Sultan Hamengkubuwono IX sering kali dianggap sebagai penentang komunisme. Dalam Peristiwa Madiun 1948 misalnya, ia berdiri berseberangan dengan Muso. Ia bersama Presiden Sukarno, Jenderal TNI Soedirman, dan Sukiman Wirjosandjojo membuat siaran menolak “kudeta” dan menyerukan agar rakyat mendukung pemerintahan yang sah.
John Monfries, visiting fellow di Australian National University, dalam A Prince in a Republic menyebut Sultan Hamengkubuwono IX memang telah mengidentifikasikan dirinya begitu kuat dengan kepemimpinan Sukarno-Hatta. Lebih lagi, ia merupakan Menteri Negara Koordinator Keamanan kala itu, yang juga diangkat oleh Hatta.
“Hamengkubuwo meminta rakyat untuk berdiri di samping pemerintah Hatta, menegaskan bahwa itu artinya berdiri untuk pembangunan negara, sementara Muso dan para komunis hanya menginginkan kehancuran,” tulis Monfries.
Baca juga: Jalan Baru Musso dalam Peristiwa Madiun
Sultan Hamengkubuwono IX juga berhasil membuat Kolonel Sungkono, Panglima Divisi Brawijaya, urung bergabung denga Muso.
Selain itu, Sultan Hamengkubuwono IX juga mendirikan Laskar Rakyat Mataram untuk membendung pengaruh komunisme terhadap kaum muda. Ia paham betul bahwa komunisme akan bertolak belakang dengan feodalisme.
“Jika laporan intelijen Belanda dapat dipercaya, Hamengkubuwono sudah memiliki perbedaan pendapat yang parah dengan Amir Sjarifuddin ketika menjabat sebagai Perdana Menteri,” sebut Monfries.
Baca juga: Sultan Hamengkubuwono IX Naik Takhta
Meski demikian, kisah menarik terjadi sekira dua tahun sebelum Peristiwa Madiun. Pada 18 September 1946, Sultan Hamengkubuwono IX bertemu dengan Alimin, salah satu tokoh senior Partai Komunis Indonesia (PKI).
Dalam pertemuan tersebut, seperti diceritakan bekas anggota Sekretariat CC PKI Siswoyo dalam memoarnya Siswoyo dalam Pusaran Arus Sejarah Kiri, Alimin mengaku berdialog akrab dengan Sultan. Obrolan informal itu sesekali diselingi bahasa Jawa Kromo Inggil.
“Dan Sri Sultan sempat mengatakan bahwa pengetahuannya mengenai teori Marxisme masih terbelakang. Dari itu Sri Sultan minta kepada Alimin untuk mencarikan buku Das Capital,” kata Siswoyo.
Baca juga: Ketika PKI Lawan Agresi Belanda
Pertemuan yang berlangsung di pinggiran kota Yogyakarta itu merupakan pertemuan antara wakil pemerintah RI dengan wakil PKI. Dalam pertemuan itu, PKI diminta aktif kembali sebagai partai legal.
Pertemuan ini, jika benar seperti yang dikisahkan Siswoyo, menunjukkan bahwa mulanya Sultan Hamengkubuwono IX juga tertarik pada Marxisme. Sebaliknya, Alimin tampaknya justru mendapat citra berlawanan sebagai seorang komunis.
Baca juga: Di Balik Gelar Pahlawan Nasional untuk Tan Malaka dan Alimin
Sejarawan Belanda Harry A. Poeze dalam Tan Malaka, Gerakan Kiri, dan Revolusi Indonesia, mencatat bahwa pertemuan Alimin dan Sultan begitu mengherankan. Alimin menunjukkan kehambaannya pada Sultan ketika memberi salam.
“Dalam media massa yang bersahabat Alimin diberi gelar kehormatan ‘bapak proletar’,” tulis Poeze. “Namun karakteristik pribadi Alimin, pada saat untuk pertama kali bertemu Sultan, pada 18 September, dengan sangat mengherankan ia memberikan salamnya secara feodal, yaitu dengan menyembah; suatu cara penghormatan dari bawahan kepada atasan.”