PRIA berparas rupawan itu memasuki ruang serbaguna di Hotel Indonesia, Jakarta, pada Jumat malam, 16 Juni 1972. Kehadirannya menarik perhatian tamu undangan dalam pesta meriah tersebut. Bukan hanya karena penampilannya yang necis dan gagah, tetapi karena namanya tengah menjadi perbincangan hangat di surat kabar. Pria itu adalah John M. di Gregorio, direktur perusahaan Survey and Business Research Indonesia (PT SUBURI), lembaga survei pertama di Indonesia yang didirikan pada akhir tahun 1960-an.
Berbanding terbalik dengan John yang masih bebas mengunjungi pesta mewah, seorang petugas penting SUBURI justru ditangkap Kodam VII/Diponegoro pada pertengahan Mei 1972. Ia diinterogasi karena survei SUBURI menempatkan nama Presiden Soeharto pada nomor tiga dalam pertanyaan kuesioner yang diajukan kepada responden.
Mengutip majalah Tempo, 1 Juli 1972, peristiwa itu terjadi di Semarang sekitar awal Mei 1972. Satuan Tugas Intelijen Kodam VII mendapat laporan dari dua orang warga yang curiga saat melihat kerangka survei SUBURI yang menyodorkan serangkaian pertanyaan tertulis. Di salah satu pertanyaan, responden diminta pendapatnya tentang delapan tokoh nasional, di mana Presiden Soeharto ditaruh pada urutan ketiga setelah Gubernur Jawa Barat Solihin GP dan Sri Sultan Hamengku Buwono IX.
Baca juga: Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup
Satuan Tugas Intelijen Kodam VII/Diponegoro segera bertindak. J.B. Susanto, supervisor survei SUBURI yang kala itu tengah berada di Semarang, ditahan. Empat petugas lapangan (field worker) juga diinterogasi. “Para petugas lapangan itu adalah empat di antara sejumlah mahasiswa setempat yang untuk pekerjaan itu telah mendapat latihan dua hari dan mendapat upah Rp600 per hari,” tulis Tempo.
Dalam Cendekiawan dan Kekuasaan dalam Negara Orde Baru, Daniel Dhakidae menyebut 13 orang pewawancara ditangkap dan diinterogasi di kantor Kejaksaan Tinggi Semarang. Rumah tangga yang dikunjungi para pewawancara dari SUBURI juga diinterogasi kejaksaan.
SUBURI dituding melakukan spionase. Seorang pejabat militer di Semarang menyebut apa yang dilakukan lembaga survei itu dapat digolongkan ke dalam intelijen strategis. Berdasarkan kesimpulan tersebut, Kodam VII/Diponegoro kemudian melapor kepada Menteri Dalam Negeri Amirmachmud. Mantan Panglima Kodam VI/Siliwangi itu pun murka.
Baca juga: Awal Mula Lembaga Survei dan Jajak Pendapat Politik
Dalam pidatonya di sela-sela kunjungan ke Jawa Tengah dan Jawa Timur, Amirmachmud secara terbuka menuding SUBURI melakukan subversi. Menurut Allan A. Samson dalam “Indonesia 1972: The Solidification of Military Control”, yang termuat di Asian Survey, Vol. 13, No. 2, Februari 1973, pidato Amirmachmud memiliki dampak di kalangan intelektual dan akademisi Indonesia, serta di antara para cendekiawan asing.
“Amirmachmud yang berbicara di Jawa Timur pada tanggal 5 Juni [1972], mengumumkan bahwa sebuah perusahaan, PT SUBURI, yang dimiliki oleh seorang warga negara Amerika, John di Gregorio, terlibat dalam ‘kegiatan subversif untuk mendiksreditkan pemimpin nasional’, yang disamarkan sebagai kegiatan survei dan penelitian yang dilakukan untuk lembaga-lembaga pemerintah dan swasta di Indonesia,” tulis Samson.
Amirmachmud menuduh SUBURI menggunakan kedok kegiatan survei dan penelitian bagi keperluan bisnis dan sosial dalam menjalankan kegiatan subversinya. Selain itu, Tempo, 17 Juni 1972, memberitakan bahwa Amirmachmud menyebut lembaga survei itu menyebarkan sejumlah “kaki tangannya” ke berbagai pelosok Indonesia dan melakukan gerakan dari rumah ke rumah, mendatangi rakyat dengan “menyodorkan formulir di mana rakyat diminta untuk memilih pimpinan nasional”.
“Dengan kegiatan seperti itu, menurut kesimpulan Amirmachmud, PT SUBURI jelas melancarkan kesangsian kepada massa rakyat terhadap Presiden Soeharto yang telah disepakati oleh semua pihak untuk dipilih kembali oleh MPR sebagai presiden,” tulis Tempo.
Baca juga: Amirmachmud Larang PKI Ikut Pemilu
Dakwaan serius yang dilancarkan Amirmachmud kepada SUBURI sontak menjadi sorotan berbagai pihak. Tak sedikit yang mencurigai lembaga survei itu mungkin saja akan menjual hasil survei dan penelitiannya di Indonesia kepada negara blok Barat atau blok Timur. Kecurigaan semakin serius saat Amirmachmud dalam pidatonya di Ngawi memperingatkan agar para pejabat dan masyakarat “harus hati-hati terhadap suatu pola subversi asing”.
“Selalu saya katakana di mana-manapun, rupanya kalau Indonesia itu tidak jadi antek mereka, rupanya belum puas mereka itu. Kalu kita sudah menjadi antek, baru mereka itu tidur nyenyak. Selama Indonesia melaksanakan politik bebas aktif, melaksanakan sesuatu konsepsi Demokrasi Pancasila yang berkepribadian, rupanya [mereka] kurang puas,” kata Amirmachmud dikutip Tempo, 1 Juli 1972.
Baca juga: Aksi Sepihak Sang Menteri Amirmachmud
Tuduhan melakukan subversi asing dan spionase membuat SUBURI ditutup. Meski tak ditahan, direktur utamanya, John di Gregori yang berkewarganegaraan AS dinyatakan persona non grata. Ia harus angkat kaki dari Indonesia pada 3 Oktober 1972.
John mengadakan pesta perpisahan yang dikenal dengan sebutan pestlubi (pesta luar biasa) di sebuah rumah di Jalan Cik Di Tiro 52. Kepergian John tak hanya mengakhiri beroperasinya SUBURI, tetapi juga menjadi bukti cengkeraman kekuasaan terhadap kegiatan penelitian di masa Orde Baru.*