Iklan Kampanye dan Kemenangan Eisenhower dalam Pilpres AS
Eisenhower memanfaatkan iklan di televisi untuk kampanye pemilihan presiden Amerika Serikat. Dikritik dan dicemooh oleh lawannya, namun hasilnya ia terpilih sebagai presiden.
TELEVISI masih menjadi salah satu media kampanye dalam pemilihan umum. Pada 1950-an, televisi tidak dipandang sebagai media kampanye yang menjanjikan hingga Dwight D. Eisenhower, mantan panglima tertinggi Sekutu dalam Perang Dunia II, maju sebagai calon presiden Amerika Serikat tahun 1952.
Calon presiden yang diusung Partai Republik itu disebut sebagai kandidat presiden pertama yang memanfaatkan televisi untuk menghimpun suara melalui iklan kampanye. Langkah yang diambil Eisenhower tergolong berani dan revolusioner. Pasalnya, sebelum tahun 1952 para kandidat presiden umumnya menyebarkan pamflet dan brosur kampanye, serta tur whistle-stop atau bertemu dan berpidato di hadapan massa di berbagai wilayah AS.
Menurut Craig Allen dalam Eisenhower and the Mass Media: Peace, Prosperity, and Prime-time TV, meski memanfaatkan iklan kampanye di televisi, pria yang akrab disapa Ike itu tetap melangsungkan tur whistle-stop secara intensif. “Iklan yang disiarkan secara nasional di televisi hanya menjadi daya tarik sampingan pada musim gugur 1952, karena pada saat itu kendali kampanye Eisenhower telah berpindah dari kelompok pendukungnya ke mesin partai, yang bersikeras bahwa strategi kampanye keliling harus menjadi prioritas utama,” tulis Allen.
Walau kampanye di televisi hanya dianggap sebagai alat pendukung, Eisenhower tak ingin setengah-setengah dalam menarik atensi publik terkait pencalonannya bersama Richard Nixon. Eisenhower bekerjasama dengan profesional di bidang periklanan, di antaranya Ben Duffy dari Batten, Barton, Dursne & Osborn (BBD&O) dan Sig Larmon dari Young & Rubicam (Y&R).
Menurut Edwin Diamond dan Stephen Bates dalam The Spot: The Rise of Political Advertising on Television, Ike maju ke pemilihan tanpa didampingi oleh penasihat. Oleh karena itu, sang pendatang baru ini mendengarkan saran dari para pendatang baru lainnya, seperti Duffy, dalam melancarkan kampanyenya. “Ketiadaan pengalaman menumbuhkan inovasi, termasuk kemauan untuk mengambil risiko pada media baru. Sementara itu, rencana kampanye resmi juga mendesak Ike untuk mengambil risiko,” tulis Diamond dan Bates.
Rencana tersebut menekankan pada potensi televisi dalam menjaring pemilih. Sosok Eisenhower-Nixon yang dipandang memiliki kepribadian hangat, tak cocok dengan pidato-pidato formal yang umum disiarkan di televisi. Oleh karena itu, produksi televisi yang informal dan intim yang ditujukan langsung kepada setiap orang AS dan keluarganya, serta masalah dan harapan mereka, diperlukan untuk memaksimalkan perolehan suara. Mengacu pada pemahaman ini, penggunaan “iklan” di sela-sela siaran radio maupun televisi selama beberapa hari menjelang hari pemungutan suara wajib dilakukan untuk merangsang para pemilih pergi ke tempat pemungutan suara dan memilih Eisenhower-Nixon.
Mulanya Partai Republik memandang Eisenhower-Nixon membutuhkan slogan yang efektif untuk melawan Stevenson-Sparkman, kandidat presiden yang diusung Partai Demokrat. Namun, para profesional periklanan mengatakan yang dibutuhkan Eisenhower untuk memenangkan pemilihan presiden adalah memanfaatkan iklan televisi. Secara keseluruhan, iklan kampanye Eisenhower menghasilkan 40 iklan berdurasi 20 detik yang berjudul “Eisenhower Answers America”, di mana sang jenderal menjawab pertanyaan yang berbeda di setiap iklan yang diajukan oleh masyarakat. Sejumlah pertanyaan yang diajukan dalam iklan kampanye tersebut berkaitan dengan gagasan-gagasan yang telah diutarakan Eisenhower dalam berbagai pidato. Dari sekian banyak isu yang menjadi sorotan, dipilih tiga isu utama yang dianggap paling meresahkan rakyat AS, yakni isu Korea, korupsi, dan biaya hidup. Beberapa pertanyaan yang akan dijawab oleh Eisenhower pun berkaitan dengan tema-tema yang telah ditentukan.
Tak hanya itu, tim Eisenhower juga mengatur waktu yang tepat untuk mengiklankan kampanye tersebut di televisi. “Para agen iklan Eisenhower membeli waktu tayang di televisi (dengan saran dari para eksekutif di A.C. Nielsen, sebuah lembaga rating). Dari empat puluh iklan yang telah difilmkan oleh Reeves dan Eisenhower, dua puluh delapan di antaranya digunakan; iklan-iklan tersebut ditayangkan pada pertengahan Oktober di empat puluh negara bagian, dengan jadwal terberat ditayangkan di negara-negara bagian yang dianggap penting dalam pemilihan umum – New York, New Jersey, Illinois, Massachusetts, Michigan, Maryland, Indiana, California, Pennsylvania, Texas, dan Connecticut,” tulis Diamond dan Bates.
Baca juga: Obrolan Tak Nyambung Sukarno dengan Eisenhower
Meski iklan televisi merupakan inovasi baru dalam kampanye, Partai Republik juga menguji berbagai format televisi lain. Komite Kongres Partai Republik mencoba menayangkan program acara “Sidang Kongres Partai Republik” di bulan Mei 1952. Acara ini mengemas kasusnya secara dramatis dengan menempatkan Partai Demokrat dalam pengadilan tiruan. Para pemimpin kongres dari Partai Republik membintangi acara ini, sementara aktor-aktor profesional memerankan tokoh-tokoh dari Partai Demokrat.
Selain itu, Partai Republik juga memproduksi film berjudul Ike for President, yang menampilkan jingle (“Anda suka Ike! Saya suka Ike! Semua orang suka Ike!”) dan animasi dari studio Disney. Pada saat yang sama, Partai Republik merombak pidato tradisional era radio dan mengubah bentuknya untuk disesuaikan dengan kampanye mereka di televisi. BBD&O menetapkan setiap pidato Eisenhower tidak boleh lebih dari dua puluh menit untuk slot yang berdurasi tiga puluh menit, karena sisa waktu lainnya akan diisi dengan film Ike yang bergerak di antara kerumunan orang yang mengaguminya.
Iklan kampanye yang dilancarkan tim Eisenhower tak hanya menarik perhatian publik. Lawannya, Partai Demokrat juga menyoroti hal tersebut. Calon presiden Adlai Ewing Stevenson II mengejek kampanye tim Eisenhower dengan menyebutnya seperti mencoba menjual kandidat presiden layaknya menjual sebuah sabun. “Saya pikir rakyat Amerika tidak ingin politik dan kepresidenan menjadi permainan orang-orang berkuasa, para agen periklanan, dan orang-orang humas. Saya pikir mereka akan terkejut dengan penghinaan terhadap kecerdasan rakyat Amerika. Ini bukan opera sabun, ini bukan Ivory Soap versus Palmolive,” kata Stevenson.
Baca juga: Tragedi Kematian Presiden John F. Kennedy
Menurut Pam Perry dalam Eisenhower: The Public Relations President, Stevenson menolak tampil dalam iklan kampanye di televisi karena orator yang pernah menjabat gubernur Illinois itu tidak ingin merendahkan jabatan yang sedang diincarnya. “Sulit untuk mengatakan bahwa Stevenson salah mengenai dampak televisi terhadap kampanye, namun ia tidak melihat ke depan pada keniscayaan dan kemungkinan keuntungan televisi seperti yang dilakukan Eisenhower. Sebagai contoh, iklan selama tiga puluh detik akan menyederhanakan isu-isu yang kompleks, tetapi kerugian itu dapat diimbangi oleh kemampuan publik untuk melihat dan mendengar gagasan para kandidat melalui televisi,” tulis Perry.
Kritik yang dilontarkan Partai Demokrat terhadap gaya kampanye Eisenhower bukan berarti membuat mereka tidak menggunakan televisi sebagai media kampanye. Mereka paham nama Stevenson belum terlalu dikenal sehingga sang calon presiden membutuhkan televisi untuk mengangkat namanya. Namun, alih-alih memanfaatkan iklan untuk kampanye, Partai Demokrat dan Stevenson justru memilih menyiarkan pidato berdurasi sekitar 30 menit. Pidato tersebut disiarkan pada Selasa dan Kamis malam, antara pukul 22.30 dan 23.00. Mereka melakukan ini dari jauh-jauh hari, pada bulan Mei, agar tidak perlu membayar biaya tambahan. Selain itu, mereka berteori bahwa menyiarkan pidato di jam yang telah ditentukan akan membangun audiens yang tetap, yang akan menyaksikan pidato-pidato Partai Demokrat karena kebiasaan. Namun, kemungkinan terbesar pidato itu ditayangkan pada waktu larut malam merupakan upaya Partai Demokrat untuk menghemat pengeluaran.
Sayangnya, rencana periklanan Partai Demokrat ini tak luput dari sejumlah masalah. Stevenson tak jarang terlalu bersemangat saat berpidato sehingga lupa waktu. Ketika ia mencapai klimaks retorikanya, pidato Stevenson yang ditayangkan di televisi tiba-tiba menghilang di tengah-tengah acara, dan digantikan oleh program stasiun televisi berikutnya. “Hal ini, bagi seorang pria yang sangat berhati-hati dalam menulis pidatonya, tidak dapat dimaafkan, dan hal ini terjadi berulang kali,” tulis Diamond dan Bates.
Para ahli media setuju televisi belum dimanfaatkan dengan baik pada 1952. Salah satu penyebabnya karena biaya untuk kampanye tersebut sangat mahal. Steve Jarding, Steve Bouchard, and Justin Hartley menulis dalam “Modern Political Advertising and Persuasion” yang termuat dalam Routledge Handbook of Political Advertising, selama periode tiga minggu di bulan Oktober 1952, kampanye Eisenhower menghabiskan dana mencapai US$2 juta untuk menyiarkan iklan-iklan kampanyenya di 12 negara bagian utama. Sementara lawan Eisenhower, Adlai Stevenson dari Partai Demokrat menggelontorkan dana sebesar US$77.000 untuk keseluruhan kampanye tahun 1952.
Stevenson bukan satu-satunya politisi yang memandang sebelah mata kekuatan iklan kampanye di televisi. Calon presiden sebelumnya dari Partai Republik, Thomas E. Dewey, yang diyakini dapat mengalahkan petahana Harry S. Truman pada 1948, juga menolak menggunakan iklan kampanye di televisi ketika penasihat media merekomendasikan konsep ini kepadanya. Keputusan Dewey dapat dipahami karena pada 1948 hanya ada kurang dari setengah juta pesawat televisi di AS, sementara pada 1952 hampir sembilan belas juta. Meski begitu Dewey belajar dari pemilihan presiden tahun 1948. Dia kemudian menggunakan televisi ketika mencalonkan diri dan memenangkan pemilihan gubernur di New York pada 1950.
Keberhasilan Dewey dalam pemilihan gubernur New York kian meyakinkan Eisenhower dan Partai Republik untuk memaksimalkan televisi sebagai media kampanye pemilihan presiden. Tim Eisenhower memanfaatkan “kesalahan-kesalahan” yang dilakukan Partai Demokrat dengan memusatkan kampanye pada tema-tema yang menjadi isu utama di kalangan masyarakat, memangkas durasi iklan agar tidak terpotong, serta menyiarkan iklan kampanye beberapa minggu menjelang hari pemungutan suara.
“Memasang iklan selama tiga minggu saja memberikan keuntungan sebagai berikut: memberikan efektivitas yang optimal dalam memberikan pemahaman dan membekas dalam ingatan para penonton tanpa membuat mereka merasa bosan, memberikan hasil yang maksimal tepat sebelum hari pemungutan suara, iklan ini ditayangkan pada waktu akhir sehingga sulit bagi Partai Demokrat untuk memberikan sanggahan yang efektif,” tulis Diamond dan Bates.
Pada akhirnya iklan kampanye yang dilakukan secara efektif oleh Partai Republik tak hanya berhasil membawa Eisenhower-Nixon memenangkan pemilihan presiden mengalahkan Stevenson-Sparkman, tetapi juga mengubah pandangan tentang teknik persuasi politik di AS. Empat tahun berselang, perang iklan kampanye di televisi antara Eisenhower dan Stevenson pun menjadi tak terhindarkan dalam pemilihan presiden tahun 1956.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar