DIREKTUR Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, Kongres Kebudayaan yang rencananya diselenggarakan 5-9 Desember 2018 nanti bertujuan membentuk strategi kebudayaan yang menjadi acuan 22 kementerian dalam menjalankan kebijakan terkait budaya. Dengan adanya strategi kebudayaan, dunia seni budaya lebih diakui karena tercantum dalam kerangka kebijakan. Dengan begitu, praktik kesenian beserta perkembangannya bisa lebih terorganisasi dan terstruktur.
“Selama ini kesenian dianggap sebagai sebuah bidang yang tidak mapan dalam kerangka kebijakan sehingga pemerintah sulit mengukur,” ujarnya dalam media briefing Kongres Kebudayan, Kamis (22/11) di Pulau Dua Restoran. Ketiadaan pembahasan mendalam tentang seni budaya dalam kerangka kebijakan menyulitkan pemerintah dan pelaku seni dalam menyelenggarakan kegiatan seni budaya.
Untuk membentuk strategi kebudyaan, Direktorat Kebudayaan telah menyelanggarakan prakongres Kebudyaaan sejak Maret 2018 dengan mengumpulkan data empirik dari 200-an kabupaten/kota. Selain itu, ada 33 bidang dan pelaku budaya yang berkumpul, seperti seniman wayang, komunitas independen, antropolog dll. yang telah memberikan rekomendasi.
Pada kongres Desember nanti, kegiatan berupa penyampaian kesimpulan dari rapat-rapat kecil prakongres daerah. Kesimpulan ini kemudian dibahas oleh 17 orang perumus, salah satunya Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy. Hasil rumusan strategi kebudayan ini kemudian diteruskan kepada presiden untuk disetujui dan ditetapkan menjadi kebijakan yang dijalankan oleh tiap-tiap kementerian.
Dengan adanya strategi kebudayaan, pemerintah memiliki arah yang jelas dalam mengembangkan budaya. Masuknya sektor seni budaya dalam kerangka kebijakan juga mempermudah pemerintah dan pelaku seni untuk lebih mengembagkan budaya daerahnya masing-masing dan menciptakan ekosistem kebudayaan yang mapan di masyarakat.
“Strategi kebudyaan memastikan sektor seni budaya mapan dalam kerangka kebijakan. Selama ini sektor budaya tidak terlalu diperhitungkan. Hasil konkretnya di masa mendatang pembiayaan kegiatan seni lebih mudah,” kata Hilmar.
Namun, hasil konkret atas strategi kebudayaan belum bisa langsung dirasakan. Menurut Hilmar, efek dari masuknya sektor seni budaya dalam kerangka kebijakan baru akan dirasakan betul pada 10-30 tahun mendatang. “Dulu orang tidak kenal budaya Korea, namun sekarang semua orang tahu. Itu karena pemerintahnya menjalankan strategi kebudayaan dan berhasil. Segala bentuk kegiatan seni didukung oleh pemerintah. Harapannya kita bisa seperti itu,” kata Hilmar.
Estafet Pencarian
Kongres Kebudayaan Desember mendatang menjadi tahap lanjutan dari perumusan kebudayaan nasional yang telah dirintis sejak Kongres Kebudayaan pertama tahun 1918. Pascakemerdekaan, Kongres Kebudayaan pertama kali diselenggarkaan tahun 1948. Panitia kongres bertugas membuat rumusan tentang arah dan strategi kebudayaan untuk mendirikan kebudayaan nasional indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian pascapenjajahan.
Semangat membentuk kebudayaan nasional dan keluar dari mentalitas negeri jajahan itu terus diupayakan hingga Kongres Kebudayaan tahun 1960. Namun, proses pencarian kebudayaan nasional terputus selama tiga dekade dan baru kembali terlaksana pada 1991.
Pascareformasi, Kongres Kebudayaan digelar secara rutin. Namun, Kongres Kebudayan sejak 2003 belum membuahkan hasil. Kongres Kebudayaan, dalam rilisan pers Kementerian Kebudayaan, lebih serupa simposium ilmiah yang memaparkan pemikiran dari para ahli yang meski menarik tapi tak punya sangkut-paut dengan kondisi lapangan. Kongres-kongres itu juga tidak secara langsung melibatkan masyarakat dalam mengelola kebudayan bersama sehingga tak menyentuh masalah sampai ke akar rumput.
Dengan penghimpunan data dari tingkat paling kecil, yakni desa dan pegiat seni budaya, Kongres Kebudayan 2018 berusaha menjaring dukungan untuk memapankan sektor budaya dan membentuk ekosistem budaya yang terstruktur dengan mendorong dan membuat jalur komunikasi budaya dari desa sampai ke pusat.
“Kongres ini inginnya menjadi kepemilikan luas semua masyarakat agar proses perumusan kebijakan diikuti semua pelaku budaya sehingga ketika jadi kebijakan akan menjadi kepemilikan bersama,” kata Hilmar.