Masuk Daftar
My Getplus

Putus-Sambung Usaha Pemajuan Kebudayaan

Upaya untuk menentukan arah gerak kebudayaan sudah dilakukan lewat kongres sejak era kolonial. Berlanjut hingga kini.

Oleh: Nur Janti | 11 Des 2018
Presiden Joko Widodo, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy, dan Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid dalam penyerahan Strategi Kebudayaan (9/12). Foto: Nur Janti.

BANGSA yang maju adalah bangsa yang memahami dan menghargai budayanya. “Apabila sebuah bangsa mengesampingkan kebudayaan sendiri serta tidak menghargai apa yang diwariskan nenek moyangnya, maka bangsa itu tidak layak untuk maju,” kata Ferdiansyah, ketua Panitia Kerja RUU Kebudayaan, saat memberi kuliah umum di Kongres Kebudayaan (KK) 2018, Rabu, 5 Desember 2018.

KK 2018 yang dihelat Direktorat Jenderal Kebudayaan pada 5-9 Desember 2019 merupakan upaya melanjutkan pencarian arah gerak budaya bangsa yang telah dirintis pada Kongres Budaya Jawa (KBJ) tahun 1918. Dalam KBJ, para cendekiawan berkumpul untuk mengupayakan persatuan guna meng-counter budaya kolonial. Upaya yang dilakukan di tengah penjajahan itu menjadi embrio perjuangan kaum nasionalis melalui budaya.

Baca juga: Jalan Berliku Menuju Kongres Kebudayaan Pertama

Advertising
Advertising

Meski baru berfokus pada budaya Jawa, KBJ 1918 setidaknya memiliki semangat untuk melakukan gerak kolektif untuk memajukan kebudayaan Jawa. Salah satu amanat KBJ 1918 menjadi acuan penyelenggaraan kongres dan penyusunan strategi kebudayaan saat ini.

“Dasar inilah yang menjadi acuan dengan menggarisbawahi kata maju dan mendasari nama UU Pemajuan Kebudayaan,” kata Ferdiansyah.

 

Usaha Via Legislasi

Usaha pemajuan kebudayan terus dilakukan hingga Indonesia merdeka. Pasal 32 Ayat 1 UUD 1945 mengamanatkan pemajuan budaya melalui strategi kebudayaan. Kala itu pelaksanaannya melalui Kongres Budaya. Lewat rekomendasi yang dihimpun melalui kongres, strategi kebudayaan dijalankan masyarakat dan pelaku budaya.

“Waktu itu belum ada birokrasinya, masyarakat bergerak sendiri. Direktorat Jenderal Kebudayaan baru ada tahun 1966. Sebelumnya ada Jawatan Kebudayaan namun perannya tak signifikan,” kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid kepada Historia.

Rencana pembuatan hukum turunan Pasal 32 UUD 1945 baru dilakukan tahun 1982. Kala itu, Dirjen Kebudayaan Hariati Subadio mengadakan diskusi dengan para pakar tentang perlunya undang-undang yang mengatur soal kebudayaan. Namun, pembuatan UU Kebudayaan tak terlaksana lantaran terjadi perdebatan panjang tentang apa yang perlu diatur. Rencana itu pun berhenti pada tahap kajian.

“Buat sebagain orang, termasuk saya, kebudayan yang begitu kompleks tidak mungkin diatur. Padahal, kalau bicara tentang undang-undang kebudayaan harus spesifik tentang rumusan dan objek yang akan diatur,” kata Hilmar. Lebih jauh Hilmar menambahkan, hal yang bisa diatur dalam UU Kebudayaan adalah tata kelolanya karena budaya hidup di masyarakat dan pemerintah tidak bisa meregulasi kompleksitas budaya.

Kongres yang Putus-Sambung

Kongres Budaya pertama pascakemerdekaan diselenggarakan tahun 1948. Para peserta kongres merumuskan strategi budaya yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian pascapenjajahan. Kongres terus berlanjut hingga 1960 namun terhenti di masa Orde Baru.

Terhentinya kongres di masa Orde Baru disebabkan oleh pemerintahan yang sentralistik dan refpresif. Stabilitas dan keamanan negara yang menjadi dasar kebijakan Orde Baru tak memungkinkan diselenggarakannya kongres yang merupakan tempat menyuarakan pendapat. Namun, pada dekade akhir Orde Baru corong-corong suara mulai terbuka sehingga Kongres Kebudyaan bisa kembali dilaksanakan pada 1991.

Pascareformasi, kongres dilaksanakan pada 2003 dan menjadi agenda reguler lima tahunan. Perlindungan dan pengembangan kebudayaan nasional yang rinciannya dibahas melalui kongres mendapat titik terang dengan pengesahan Undang-Undang (UU) Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.

Baca juga: Kongres Kebudayaan Berusaha Membentuk Ekosistem Kebudayaan

“Kita punya payung hukum yang cukup kuat untuk memajukan kebudayan,” kata Hilmar. UU ini berpegang pada pokok pikiran kebudayan daerah, strategi kebudayan, rencana induk pemajuan kebudayaan, dan membahas tentang tata kelola kebudayaan.

Hilmar menambahkan, selama ini problem perumusan UU Kebudayaan terhenti pada pendefinisian budaya. Dalam perumusan UU Kebudayaan 2017, Hilmar bersama tim dan DPR berusaha menghindari perdebatan itu dan berfokus pada masalah konkret dengan memastikan objek budaya yang akan dikembangkan. Ada 10 objek kebudayan yang akan dikembangkan, yakni manuskrip, adat-istiadat, tradisi lisan, ritus, pengetahuan, teknologi, olah raga, bahasa, kesenian tradisional, dan permainan rakyat.

Sejak Maret 2018, masyarakat dilibatkan dalam penyusunan strategi kebudayaan dengan cara penjaringan data dari Kabupaten/Kota dan 40 sektor kebudayaan melalui komunitas. Data dari tingkat daerah itu selanjutnya dirumuskan dalam Sidang Pleno Kebudayaan (9/12), yang menghasilkan strategi kebudayaan sebagai langkah jangka panjang dan resolusi Kongres Kebudayaan yang segera dilaksanakan.

Resolusi itu berisi tujuh poin, yaitu: penyediaan ruang budaya yang inklusif berupa Pekan Kebudayaan Nasional, regenerasi karya kreatif, diplomasi budaya, membangun pusat inovasi budaya, pelibatan seniman dalam kebijakan kepariwisataan, membentuk dana perwalian kebudayaan, memfungsikan kembali aset publik untuk kegiatan budaya.

Baca juga: Wadah Pembahasan Arah Kebudayaan dari Beragam Masa

“Dana perwalian ini penting sekali. Program ini semacam dana hibah untuk kesenian yang dibentuk oleh trust fund. Kami harap tahun depan sudah bisa dilaksanakan,” kata Hilmar, ketika ditemui selepas penyerahan Strategi Kebudayaan (9/12).

Sementara, strategi kebudayaan yang diserahkan kepada presiden di hari yang sama untuk disahkan menjadi Perpres menjadi acuan dalam kebijakan terkait budaya di 22 kementerian. Strategi Kebudayaan ini merupakan kerangka kebijakan yang akan dilaksanakan selama 20 tahun ke depan, dengan visi Indonesia bahagia berlandaskan keanekaragaman budaya yang mencerdasakan, mendamaikan, dan menyejahterakan.

“Inti dari kebudayaan adalah kegembiraan. Orientasi kebudayaan tak boleh keluar dari etos keseharian masyarakat. Untuk menjamin keberlangsungannya, negara harus hadir mendukung ruang ekspresi yang penuh toleransi, beragam, dan inklusif,” kata Presiden Joko Widodo dalam sambutannya (9/12).

Dengan adanya strategi kebudayaan, Hilmar berharap, tiap kekurangan dan masalah terkait budaya di kabupaten/kota seperti kekurangan sumber daya manusia, ruang, atau anggaran dapat diatasi. “Setelahnya ada konsolidasi sumberdaya untuk mengelola kebudayaan, SDM, lembaga, anggaran, program, semua terkoneksi,” kata Hilmar.

Baca juga: Wadah Lahirnya Kesadaran Berbangsa

 

TAG

kongres-kebudayaan

ARTIKEL TERKAIT

Jalan Berliku Menuju Kongres Kebudayaan Pertama Membentuk Ekosistem Kebudayaan Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian II – Habis) Sentot Alibasah Prawirodirjo, Putera, Hansip Spion Wanita Nazi Dijatuhi Hukuman Mati Nafsu Berahi Merongrong Kamerad Stalin (Bagian I) Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno