SRI Nasti Rukmawati (72) tak pernah lupa hari-hari setelah Peristiwa 1965. Baginya, hari-hari itu merupakan hari melelahkan, mengerikan, dan menakutkan. Yang lebih penting, hari-hari itu membalikkan nasibnya, nasib orangtuanya, nasib adik-adiknya, dan entah nasib berapa ratus ribu orang lain yang dicap kiri.
“Kami hidup sudah seperti pelarian. Menumpang di rumah kerabat-kerabat,” kata Nasti.
Kala Nestapa Tiba
Yogyakarta, 20 Oktober 1965. Tedja Bayu pamit pada ibunya, Mia Bustam, untuk tugas jaga di Gedung Chung Hwa Tsung Hui (CHTH). Baru beberapa langkah diayunkan Tedja Bayu dari pintu depan, ibunya memanggil. Seketika itu, Tedja Bayu dipeluk dan dicium ibunya.
Itulah momen terakhir kali Tedja Bayu dan Mia Bustam bertemu sampai akhirnya berpisah selama 14 tahun. Tedja dan kawan-kawannya yang menjaga Gedung CHTH diangkut dan ditahan di Penjara Wirogunan. Seperti dikisahkan Mia Bustam dalam Dari Kamp ke Kamp kala itu, usia Tedja masih 21 tahun.
Tedjalah orang pertama dalam keluarga Mia Bustam yang ditangkap. Mia dan keluarga was-was atas penangkapan itu. Selain Mia merupakan anggota Lekra, anak kedua Mia, Sri Nasti Rukmawati (adik Tedja Bayu), merupakan anggota non-aktif CGMI. Mereka pun khawatir sewaktu-waktu diciduk.
“Rumah kami yang dari bambu (gedheg, red.) dihuni ber-15 orang, keluarga sendiri 8 ditambah teman-teman yang lain,” kata Nasti pada Historia.
Beberapa teman Nasti menganggap rumah Mia Bustam di Papringan, Sleman cukup aman untuk sembunyi. Rumah itu ditinggali oleh Harno, Mojito, Waham, Dono, Kirnadi, Pujo, Wasito, Natangsa, Sampeten, Supandi, Harni, Proletari, dan seorang mahasiswi. Para perempuan tidur di dalam, sementara anak lelaki tidur di luar dengan menggelar tikar.
Baca juga: Soeharto Menutup Pintu Rezeki Korban 1965
Pada 23 November 1965, Mia hendak ke pasar untuk belanja keperluan ulang tahun Watu Gunung yang ke-17. Saak akan berangkat, tiba-tiba di luar terdengar suara truk tentara. Satu per satu anak-anak yang tinggal bersama Mia pun lari tunggang-langgang. Sebagian besar lari dan sembunyi di kali.
Kirnadi, rekan Nasti di CGMI yang menumpang di rumahnya, langsung melepas kemeja dan celana panjangnya begitu tentara datang. Dengan hanya mengenakan singlet dan kolor, Kirnadi berpura-pura sebaga jongos, lalu menyapu-nyapu di kandang ayam. Menyaksikan hal itu, Watu Gunung langsung tanggap. Ia pun ikut bersandiwara.
“O… Kerjone mbok sing bener!” (Kerja yang benar, red.)
Ketika hampir semua penghuni rumah Mia Bustam diangkut ke truk, salah satu tentara menanyai anak-anak Mia yang usianya di bawah 17 tahun, seperti Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, kembar Daya dan Gawe, dan Abang Rahino (Rino). Rino kala itu masih 9 tahun, Kelas 3 SD sementara Watu Gunung kelas 2 SMA.
“Kamu kalau ibumu ditangkap untuk hidup sementara gimana? Sama siapa?” tanya si tentara.
“Ada kakak,” jawab salah seorang anak Mia.
“Di mana kakakmu?”
“Itu, di atas truk.”
“Yang namanya Sri Nasti Rukmawati turun. Jaga itu adik-adikmu!” kata si tentara.
Seketika Nasti turun dari truk, batal diciduk. Ketika pencidukan itu, Nasti berusia 18 tahun.
Saat itu banyak tersiar kabar gadis-gadis yang keluarganya jadi tahanan politik akan dibujuk oleh tentara agar mau jadi istri atau lebih parah, istri muda. Nasti yang ketakutan lantas mengungsi ke rumah kerabatnya di Klitren sementara adik-adiknya tetap tinggal di Papringan.
“Saya takut sekali waktu itu. Jadi saya tinggalkan mereka, pindah tempat. Tapi sampai sekarang masih tersisa rasa bersalah, kenapa saya tinggalkan mereka,” kata Nasti.
Baca juga: Pentingnya Merawat Ingatan Peristiwa 1965
Nasti kemudian diungsikan ke rumah Pak Djadi Wirosubroto, anggota DPR dan mantan ketua BTI, di Jayengprawiran, Klitren. Pak Djadi pun kemudian ditangkap karena keterlibatannya dengan BTI. Selama tinggal di Jayengprawiran, Nasti hanya bisa berkirim kabar dan pesan kepada adik-adik melalui rekannya. Dalam kondisi penuh teror tersebut, jangankan bertemu langsung, berkirim surat saja sudah menimbulkan kekhawatiran.
“Cerita dari adik saya, ketika tinggal di Papringan selepas penangkapan ibu, itu sulit sekali. Kadang mereka kelaparan, makan daun pepaya sudah enak,” kata Nasti. Pasca-penangkapan pada 23 November itu, Watu Gunung mengalami shock sehingga lebih banyak merenung di rumah. Dalam keadaan seperti itu, Sekar Tunggal-lah yang kemudian mengambil-alih peran berbagi tugas rumah tangga dengan adik-adik lainnya.
Hampir tiap malam, ada saja tentara yang mengetuk pintu rumah mereka. Suara khas sepatu lars, prok-prok-prok, selalu mendahuluinya. Satu kali, mereka mengaku sebagai Aidit, Njoto, dan tokoh-tokoh PKI lain. Mereka berpura-pura tidak tahu Mia Bustam telah tertangkap sehingg menyebut-nyebut namanya seolah minta tempat mengungsi. Enam bersaudara anak Mia pun sepakat untuk tidak membukakan pintu malam-malam. Sepanjang itulah mereka mesti menahan diri dari rasa takut yang muncul dari balik tiap ketukan pintu.
“Sampai saat ini, adik saya Sekar Tunggal masih trauma jika mendengar suara sepatu lars atau sesuatu yang berhubungan dengan peristiwa 1965,” kata Nasti.
Situasi anak-anak Mia yang terpencar dan hidup sendiri itu membuat Suhardo Harjodisastro, ipar sepupu Mia yang bekerja di Departemen Kehakiman, merasa iba. Dia lalu datang ke Yogya. Mulanya Hardo mengunjungi Mia di Wirogunan, lantas mengunjungi anak-anak Mia di Papringan. Hardo menyatakan bersedia menampung mereka.
Ketujuh anak Mia, yakni Nasti, Watu Gunung, Sekar Tunggal, Sri Shima, Daya, Gawe, dan Rino akhirnya sepakat ikut Hardo tinggal di Jakarta. Transistor dan barang-barang lain mereka jual untuk bekal ke Jakarta. Rino dan Shima berangkat lebih dulu, diantar Ali putra Pak Djadi. Nasti beserta adik-adiknya yang berkumpul di Stasiun Tugu menyusul kemudian.
Baca juga: Memori Media tentang Soeharto, G30S, dan Peristiwa 1965
Sesampainya di rumah Hardo, anak-anak Mia lalu dipencar agar tidak menumpuk di satu kerabat. “Terus Ibu Hardo itu bilang, ‘sebelum kamu tinggal di rumah kerabat yang lain, ada baiknya kamu pamit dulu dengan bapak’,” kata Nasti menirukan bibinya.
Anak-anak Mia pun menemui Sudjojono. Kala itu Sudjojono sudah menikah lagi dengan Rose Pandanwangi dan tinggal di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Ketika Nasti meminta izin untuk tinggal di rumah kerabatnya, Sudjojono keberatan. “Kalian kan anak-anakku. Untuk apa tinggal di rumah kerabat lain? Tinggallah di sini saja bersama adik-adik,” kata Sudjojono, ayah Nasti.
Rumah Sudjojono cukup ramai saat itu. Selain ada dua anak Sudjojono bersama Rose, tinggal pula di sana tiga anak Rose dari pernikahan sebelumnya. Ditambah tujuh anak Sudjojono-Mia, maka total ada 12 anak di rumah tersebut.
Nasti menyadari bahwa ayahnya bukan orang kaya. Hanya lukisan modalnya untuk menghidupi 12 anak. Kalau sedang tak punya uang, Sudjojono akan datang ke Adam Malik untuk menawarkan lukisan karyanya. Untung Adam Malik pasti membeli lukisan itu.
Setelah sekira satu tahun tujuh bersaudara tinggal di rumah ayahnya, pada 1967 satu persatu anak Mia-Sudjojono mulai hengkang dari Pasar Minggu karena ada beragam faktor dan konflik. Nasti, Sekar Tunggal, dan dua adik kembarnya menuruti perintah Sudjojono tinggal di rumah nenek di Semarang.
Baca juga: Mengingatkan Negara Atas Peristiwa 1965
“Saya tahu bapak pasti berat. ‘Koe kudu ngerti, nderek eyang aja di Semarang!’ (Kamu harus paham. Ikut nenek saja, red.). Sementara eyang (bibi Mia bustam yang kemudian jadi ibu tirinya, red.) di Semarang jarak umurnya dengan ibu saya hanya enam tahun dan masih punya lima anak untuk diurus,” kata Nasti.
Watu Gunung, Sri shima, dan Rino tetap tinggal di Pasar Minggu. Namun satu per satu dari mereka lalu juga pergi dari rumah ayahnya. Watu Gunung yang pertama, dia memilih tinggal di rumah temannya yang Tionghoa.
Watu Gunung bekerja jadi loper koran. Suatu hari ketika sedang menjajakan koran, dia bertemu dengan adik ibunya, Bibi Mimies. Watu Gunung pun kemudian ikut bibinya tinggal di Manggarai.
Baca juga: Kekecewaan Sutradara Film Pengkhianatan G30S/PKI
Sri Shima menumpang ke rumah Jenderal Sarwono, tetangga Sudjojono, setelah keluar dari rumah ayahnya. Oleh si jenderal, ia kemudian diantar ke rumah Mimies. Tak lama, Shima pun dikirim ke Semarang, ke tempat eyangnya.
Sementara, Rino tetap tinggal di Pasar Minggu sampai 1973. Ketika dijenguk Nasti di Pasar Minggu pada bulan Juni, Rino menanyakan alamat Nasti di Semarang. Dengan dibantu teman perempuan Watu Gunung (kemudian hari jadi isterinya), Rino lalu kabur ke Semarang. “Kebetulan sekolah (kelak) istrinya Watu Gunung dan Rino itu lapangannya sebelahan di PSKD,” kata Nasti.
Rino mulanya ke rumah Mimies. Dari Manggarai Selatan, dia baru berangkat ke Semarang untuk tinggal bersama Nasti yang sudah menikah. Rino kemudian disekolahkan di STM Ukir di Jepara, padahal keinginannya ialah belajar sejarah.
“Akibat dari 65 itu macam-macam. Soal pendidikan pun kami tak bisa berbuat banyak. Kuliah saya tidak bisa dilanjutkan. Minat adik-adik saya tak bisa disalurkan,” kata Nasti. Dia dan adik-adiknya menjadi satu dari sekian nasib keluarga dalam pusaran konflik politik besar negara. Masa kecil mereka ada di bawah bayang-bayang teror, sementara mereka tak punya banyak daya di hadapan negara. “Peristiwa 65 itu bikin kami tak berdaya, korban yang hidupnya ditentukan oleh orang lain,” sambungnya.
Baca juga: Simposium 1965 Tanpa Kata Maaf