Tumpukan kertas tua itu menyimpan memori apa yang pernah terjadi di penjuru Nusantara pada masa silam. Mulai dari catatan perdagangan, persaingan antar-kerajaan, peperangan, keputusan gubernur jenderal, hingga kehidupan sosial masyarakat bumiputra. Itulah sekelumit gambaran mengenai arsip kolonial berbahasa Belanda yang tersimpan di Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
“Kekayaan arsip nasional kita sesungguhnya khazanahnya sangat kaya. Hampir semua aspek (kehidupan) itu tersentuh. Dengan demikian, ini akan sangat membantu bagi para pengguna yang bukan hanya sejarawan,” kata sejarawan Universitas Indonesia Bondan Kanumoyoso dalam acara “Ekspose Guide Khazanah Arsip Berbahasa Belanda”, kemarin, 1 Desember 2022.
Di masa kolonial, sudah ada beberapa lembaga kearsipan. Arsip dari masa VOC sebelumnya dikelola di bawah lembaga Algemeene Secretarie. Kemudian, pada 28 Januari 1892, dibentuklah Landsarchiev atau Lembaga Kearsipan Hindia Belanda. Lembaga ini pertama kali dikepalai oleh Mr. Anne Jacob van der Chrijs hingga 1905. Selanjutnya, tiga orang arsiparis memimpin lembaga ini sampai 1942. Mereka adalah Dr. F. de Haan, E.C. Godee Molsbergen, dan Dr. Frans Rijndert Johan Verhoeven.
Baca juga: Arsip-Arsip yang Tercecer
De Haan menjadi kepala dari tahun 1905 sampai 1922. Ia merupakan arsiparis yang menonjol. Karya-karyanya banyak menjadi rujukan bagi ahli-ahli sejarah Indonesia.
Memasuki era Republik Indonesia, arsip yang disimpan Landsarchiev dihibahkan kepada ANRI. Jumlahnya sangat melimpah. Berdasarkan hasil identifikasi, semuanya terdiri dari 16.532 meter arsip kertas, 123.276 foto positif, 14.066 lembar peta, dan 11.904 roll mikrofilm. Saat ini, total khazanah arsip berbahasa Belanda berjumlah 15 khazanah untuk periode VOC, sedangkan periode Hindia Belanda berjumlah 150 khazanah. Hampir semua arsip-arsip ini sudah diolah dan dapat diakses publik.
Selain untuk penulisan sejarah, menurut Bondan, arsip-arsip itu dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Permasalahan yang berkaitan dengan otonomi daerah, misalnya, sangat memerlukan peran arsip. Kemudian, penelitian tentang penanggulangan bencana alam (mitigasi), penelitian mengenai karakteristik budaya masyarakat lokal, penelitian lingkungan hidup, hingga penelitian yang berkaitan dengan kegiatan pertanian dan perkebunan.
“Dengan demikian, arsip akan dapat dimanfaatkan dan pemanfaatannya bisa dinikmati masyarakat Indonesia seluas-luasnya,” ujar Bondan.
Hal senada diungkapkan sejarawan Peter Carey, sejarawan yang mendikasikan hidupnya untuk meneliti Pangeran Diponegoro. Arsip sangat membantunya dalam menyusun disertasi berjudul “Pangeran Dipanegara and The Making of the Java War, 1825—1830”. Disertasi yang dipertahankan di Oxford University itu kemudian dibukukan dalam Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa, 1785--1855 (2011).
Baca juga: Peter Carey dan Takdir Menemukan Diponegoro
Tapi, untuk merampungkan karya monumental itu, Peter melalui proses yang telaten. Pada kurun waktu 1976-1977, dia hampir setiap hari mengunjungi kantor ANRI yang saat itu masih berlokasi di Jl. Gajah Mada 111. Dia mengubek-ubek arsip Karesidenan Yogyakarta periode abad ke-17 dan ke-18. Peter mengakui arsip itu menjadi tulang punggung sumber sejarah dalam menyusun Kuasa Ramalan dan Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785—1855.
“Arsip Karesidenan tidak ada taranya,” ujar Peter Carey. “Seumpamanya kita mau menulis sejarah lokal, itu adalah suatu landasan yang krusial.”
Dari arsip, Peter Carey memperoleh gambaran mengenai sosok Diponegoro. Disebutkan bahwa Diponegoro gemar bermain catur, mengunyah sirih, bahkan selera humornya sarkastik. Ilmu firasat Diponegoro juga dikatakan sangat tepat sekali. Peter tak pernah menduga sang pangeran adalah pribadi yang sangat menarik. Dan deskripsi yang pasti seperti itu hanya bisa datang dari arsip.
“Semua yang saya tahu mengenai Diponegoro datang dari arsip. Baca dan membaca, mengunyahnya seperti Diponegoro mengunyah sirih,” tandas Peter Carey.
Baca juga: Tujuh Kebiasaan Pangeran Diponegoro yang Belum Diketahui Banyak Orang
Sementara itu, arsiparis ANRI Jajang Nurjaman, yang mengolah khazanah arsip statis berbahasa Belanda, berharap publik semakin mengetahui kekayaan harta karun informasi dalam arsip berbahasa Belanda koleksi ANRI.
“Walaupun arsipnya berbahasa Belanda,” kata Jajang, “tetapi banyak informasi yang terkandung di dalamnya berbicara mengenai masyarakat Indonesia.”