MEMASUKI bulan September 1955, berbagai surat kabar memberitakan persiapan pemilu nasional pertama di Indonesia. Sosialisasi pemilu dan tata cara memilih pun gencar dilakukan. Selain secara langsung oleh Panitia Pemilihan Indonesia dan partai-partai politik, sosialisasi juga dilakukan melalui media massa.
Ingar-bingar penyelenggaraan pemilu sesungguhnya telah berlangsung sejak beberapa tahun sebelumnya. Partai-partai politik melakukan beragam upaya untuk menarik perhatian publik dan menjaring massa. Faishal Hilmy Maulida dalam Sejarah Pemilu yang Dihilangkan menyebut partai politik menyongsong pemungutan suara dengan memaksimalkan kampanye-kampanye lisan maupun tertulis untuk merebut hati rakyat.
“Partai-partai menancapkan jaringannya dari kota-kota besar hingga desa-desa, setiap partai memiliki basis massa tersendiri berdasarkan haluan politik masing-masing. Baik PNI, Masjumi, NU, PKI, PSI, dan partai-partai lain menerapkan strategi ini. Partai-partai secara aktif mencari dukungan baik dari arus bawah maupun kelompok-kelompok masyarakat berpengaruh,” tulisnya.
Baca juga:
Iklan Kampanye dan Kemenangan Eisenhower dalam Pilpres AS
Dalam melakukan kampanye untuk menarik suara rakyat, setiap partai politik dilarang menggunakan nama presiden dan wakil presiden dalam bentuk apapun, baik secara lisan maupun tulisan. Het nieuwsblad voor Sumatra, 30 September 1955, memberitakan bahwa larangan tersebut dikeluarkan dengan pertimbangan presiden dan wakil presiden merupakan lambang persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia, “dan oleh karena itu nama, gambar, atau tanda tangan mereka tidak boleh digunakan dalam kampanye pemilihan umum, karena persatuan dwitunggal Sukarno-Hatta sebagai kepala negara berada di atas semua partai, organisasi, dan golongan.”
Sementara itu, semakin mendekati hari pemungutan suara yang berlangsung pada 28 September 1955, Wakil Presiden Mohammad Hatta ikut serta dalam melakukan sosialiasi dan memberikan pesan bagi para pemilih. Mengutip De locomotief: Samarangsch handels- en advertentie-blad, 28 September 1955, pidato Bung Hatta mengenai pemilihan umum disiarkan Radio Republik Indonesia beberapa hari sebelum pemungutan suara. Dalam pidatonya, wakil presiden menjelaskan tujuan dan pentingnya pemilu serta mendorong masyarakat untuk memilih pemimpin yang amanah dan dapat diandalkan, yang nantinya akan duduk di parlemen baru yang akan dibentuk.
“Drs. Hatta mengatakan bahwa pada tanggal 29 September mendatang, rakyat Indonesia memiliki tugas penting yang harus dilaksanakan, yakni rakyat akan memilih wakil-wakilnya untuk duduk di parlemen. Ini merupakan yang pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, di mana negara ini akan memiliki parlemen yang mencerminkan keinginan rakyat,” tulis surat kabar tersebut.
Baca juga:
Pemilu 1955 akan membuat demokrasi di Indonesia semakin sempurna karena pemerintahan yang demokratis berarti pemerintahan yang berkedaulatan rakyat. Bung Hatta menyebut bahwa memilih wakil rakyat untuk duduk di parlemen bukanlah suatu kewajiban, melainkan hak warga negara yang berkaitan dengan hak untuk mengatur nasib mereka sendiri. Oleh karena itu, rakyat harus menggunakan hak ini dalam arti yang seluas-luasnya, tanpa takut pada upaya kelompok-kelompok tertentu yang ingin memperkeruh suasana selama pemilu. Di sisi lain, langkah-langkah telah diambil dan tata cara pemilu telah diatur sedemikian rupa sehingga dapat menjamin setiap orang menggunakan hak pilihnya dengan bebas dan tanpa tekanan dari siapapun.
Bung Hatta mengutip Pasal 35 Undang-Undang Dasar Sementara untuk menunjukkan bahwa pelaksanaan pemilu yang bebas dan rahasia telah diatur dengan undang-undang. “Memang, pasal ini menyatakan bahwa kekuasaan pemerintah bertumpu pada kehendak rakyat. Keinginan rakyat ini tercermin dalam pemilu yang diselenggarakan secara jujur dan adil sesuai dengan hak pilih yang bersifat umum dan bebas, sedangkan pemungutan suara dirahasiakan atau dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga pemberian suara dapat dilakukan dengan bebas,” tulis De locomotief.
Hak ini diberikan kepada rakyat agar rakyat dapat mengontrol kegiatan para wakilnya di parlemen, mengawasi kejujuran dan kemampuan mereka untuk mewujudkan cita-cita dan kepentingan rakyat. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pemilu membuka kemungkinan bagi masyarakat untuk mengganti anggota parlemen yang dianggap tidak layak atau tidak dapat diandalkan. Oleh karena itu, Bung Hatta mengimbau masyarakat untuk memilih orang-orang yang dapat diandalkan, karena di pundak merekalah tanggung jawab yang berat terkait aspirasi masyarakat dari berbagai wilayah di Indonesia akan dibebankan.
Baca juga:
Mengungsikan Bung Hatta Jelang Pemilu Perdana Orba
“Semua mata dunia tertuju pada Indonesia yang akan menggunakan hak demokrasinya untuk pertama kalinya dalam sejarah. Oleh karena itu, saya mengimbau kepada seluruh masyarakat Indonesia untuk menggunakan hak pilihnya dengan sebaik-baiknya dan melaksanakan pemilu dengan tenang dan penuh tanggung jawab. Silakan berpartisipasi dalam pemilu dengan tenang dan aman, serta dengan semangat sportif,” kata Bung Hatta menutup pidatonya.
Beberapa hari setelah pidatonya disiarkan di RRI, Bung Hatta bersama istri, Rahmi Hatta, memberikan suara di tempat pemungutan suara (TPS) yang terletak di gedung olahraga di Jalan Medan Merdeka Selatan, Jakarta pada 29 September 1955.
Surat kabar Algemeen Indisch dagblad: de Preangerbode, 30 September 1955, melaporkan bahwa pasangan suami-istri ini didampingi oleh dua petugas sebagai ajudan berjalan kaki menuju TPS. Sesampainya di sana, keduanya bergabung dengan antrean pemilih yang telah terbentuk dan dengan sabar menunggu giliran untuk menggunakan hak suaranya di bilik suara yang telah disediakan.*