TIDAK hanya benda-benda budaya, Belanda pun banyak merampas arsip bersejarah dari Indonesia semasa revolusi kemerdekaan 1945-1949. Beberapa di antaranya arsip pergerakan orang-orang kiri yang dirampas NEFIS atau badan intelijen militer Belanda dan kini masih tersimpan, baik di Nationaal Archief (Arsip Nasional Belanda) di Den Haag dan IISG/IISH atau Institut Sejarah Sosial Internasional di Amsterdam, Belanda.
Arsip-arsip itu, menurut peneliti arsip Universiteit van Amsterdam Rika Theo, tak kalah penting untuk diungkap karena orang-orang di baliknya juga punya pengaruh terhadap revolusi kemerdekaan. Tak kalah penting jika arsip itu juga bisa terbuka untuk bisa diakses setiap peneliti sejarah, baik Belanda maupun Indonesia.
“Beberapa tahun lalu sempat ada perdebatan di Belanda tentang repatriasi arsip-arsip NEFIS, di mana beberapa di antaranya dipamerkan di pameran ‘Revolusi!’ di Rijksmuseum. Tetapi saya kira dalam perdebatan itu tak pernah disebutkan banyak tentang isi arsip yang berkaitan dengan pergerakan kiri karena sangat rumit dan di sisi lain penting dalam situasi terkini di Indonesia,” kata Rika dalam seminar hybrid bertajul “Reactivating Archives of the Indonesian Left in the Netherlands” di IISH, Amsterdam, 3 Februari 2023.
Baca juga: Menyesapi Cerita-Cerita Tersembunyi di Pameran Revolusi!
Selain arsip-arsip NEFIS tentang Pemberontakan PKI Madiun 1948, ada pula arsip-arsip pribadi para pelajar yang studi di Belanda hingga catatan pribadi atau oral history para eksil yang berdiam di Belanda pasca-Tragedi 1965. Dan seperti halnya di Indonesia, lanjut Rika, arsip-arsip itu seringkali tersebar dan terkatalog dengan lebih rapi.
“Menjadi penting karena kita takkan pernah bisa melihat gambaran-gambaran utuh di arsip itu. Arsip itu akan selalu terhubung dengan memori sejarah yang terjadi di Indonesia. Untuk bisa mengaksesnya di Arsip Nasional Belanda pun harus yang sudah declassified. Padahal masih banyak arsip pergerakan kiri, baik institusi, partai, organisasi berbahasa Indonesia tapi sangat fragmented,” imbuhnya.
Kalaupun ada arsip yang bisa diakses pun mesti harus diteliti ulang lagi dan dicari data pembanding di catatan yang lain, terkait identitas orang-orang yang disebutkan di dalam arsipnya. Peneliti sejarah dan penulis Joss Wibisono menyontohkan arsip NEFIS tentang laporan orang-orang yang dieksekusi di Ngaliyan, Solo, pasca-Madiun Affair bernomor “Volg. No. 4679 (047.5) (922.226.1) tertanggal 20 Februari 1949.
“(Laporan) ini jelas datangnya dari mata-mata Belanda yang melaporkan ke NEFIS dan mereka mencatat daftar itu dan mengklaim mengenali siapa yang dieksekusi. Tetapi daftar ini ada tiga cacatnya,” timpal Joss.
Pertama, sambung Joss, daftar itu tidak utuh. Di arsip itu disebutkan hanya ada tujuh nama padahal sedianya ada 11 orang yang terafiliasi FDR (Front Demokrasi Rakyat) yang dieksekusi. Tujuh nama di arsip itu adalah Amir Sjarifuddin, Maruto Darusman, Suripno, Djokosujojo, Harjono, Sardjono, dan Tan Min Kie. Sedangkan empat nama lain yang tak disisipkan dalam arsipnya adalah Katam Hadi, Rono Marsono, D. Mangku, dan Sukarno.
Kedua, misidentifikasi. Joss menyontohkan di arsip itu tertulis nama “Tan Min Kie” walau aslinya bukan nama itu yang dieksekusi, melainkan Oey Gee Hwat. Ketiga, misspelling atau typo. Di salah satu nama yang disebutkan arsip itu terdapat nama “Djokosujojo”. Padahal menurut Joss mestinya Djoko Soejono.
Baca juga: Khazanah Arsip Kolonial yang Melimpah
Djoko Soejono sebelumnya diketahui sebagai mantan “Digulis” atau para tahanan politik (tapol) kolonial yang dibuang ke Boven Digul. Ia bahkan jadi satu dari sejumlah tapol yang ikut diungsikan Belanda ke Australia ketika Jepang menduduki Hindia Belanda pada 1942. Sempat pula ikut aksi pemogokan buruh pelabuhan di Australia sebelum masuk kemiliteran di Indonesia dan bahkan mencapai pangkat jenderal mayor pada 1947.
Dan dari arsip itu juga, Joss juga bisa melacak kiprah beberapa nama lain yang turut menggemakan gerakan anti-kolonialisme di Belanda semasa mereka menjadi pelajar. Salah satunya dari pamflet bertajuk “Indonesia” yang terbit pada Mei 1945. Di antaranya terdapat nama Maruto Darusman dan Suripno yang aktif di Perhimpunan Indonesia (PI/Indonesische Vereniging) dan Roekoen Peladjar Indonesia (ROEPI).
“Langkah saya berikutnya, saya melihat riset saya tentang Maruto Darusman dan mencari siapa mereka. Tentu ini tidak ada di sejarah Indonesia (umum). Anda hanya mengenal Musso dll. Lalu saya menemukan sebuah publikasi (pamflet dan jurnal) dari para pelajar Indonesia ini setelah berakhirnya Perang Dunia II. Mereka mempublikasikan artikel dan meletakkan nama mereka. Titelnya ‘Indonesia’ dan membahas tentang masa depan Indonesia,” sambung Joss.
Baca juga: Arsip Pembunuhan JFK Dirilis, Kasus Tetap Masih Samar
Meski begitu bukan perkara mudah juga bagi Joss bisa mencari dan mengungkap data dari arsip itu. Sebagaimana juga di Indonesia, sebagian arsip kiri di Nationaal Archief itu masih terbatas jika coba diakses secara langsung dan bukan secara daring.
“Ya aksesnya terbatas. Butuh perizinan juga. Ketika membuka arsipnya kita juga ada yang menjaga. Karena kita juga tidak boleh membawa telefon genggam atau alat lain yang bisa untuk merekam. sedikitnya kita bisa membuat catatan saja,” tandasnya.
Adapun arsip-arsip di IISG/IISH juga terbatas walau konteksnya berbeda. Lazimnya ada yang boleh diakses dan ada juga yang tidak berdasarkan satu klausul kontrak.
“Kalau secara terbuka itu sulit karena basic rule di kita itu ada bikin kontrak dengan orang yang menyumbangkan atau menyimpan arsip di sini. Di kontrak itu bisa saja disebutkan siapa-siapa saja yang boleh mengakses secara publik atau tertutup. Kontraknya juga tergantung time limit. Ada juga yang benar-benar tertutup, tidak boleh ada yang melihatnya, termasuk kami. Sementara ada pula yang restricted dengan lebih dulu minta izin si pemilik atau keluarga,” tuntas Eef Vermeij, staf member collection development IISH/IISG.
Baca juga: Megawati Sukarnoputri: Tanpa Arsip Kita Tidak Tahu Siapa Kita