Masuk Daftar
My Getplus

Perjalanan KH Abdul Chalim Nandur Cinta Tanah Air

Salah satu pendiri NU yang menanamkan cinta tanah air pada generasi muda dari Surabaya hingga ke Majalengka.

Oleh: Randy Wirayudha | 10 Nov 2023
KH Abdul Chalim Leuwimunding, salah satu pendiri NU asal Majalengka (Ilustrasi: Muhammad Yusuf/Historia)

MENJELANG satu abad Nahdlatul Ulama (NU), salah satu pendirinya dianugerahi gelar pahlawan nasional. Ia adalah KH Abdul Chalim. Bersama lima tokoh lain, Chalim resmi menyandang gelar itu lewat Keppres No. 115/TK/2023 tanggal 6 November 2023 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional.

“Sebagai penghargaan dan penghormatan yang tinggi atas jasa-jasanya yang luar biasa yang semasa hidupnya pernah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau politik atau bidang lain untuk mencapai, merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan, serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa,” demikian bunyi penggalan keppres tersebut, sebagaimana dikutip laman Sekretariat Kabinet, Jumat (10/11/2023).

Penganugerahannya dihelat tepat pada peringatan Hari Pahlawan pada Jumat (10/11/2023) di Istana Negara, Jakarta. Gelarnya diberikan langsung Presiden RI Joko Widodo kepada perwakilan keluarga.

Advertising
Advertising

Sebelumnya nama KH Abdul Chalim diusulkan oleh Pemerintah Kabupaten Majalengka dan Provinsi Jawa Barat. Dalam seminar pengusulannya di Islamic Center Surabaya pada 29 April 2023, dukungan juga turut diberikan oleh Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa.

“Beliau melihat bahwa akar anak muda harus terbangun nasionalismenya. Pikiran ini digagas Kiai (Abdul) Wahab Hasbullah tapi implementasinya adalah KH Abdul Chalim. Seorang KH Abdul Chalim berpikir bahwa cinta tanah air juga sebagian dari iman. ‘Nandur’ (menanamkan, red.) bagaimana cinta tanah air dan yang dibangun adalah cinta tanah air khususnya bagi anak-anak muda dan itu sudah ada di Surabaya sejak awal 1900-an,” kata Khofifah, dilansir NU Online, 30 April 2023.

Baca juga: Bataha Santiago Digantung Akibat Lawan VOC

Dari Majalengka ke Surabaya via Hijaz

Abdul Chalim lahir di Leuwimunding, Majalengka, Karesidenan Cirebon pada 2 Juni 1898. Ayahnya, Kedung Wangsagama, merupakan seorang kuwu atau kepala desa, sedangkan ibunya, Nyai Satimah, merupakan keturunan pendiri Pesantren Banada.

Setelah mengenyam pendidikan dasar di HIS (Hollandsche-Indlansche School) di Cirebon, Abdul Chalim memilih “mondok” alias masuk pesantren. Mulai dari Pesantren Trajaya, Pesantren Kedungwuni di Majalengka, hingga Pesantren Kempek di Cirebon.

“Pada tahun 1914 ketika usianya baru menginjak enam belas tahun, beliau berkesempatan menunaikan ibadah haji dan menuntut ilmu ke tanah Hijaz (Makkah) selama dua tahun. Di sanalah beliau menimba ilmu secara langsung dari ulama-ulama masyhur, seperti Abdul Mu’thi, Syaikh Ahmad Dayyat dan Muhammad Nawawi bin Umar al-Bantani yang lebih sohor dengan sebutan Imam Nawawi Banten,” tulis Tim Walikutub Saklusin 12 dalam buku Sejarah Perjuangan Kiai Haji Abdul Wahab dalam Perspektif Saksi Autentik Sejarah NU, KH. Abdul Chalim Sang Katib Tsani NU Pertama.

Baca juga: Di Balik Tabir Pahlawan Nasional Abdul Kahar Mudzakkir

Selama di Makkah, Abdul Chalim bersua dan bersahabat dengan Kiai Wahab Jombang alias KH Abdul Wahab Hasbullah. Kiai Wahab juga yang mengajak Abdul Chalim masuk ke Sarekat Islam (SI) Hijaz sebagai anggota dan pengurus termuda.

Sepulangnya dari Hijaz pada 1917, Abdul Chalim makin mantap menentang kebijakan-kebijakan kolonial lewat pendidikan agama di Majalengka. Lima tahun berselang, ia mengembara ke Surabaya untuk bereuni dengan KH Wahab Hasbullah, lalu kemudian mengajar di Nahdlatul Wathan.

Abdul Chalim tak hanya mengajar sastra Arab. Ia juga memperkenalkan kepada para santrinya gagasan-gagasan keagamaannya tentang interaksi sosial, solidaritas politik, dan wawasan kebangsaan dalam masyarakat.

“Selama mengabdi di Surabaya, berkali-kali juga KH Abdul Chalim pulang ke Majalengka untuk menyampaikan kabar-kabar terbaru dari Surabaya yang kala itu merupakan pusat perjuangan kaum santri dalam membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan dan kebodohan umat. Selalu mendatangi rumah-rumah penduduk untuk mengajarkan dan memperkenalkan faham Ahlussunnah Waljamaah, membagi-bagikan suratkabar Soeara Nahdlatoel Oelama kepada masyarakat Majalengka dan sekitarnya,” ungkap Ilham Chabibur Rochman Susilawati dalam Hikayat Ulama Nusantara.

Baca juga: Jihad ala NU

Masuknya Jepang pada 1942 yang menggantikan pemerintah kolonial Belanda diikuti pembentukan Laskar Hizbullah dari kalangan NU di Surabaya. KH Abdul Chalim ikut pula membentuk Hizbullah cabang Majalengka bersama KH Abbas Buntet Cirebon. KH Abdul Chalim acap bergelut lewat pemikirannya di masa revolusi dengan menyadarkan kaum ulama untuk tidak terprovokasi PKI (Partai Komunis Indonesia) dan propaganda DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).

Selepas masa revolusi kemerdekaan, ia menyalurkan gagasan-gagasan tentang pendidikan dan ekonomi kerakyakat via parlemen. Lewat Pemilu 1955, KH Abdul Chalim mendapat kursi di DPR mewakili NU Jawa Barat.

“Sejak saat itu perjuangan KH Abdul Chalim lebih dititikberatkan pada pemberdayaan warga NU Jawa Barat dengan membentuk berbagai wadah pemberdayaan seperti PERTANU (Perkumpulan Petani NU), PERGUNU (Perkumpulan Guru NU) dan pendirian lembaga-lembaga pendidikan NU di Jawa Barat lainnya,” imbuhnya.

Baca juga: KH Masjkur, Kiai Pejuang Jadi Pahlawan Nasional

Dua tahun sebelum wafat, KH Abdul Chalim turut merintis penulisan dan penerbitan buku-buku mengenai sejarah perjuangan para tokoh NU. Salah satu karyanya adalah Sejarah Perjuangan Kyai Abdul Wahab Chasbullah, yang terbit 1970.

KH Abdul Chalim wafat pada 12 Juni 1972 di usia 74 tahun. Mendiang dikebumikan dekat musholla dan madrasah yang ia didirikan di Leuwimunding.

“Menjelang pulang ke tanah kelahirannya, Kiai Chalim banyak singgah di Jawa Tengah dan Jawa Barat. Hampir pasti di tempat singgah ia memberikan tanda perjuangan berupa madrasah. Untuk itulah jejak perjuangan Kiai Chalim dapat dilihat di berbagai tempat di Surabaya, Semarang, Cirebon, Plered, dan Leuwimunding,” tulis majalah Aula edisi Juni 2023.

Baca juga: Abdul Wahid Hasyim, Pejuang Muda NU

TAG

nahdlatul ulama pahlawan nasional

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Guyonan ala Bung Karno dan Menteri Achmadi Percobaan Pembunuhan Leon Trotsky, Musuh Bebuyutan Stalin Serangkaian Harapan dari Mahkamah Rakyat Mahkamah Rakyat sebagai Gerakan Moral Mencari Keadilan Permina di Tangan Ibnu Sutowo Selintas Hubungan Iran dan Israel