada 1821, naturalis Prancis Pierre Diard mengirim kerangka lengkap badak di Jawa ke Museum d'Histoire Naturelle di Paris. Spesimen ini melengkapi penelitian panjang Cuvier (dan Camper) bahwa badak Jawa merupakan spesies yang berbeda dari badak jantan tak bernama dari India (Rhinoceros unicornis).
Pada 1822, zoologis Prancis Anselme Gaëtan Desmarest mengidentifikasi badak Jawa sebagai Rhinoceros sondaicus.
Siklus Kehidupan
Fantasi eksotisme kebuasan badak di masa lalu telah beralih menjadi mitos kesehatan ragawi. Cula badak menjadi komoditas bernilai tinggi yang mendorong perburuan liar.
Pada April 2010, kematian seekor badak Jawa betina di Vietnam menyentak dunia. Perburuan liar telah mengakhiri babak kehidupan badak Jawa di negara itu.
Tubuh badak Jawa betina tanpa cula ditemukan di sebelah utara Taman Nasional Cat Tien. Sarah Brook, kepala proyek badak World Wildlife Fund (WWF) Vietnam, memimpin tim peneliti untuk menginvestigasi kematiannya.
“Badak betina tidak langsung mati setelah ditembak. Hitungannya bukan hari atau minggu, melainkan berbulan-bulan.” Demikian tertulis dalam laporan tim investigator, seperti dikutip di BBC.com, 21 September 2016.
Dengan teknik pemindaian computerized technology (CT scan), tim investigator menemukan lubang bekas luka tembak pada kaki kiri-depan badak betina menyebabkan radang sendi kronis serta mempengaruhi fungsi kuku untuk menapak. Luka tersebut juga diperkirakan menimbulkan peradangan (inflamasi) tulang atau osteitis. Badak betina mencoba bertahan di hutan hingga akhirnya berbaring, melepas nyawa di antara pohon bambu di tepi sungai.
Menjaga populasi badak sama dengan merawat keberlanjutan siklus kehidupan. Sebagai herbivora raksasa seperti halnya gajah, badak menyebar bibit tanaman ke berbagai sudut hutan ketika mencabut atau menarik tanaman untuk dimakan.
Badak Jawa menyukai tunas, pucuk daun di semak-semak atau pohon kecil, ranting-ranting, serta buah-buahan yang jatuh. Bibit yang terjatuh di ruang terbuka memperoleh sinar matahari sehingga cepat tumbuh dan menambah ragam vegetasi di hutan. Sisa-sisa biji tanaman yang tidak terproses di kotoran [akibat sistem pencernaan yang lamban] menambah kesuburan tanah.
Juga serupa peran gajah, badak membentuk lanskap hutan dengan membuka jalur, menggali sumber air, memberi nutrisi bagi alam. Peran ini penting bagi keberlangsungan hidup satwa dan ekosistem. Suatu ketika siklus ini akan berakhir seiring kepunahan herbivora besar.
Harapan satu-satunya kini bertumpu pada bagaimana menjaga populasi badak Jawa di Taman Nasional Ujung Kulon. Menurut data April 2018, 68 badak Jawa berada di sana, termasuk dua bayi badak yang lahir pada Februari 2018.
Baca juga: