Masuk Daftar
My Getplus

Pembajak Pesawat Garuda Woyla Tuntut Tebusan 1.5 Juta Dolar Amerika

Pemerintah Indonesia tegas menolak membayar tebusan. Kendati demikian, perkara uang tebusan ini menjadi alat ampuh untuk mengulur waktu.

Oleh: Martin Sitompul | 12 Jul 2023
Pelaku pembajakan pesawat Garuda "Woyla": Imran, Mahrizal dan Zulfikar.

Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) Papua dikabarkan meminta 5 miliar rupiah sebagai tebusan untuk membebaskan pilot Susi Air bernama Philips Mark Mehrtens. Philips Mark Mehrtens telah disandera oleh kelompok Tentara Pembebasan Nasional Papua Barat (TPNPB) pimpinan Egianus Kagoya sejak Februari silam. Panglima TNI Laksamana Yudo Margono disebut-sebut memberikan lampu hijau perihal uang tebusan sebagai cara penyelesaian drama penyanderaan sang pilot.

“Yang jelas itu untuk damai dan kemanusiaan, apalagi menyangkut nyawa manusia, baik pilot maupun masyarakat setempat, artinya tidak ada apapun yang seharga itu, kata Yudo dikutip kompas.com (7 April 2023).  

Belakangan, isu uang tebusan itu dibantah sendiri oleh Egianus Kagoya. Kelompoknya hanya menginginkan kemerdekaan Papua untuk ditukar dengan pilot Philips. Soal uang tebusan itupun diklarifikasi oleh Kapolda Papua Irjen Mathius Fakhiri.  

Advertising
Advertising

Baca juga: OPM Hampir Membunuh Sarwo Edhie

Dilansir tempo.co edisi 10 Juli 2023, Mathius mengatakan uang 5 miliar rupiah itu merupakan arahan dirinya kepada pejabat bupati Nduga. Apabila negosiasi membuahkan hasil, dia meminta bupati menyiapkan uang dari kas pemerintah yang jumlahnya tidak lebih dari lima miliar. Langkah itu menurutnya sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo agar melakukan pendekatan tanpa kekerasan untuk membebaskan Kapten Philips. 

Berbeda halnya dengan peristiwa pembajakan Pesawat Garuda DC-9 “Woyla” yang terjadi pada 28 Maret 1981. Pemerintah lebih memilih opsi militer meski pembajak mengajukan tuntutan sejumlah uang disertai ancaman peledakan pesawat. Saat itu pembajak meminta tebusan sebesar 1,5 juta dolar Amerika Serikat. Selain itu, mereka juga meminta pembebasan rekan-rekan mereka yang ditangkap polisi atas penyerangan Polsek Cicendo. Itulah syarat yang mereka ajukan untuk ditukar dengan para penumpang pesawat yang disandera.

“Tuntutan pembajak yang menghendaki pembebasan 80 orang tahanan serta uang tebusan 1,5 juta dollar AS. Tahanan dan uang tebusan itu minta diterbangkan ke luar negeri, tapi sampai sekarang masih belum dapat dipastikan ke negara mana, sebab tidak ada negara yang sedia menerimanya,” demikian diberitakan Angkatan Bersenjata, 31 Maret 1981.

Baca juga: Sebelum Pembajakan Pesawat Garuda

Pesawat Garuda “Woyla” bernomor penerbangan 206 itu mengangkut 42 penumpang sipil. Terbang dari Jakarta menuju Medan dan transit di Palembang. Pembajakan terjadi sesaat setelah pesawat lepas landas dari Bandara Talang Betutu, Palembang pada pukul 10.10. Dari tujuan semula ke Medan, pesawat diterbangkan ke Penang, Malaysia. Dari Penang, pesawat dibajak sampai ke Bandara Don Mueang, Bangkok, Thailand. Pelaku pembajakan merupakan kelompok radikal Jamaah Imran yang merupakan jaringan dari Komando Jihad.

Kepala Bakin (Badan Koordinasi Intelijen) Jenderal Yoga Soegomo ditugaskan sebagai negosiator dengan pembajak. Yoga memang termasuk pejabat tinggi negara yang mula-mula mengetahui tentang adanya kejadian pembajakan pesawat Garuda itu. Sebelum berangkat ke Bangkok, Yoga terlebih dahulu meminta arahan Presiden Soeharto.  

“Prinsip yang harus kau pegang ialah kita tidak boleh mengadakan persetujuan dan jangan menyerah pada tuntutan teroris,” pesan Soeharto kepada Yoga seperti terkisah dalam Operasi Woyla: Sebuah Dokumen Sejarah karya Bambang Wiwoho.

Baca juga: Cerita Korban Pembajakan Garuda Woyla

Opsi operasi militer datang dari Asisten Intelijen Hankam Letjen Benny Moerdani. Ide tersebut dikemukakan Benny ketika memberikan laporan tentang pembajakan kepada Soeharto pada Sabtu malam, 29 Maret 1981. Dalam biografinya Benny Moerdani: Profil Prajurit Negarawan yang ditulis Julius Pour, Benny mengenang saat itu sudah pukul 10 malam lebih. Dengan hanya berkain sarung, Soeharto menerima Benny.

Benny menjelaskan segala data informasi intelijen yang telah terkumpul berikut isi tuntutan para pembajak. Pada akhir kesimpulannya Benny minta izin Soeharto untuk menempuh jalan militer. “Kalau kita sampai menyerah atau mengabulkan permintaan mereka, akan merupakan suatu preseden yang tidak baik.” ujar Benny

Dengan wajah sangat serius, “Soeharto kemudian menukas, Saya juga tidak pernah bilang harus menyerah kok.” Benny meyakinkan bahwa pasukan komando TNI sudah siap apabila pemerintah berkenan untuk opsi operasi militer. Soeharto pun memberikan persetujuannya.

Baca juga: Benny Moerdani Menangani Pembajak Pesawat Garuda

Sejak awal sebenarnya Benny sudah bertekad untuk operasi militer. Tidak ada negosiasi untuk menangani kasus pembajakan Woyla. Bagaimanapun para pembajak pasti akan tetap diserbunya.

“Andaikan para penumpang ada yang tanpa sengaja kena tembakan, mati dan pesawatnya hancur, rencana serbuan tetap akan saya lakukan,” demikian jalan pikiran Benny tulis Julius Pour.

Kendati demikian, iming-iming uang tebusan itu berguna juga ketika Yoga melobi para pembajak. Hari Minggu malam, 30 Maret 1981, Yoga berkomunikasi dengan Mahrizal lewat saluran radio. Mahrizal dari ruangan kokpit pesawat sementara Yoga di pusat pengendalian krisis di Bandara Don Mueang yang berjarak 2,5 km dari Woyla. Pembajak sudah mulai berani menggertak bahkan menghardik Yoga yang merupakan seorang jenderal.

Baca juga: Sebait Puisi dari Pembajak Pesawat Garuda Woyla

Pada malam itu, pembajak meminta Yoga untuk menyiapkan 84 nama rekan-rekan para pembajak yang hendak dibebaskan. Selain itu, Yoga juga dituntut pembajak untuk menyiapkan uang sebanyak 1,5 juta dolar Amerika dalam bentuk tunai. Uang itu sudah harus dibawa serta bersama ke-84 orang tersebut. Di situlah Yoga memainkan perannya untuk mengulur-ulur waktu.  

Berita Sinar Harapan, 4 April 1981, menyebut Yoga memakai berbagai macam cara diplomasi untuk tujuan mengulur waktu. Salah satunya Yoga mengatakan tuntutan para pembajak telah disampaikan kepada Presiden Soeharto. Untuk itu, mereka harus menunggu jawaban dari Jakarta.

“Hubungan ke Jakarta makan waktu setengah atau satu jam,” alasan Yoga untuk menunda seperti dikutip Sinar Harapan.

Baca juga: Jenderal Yoga dan Pembajakan Garuda Woyla

Penting bagi Yoga mengulur waktu selama mungkin. Waktu-waktu krusial itu diperlukan untuk memantapkan latihan pasukan Kopassandha yang dipimpin Letkol Sintong Panjaitan. Selain itu, untuk mematangkan rencana penyerbuan termasuk koordinasi dengan pihak pemerintah maupun angkatan bersenjata Thailand.  

Uang tebusan 1,5 juta dolar Amerika Serikat itu tak pernah sampai ke tangan pembajak. Mereka menemui ajal dalam serangan kilat pasukan Kopassandha yang berlangsung pada 02.00 dini hari tanggal 31 Maret 1981. Tiga pembajak ditewaskan di tempat dan dua lainnya menyusul kemudian.

Di pihak Kopassandha, seorang prajurit bernama Ahmad Kirang gugur. Kapten Pilot Herman Rante terkena tembakan pembajak yang mengakibatkannya meninggal beberapa hari kemudian. Semua penumpang dan kru pesawat dinyatakan selamat.  

Baca juga: Kapten Herman Rante dan Pembajakan Pesawat Garuda

“Setelah 65 Jam, Dibebaskan!” lansir Tempo, 4—11 April 1981.

TAG

pembajakan garuda woyla

ARTIKEL TERKAIT

Bos Sawit Tewas di Siantar Bung Karno di Meksiko Susahnya Bisnis Karet di Zaman Gerombolan Rochjani Soe'oed, Putra Betawi dalam Sumpah Pemuda Memburu Njoto Presiden yang Memilih Hidup Melajang Kabinet 100 Menteri Dulu dan Kini Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Partai Politik Kristen Tak Sekadar Aspirasi Umat Bowo Kecil Ditimang Bung Karno