Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) merilis hasil survei opini publik nasional mengenai pengetahuan dan penilaian terhadap Pancasila dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022. Selain soal Pancasila, survei juga menunjukkan data mengenai persepsi orang Indonesia terhadap Partai Komunis Indonesia (PKI) atau komunis.
Hasil survei yang diunggah oleh peneliti SMRC Muchlis A. Rofik melalui akun Twitter-nya @muchlis_ar (2 Juni 2022) menunjukkan bahwa 83% responden sangat keberatan dan keberatan bila orang berlatar belakang komunis atau PKI menjadi pejabat. Sementara 81% responden juga sangat keberatan dan keberatan bila orang berlatar belakang komunis atau PKI menjadi guru di sekolah negeri. Selain itu, 77% responden sangat keberatan dan keberatan jika orang berlatar belakang PKI atau komunis menjadi tetangga. Posisi kedua dan ketiga ditempati oleh orang berlatar belakang ISIS (78%, 77%, 72%) dan LGBT (78%, 77%, 68%).
Survei yang digelar pada Mei 2022 ini mengambil 1.060 responden dari Sabang hingga Merauke. Meliputi warga negara Indonesia yang memiliki hak pilih dalam pemilihan umum, telah berusia 17 tahun atau lebih, atau telah menikah ketika survei dilakukan.
Baca juga: Survei SMRC: Mayoritas Orang Tidak Percaya PKI Bangkit
Hasil survei tersebut berkebalikan dengan survei SMRC mengenai isu kebangkitan PKI pada 2021.
Pada 1 Oktober 2021, SMRC merilis hasil survei mengenai opini orang Indonesia terhadap isu kebangkitan PKI. Dari 981 responden, hanya 14% yang setuju bahwa telah terjadi kebangkitan PKI di Indonesia. Dan 7% dari total populasi menilai bahwa kebangkitan PKI menjadi anacaman bagi negara.
Jumlah orang yang percaya pada kebangkitan PKI ini masih relatif sama dari tahun sebelumnya. Pada September 2020, 14% responden setuju terhadap pendapat bahwa PKI tengah bangkit. Sementara 11% dari total populasi menilai kebangkitan PKI telah menjadi ancaman bagi negara.
Baca juga: Palu Arit Selalu Bikin Sengit
Dengan demikian, meski sebagian besar responden tak percaya bahwa PKI bangkit kembali, namun stigma negatif terhadap PKI atau komunis masih membayangi mereka.
Sejarawan Asvi Warman Adam dalam dialog sejarah “Ngeri-Ngeri Kebangkitan PKI” di saluran Youtube Historia.ID, mengatakan bahwa masyarakat seyogianya memahami bahwa dosa turunan tidak bisa diterapkan kepada anak cucu anggota PKI.
“Kalau seseorang menjadi anggota PKI, anaknya tidak menanggung dosa dia. Kalau seorang ayah melakukan pelanggaran hukum, anaknya tidak harus diadili. Bukan dia yang bertanggung jawab,” kata Asvi.
Baca juga: Pelabelan PKI, Stigmatisasi Paling Kejam
Setelah peristiwa Gerakan 30 Setember 1965, PKI dinyatakan sebagai partai terlarang melalui TAP MPRS No. XXV Tahun 1966. Diikuti pembantaian massal terhadap kader dan simpatisan partai Palu Arit. Meski PKI telah dilarang dan anggotanya dihabisi, tetapi keturunannya masih menerima diskriminasi.
“Stigma terhadap anak PKI itu harus dihilangkan. Apalagi ada tuduhan-tuduhan yang menurut hemat saya itu sangat merugikan bagi demokrasi,” kata Asvi.
Baca juga: Proyek Rutin Hantu PKI
Berbeda dengan survei publik SMRC, Tentara Nasional Indonesia (TNI) tampaknya mulai menghapus diskriminasi terhadap keturunan PKI. Dalam Rapat Koordinasi Penerimaan Prajurit TNI, Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa menghapus larangan keturunan anggota PKI mengikuti seleksi menjadi prajurit TNI.
Andika menegaskan bahwa TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 melarang PKI serta ajaran Komunisme, Leninisme, dan Marxisme, bukan keturunan anggotanya.
“Keturunan [PKI] ini melanggar TAP MPR apa? Dasar hukum apa yang dilanggar sama dia? Jadi jangan kita mengada-ada, saya orang yang patuh peraturan perundangan, ingat ini. Kalau kita melarang, pastikan kita punya dasar hukum. Zaman saya tidak ada lagi [larangan] keturunan dari apa [PKI], karena saya menggunakan dasar hukum,” tegas Andika dalam saluran Youtube Jenderal TNI Andika Perkasa.