Tak terbayang dalam benak Nani Nurani Affandi, kehadirannya sebagai pengisi acara HUT Partai Komunis Indonesia (PKI) di Gedung Pertemuan ROXY, Cianjur pada Juni 1965, membuatnya terseret ke dalam prahara Gerakan 30 September 1965.
Wanita berjuluk “suara emas dari Cianjur” itu dikenal sebagai penyanyi dan penari Sunda klasik yang cukup tersohor. Presiden Sukarno kerap memintanya untuk menghibur tamu-tamu agung di Istana Cipanas.
“Bung Karno yang sangat mengagumi dan mencintai kesenian klasik tentu saja selalu meminta saya menyanyi dan menari,” kata Nani dalam biografinya, Penyanyi Istana: Suara Hati Penyanyi Kebanggaan Bung Karno.
Selain menyanyi di Istana, Nani yang mendapat penghargaan dari Legiun Veteran, pernah diminta komandan Brigade Guntur untuk membuat sebuah kidung. Ia juga kerap tampil mengisi acara kesenian dan kebudayaan yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Cianjur.
Baca juga: Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Pasca Peristiwa 1965
Popularitas Nani membuatnya terpilih untuk mengisi acara di HUT PKI. Acara itu berlangsung meriah dan dihadiri bupati, komandan Kodim, kepala Kejaksaan, dan para pejabat daerah lainnya. Sebelum meletusnya G30S, PKI merupakan partai terbesar keempat setelah Partai Nasional Indonesia (PNI), Masyumi, dan Nahdlatul Ulama (NU).
PKI dituduh dalang peristiwa G30S yang menewaskan tujuh jenderal Angkatan Darat. Partai ini menjadi sasaran kemarahan publik yang digerakkan militer. Anggota, simpatisan, dan orang-orang yang dituduh berafiliasi dengan PKI ditangkap, dipenjara, dan dibunuh. Korban pembunuhan massal tersebut mencapai ratusan ribu orang.
Selain anggota PKI, orang-orang yang dekat dengan Sukarno juga menjadi sasaran. Saskia Eleonora Wieringa dan Nursyahbani Katjasungkana dalam Propaganda and The Genocide in Indonesia Imagined Evil menyebut konsekuensi bagi mereka yang dekat dengan Presiden Sukarno sangat besar. Hal itulah yang dialami Nani Nurani Affandi, wanita keturunan bangsawan tradisional di Cianjur yang menjadi penyanyi Istana.
Saskia dan Nursyahbani menyebut Nani tidak pernah bergabung dengan partai atau organisasi politik selain Seni Budaya Sunda. Namun, kehadirannya sebagai pengisi acara HUT PKI membuatnya dituding terlibat kelompok G30S. Nani ditangkap pada 1968 di kediaman orang tuanya di Cianjur.
Baca juga: Tujuh Tahanan Politik Perempuan di Kamp Plantungan
Tuduhan demi tuduhan diarahkan kepada Nani. Ia dituduh membacakan kidung di Lubang Buaya saat Jenderal TNI Ahmad Yani menjelang ajalnya. Ia juga dituding memiliki hubungan khusus dengan Ketua CC PKI D.N. Aidit. Nani membantah tuduhan-tuduhan itu. “Bukan main, Lubang Buaya saja saya tidak tahu, tega-teganya orang menuduh saya dengan keji,” kata Nani.
Kepindahan Nani dari Cianjur ke Jakarta pada Juni 1965 juga dituduh untuk berlatih di Lubang Buaya. Nani menyangkal keras tuduhan tersebut. “Saya pindah ke Jakarta karena ingin melebarkan sayap saya dalam memperdalam menyanyi, sekali lagi saya tegaskan, saya tidak pernah menandatangani kesediaan saya menjadi anggota organisasi apa pun,” kata Nani.
Nani menegaskan bahwa kehadirannya sebagai pengisi acara HUT PKI berkaitan dengan posisinya sebagai pegawai Dinas Kebudayaan Cianjur. Menurut Nani, apapun organisasinya bila acara itu diselenggarakan secara resmi di gedung pertunjukan yang formal dan dihadiri pejabat-pejabat resmi, maka itu bukanlah acara kasak-kusuk. Terlebih sebelum terjadinya G30S, PKI bukan partai terlarang.
Setelah ditangkap, Nani didampingi sang ayah dibawa CPM (Corps Polisi Militer) ke gedung Ampera, Cianjur. Setelah menjalani pemeriksaan, ia resmi menjadi tahanan. Saskia dan Nursyahbani menyebut nama besar Nani membuatnya tidak disiksa saat ditahan. Namun, ia mendengar tangisan orang-orang yang disiksa di ruangan lain.
Nani sempat ditahan di CPM Bogor, lalu dipindahkan ke CPM Guntur di Jakarta tahun 1969. Tak berselang lama, Nani dipindahkan ke penjara Bukit Duri. Di sana, ia ditempatkan di Blok A dan satu sel dengan ibu mertua Aidit, yang dituduh memiliki kedekatan khusus dengan Nani.
Nani juga berkenalan dengan Salawati Daud, wanita pertama yang menjadi wali kota dan memiliki Bintang Mahaputra dari Sukarno; Maasye Siwi, salah satu pimpinan Gerwani; dan Kartinah Kurdi, anggota DPR utusan Yogyakarta.
Baca juga: Ranjau di Setiap Suapan
Nani takkan melupakan pengalaman selama di penjara di Bukit Duri. Seperti soal makanan yang sangat terbatas. “Kami yang sehari-hari mendapat makan dengan beras yang barangkali tikus saja tidak akan mau memakannya karena sudah penuh dengan ulat dan pasir, selalu ada korve khusus membersihkan beras,” kata Nani.
Setiap orang mendapat sepotong tempe atau tahu kira-kira 4x5 cm. Lauk ini dimasak dengan santan, yang menurut Nani mungkin kelapanya hanya tiga butir untuk 150 tahanan. “Bahkan kalau kebetulan tidak mendapat bayem dari Salemba kami akan mencari daun apa saja yang kira-kira dapat dimakan,” kata Nani.
Setelah tujuh tahun dipenjara di Bukit Duri, Nani menghirup udara bebas pada 19 November 1975. Namun, statusnya masih tahanan rumah dan harus melapor setiap hari Rabu. Ia baru bebas penuh pada 5 April 1976. Bersama sejumlah tahanan pria, Nani disumpah yang berisi pernyataan tidak akan menuntut pemerintah atas perlakuan aparatnya kepada mereka selama dalam tahanan.
Baca juga: Yang Terpisah Karena 1965
Sebagai eks tapol, ruang gerak Nani kembali dibatasi oleh rezim Orde Baru setelah peristiwa Tanjung Priok pada 12 September 1984. Mulai Oktober 1984, ia diwajibkan lapor setiap bulan ke Kecamatan Koja dengan alasan pembinaan. “Yang lebih menyakitkan kadang-kadang mendapat ceramah yang masih memaki-maki kami,” kata Nani.
Nani tak bisa beraktivitas sebagaimana masyarakat yang tak memiliki riwayat terseret peristiwa 1965. KTP-nya diberi tanda ET atau Eks Tapol yang membuatnya sulit untuk membuat paspor. Demi paspor, ia harus menghadap ke Kodam. “Di Satgas ini yang memeriksa seorang Letnan. Saya diperiksa dari pagi. Yang membuat saya jengkel bentuk pemeriksaan jadi seperti pemeriksaan seorang tahanan,” kata Nani.
Setelah menjalani pemeriksaan yang panjang, Nani tak kunjung mendapat izin untuk pergi ke luar negeri. Jatuhnya kekuasaan Soeharto tahun 1998 tak memberikan perubahan yang berarti bagi Nani. Ia masih harus wajib lapor. Ia kemudian meminta bantuan Komnas HAM dan LBH agar benar-benar bebas dan tak lagi wajib lapor. Setelah mendapat surat dari LBH, ia tak lagi wajib lapor mulai November 2000.
Meski tak lagi wajib lapor, perjuangan Nani untuk mendapatkan haknya sebagai warga negara masih terkendala karena ia belum bisa mendapatkan KTP seumur hidup. Pada 2003, ia dibantu pengacara LBH Jakarta untuk mendapatkan KTP seumur hidup di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Setelah menjalani proses pengadilan yang panjang, Mahkamah Agung akhirnya memenangkan Nani pada Mei 2008.*