Masuk Daftar
My Getplus

Meluruskan Fakta Pertemuan Soeharto dan Sultan

Pertemuan klandestin yang diabadikan dalam relief. Ada yang melenceng dari fakta sejarah.

Oleh: Randy Wirayudha | 13 Mar 2019
Relief pertemuan Sri Sultan Hamengkubuwono IX (kiri) & Letkol Soeharto (Foto: Repro "Takhta untuk Rakyat")

LANGIT Kota Yogyakarta sudah gulita. Malam itu, 13 Februari 1949, sekira pukul 11, Lettu Marsudi “menyelundupkan” Overste (letnan kolonel) Soeharto masuk kota dan keraton. Komandan Wehrkreise (WK) III sekaligus komandan Brigade X-Mataram itu dibawa menghadap Sri Sultan Hamengkubuwono (HB) IX dalam sebuah pertemuan klandestin.

Sejak Agresi Militer Belanda II pada 19 Desember 1948, Yogyakarta berada di bawah kuasa Belanda. Propaganda diumbar Belanda bahwa RI dan TNI sudah punah.

Tapi ada setitik terang di lorong gelap. Sultan yang saban tempo mendengar siaran radio mancanegara, menangkap momentum untuk membuktikan kepada para delegasi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang sedang di Yogyakarta bahwa propaganda Belanda bohong belaka.

Advertising
Advertising

Sinuwun diam-diam punya inisiatif untuk mengadakan serangan terhadap Belanda. Beliau kirim surat ke Panglima Sudirman. Dijawab oleh panglima bahwa dia setuju dan agar Sultan menghubungi Komandan WK III Letkol Soeharto. Kemudian diadakan pertemuan Sultan dengan Soeharto itu,” ujar budayawan Yuwono Sri Suwito atau biasa disapa Romo Yuwono pada sarasehan peringatan 70 tahun Serangan Umum 1 Maret 1949 di Hotel D’Senopati, Yogyakarta, Minggu (1/3/19).

Pertemuan empat mata itu diabadikan lewat sebuah relief di dinding pagelaran, kompleks Keraton Yogyakarta. Relief karya Saptoto, seniman Akademi Seni Rupa Indonesia (ASRI), itu dibuat tahun 1981.

Baca juga: Monumen yang Ternoda

Namun, menurut Romo Yuwono, penggambaran reliefnya keliru dan faktanya perlu diluruskan. Setidaknya ada tiga hal dalam relief itu yang mesti direvisi sesuai kejadian aslinya. Kejadian asli pertemuan tujuh dekade silam itu diadakan di Ngejaman, kediaman pribadi Gusti Bendoro Pangeran Haryo (GBPH) Prabuningrat, kakak Sultan HB IX, sisi barat keraton.

“Setiap orang yang masuk keraton harus pakai baju peranakan abdi dalem. Sudah sesuai dengan di relief. Tapi kesalahannya ada pada selop yang dipakai Soeharto dalam relief. Karena sampai sekarang yang namanya seseorang pakai baju peranakan tidak boleh pakai alas kaki,” terang Romo Yuwono yang aktif sebagai tim ahli Cagar Budaya dan Ketua Dewan Pertimbangan Pelestarian Warisan Budaya di Dinas Kebudayaan Provinsi DIY.

Blunder lainnya dalam relief itu adalah sosok Soeharto yang duduk menghadap sultan di kursi dengan sandaran tangan. Menurut Romo Yuwono, furnitur asli berupa kursi, meja, dan perangkat radio yang saat itu digunakan masih ada dan dipajang di Museum Sri Sultan HB IX, dan hanya satu kursi yang terdapat sandaran tangan.

“Yang namanya kursi yang pakai sandaran tangan itu hanya untuk raja. Jadi yang lain tidak boleh pakai sandaran tangan. Jadi kursi yang dipakai Soeharto dalam relief mestinya tidak ada sandaran tangan, seperti kursi aslinya di Museum HB IX,” sambungnya.

Kesalahan tiga, paling mendasar, adalah keterangan waktu. Pada relief disebutkan pertemuan empat mata dengan sultan itu terjadi pasca-Serangan Umum 1 Maret 1949. “Kita bicara sejarah yang harus diluruskan. Padahal pertemuan ini sebelum (serangan umum) 1 Maret, di mana Sultan memberi gagasan dan perintah untuk Soeharto mendesain serangan.”

Polemik Waktu Pertemuan

Sebagaimana kontroversi dan polemik terkait siapa penggagas Serangan Umum 1 Maret 1949, perbedaan versi juga terjadi soal fakta waktu pertemuan sultan dan Soeharto di kediaman GBPH Prabuningrat itu. Soeharto punya argumentasi sendiri bahwa pertemuannya terjadi setelah serangan umum, tepatnya jelang momen “Yogyakarta Kembali”, 29 Juni 1949.

“Sri Sultan memang belum banyak berhubungan langsung dengan saya, selalu lewat kurir. Mungkin hal ini menimbulkan pertanyaan dari Sultan, ‘Harto ini mau membantu saya atau tidak?’ Sehingga terpaksa, harus saya jelaskan sendiri dengan masuk ke dalam kota untuk bisa masuk ke keraton’,” kata Soeharto, dikutip Julius Pour dalam Doorstoot Naar Djokja: Pertikaian Pemimpin Sipil-Militer.

Pengakuan Soeharto itu berbeda dari pengakuan GBPH Prabuningrat dan Lettu Marsudi, komandan Sub-Wehrkreise (SWK) 101 yang mengantar Soeharto dari luar kota masuk ke kraton. Prabuningrat dan Marsudi sependapat bahwa pertemuan itu berlangsung sebelum serangan, tepatnya dini hari 14 Februari 1949. Keduanya juga memaparkan hal sama terkait bagaimana cara Soeharto bisa masuk kota dan bertemu sultan di keraton.

Baca juga: Peringatan Serangan Umum 1 Maret Menuju Hari Besar Nasional

Buku Kontroversi Serangan Umum 1 Maret 1949: Polemik tentang Pemrakarsa dan Pelaksana Serangan yang dihimpun Center for Information Analysis menyebutkan, sultan mulanya mengajukan gagasan serangan umum kepada Panglima Sudirman yang lantas disetujui. Sudirman lantas mengarahkan Sultan untuk mengadakan pembicaraan skema teknis penyerangan kepada Soeharto.

Lettu Marsudi, bawahan Soeharto sebagai perwira intel di dalam kota, jadi penghubung dan mengatur pertemuan dengan bantuan abdi dalem Hendro Bujono dan Pangeran Prabuningrat. Marsudi lantas mengawal Soeharto sejak 13 Februari malam dari luar kota masuk ke dalam kota dengan menyamar mengenakan pakaian sipil.

Sesampainya di Taman Sari, Soeharto diminta berganti pakaian peranakan abdi dalem yang sudah disiapkan Hendro Bujono. Marsudi mengawal lagi Soeharto yang sudah memakai blangkon, surjan lurik, dan kain masuk ke gerbang keraton dan diterima Prabuningrat.

“Tapi Pak Harto disembunyikan dulu di sela antara dua pintu gerbang dengan alasan keselamatan dan mengawasi jangan sampai ada mata-mata. Lampu-lampu juga dimatikan. Kemudian baru diantar lagi ke rumahnya Prabuningrat untuk bertemu sultan jam 1 dini hari (14 Februari),” ujar Romo Yuwono.

Dalam pertemuan tanpa lampu penerangan itu, sultan membuka diskusi dengan meminta Soeharto melancarkan serangan umum di siang hari. Penandanya sirine jam 6 pagi. Gagasannya dikemukakan setelah sultan beberapa kali mendengarkan siaran radio luar negeri.

“Pesawat radio di latar belakang (relief) menunjukkan Sri Sultan selalu mengikuti siaran radio, termasuk dari pemancar luar negeri untuk mengikuti segala berita sekitar perjuangan kemerdekaan,” jelas Pangeran Prabuningrat, dikutip Julius Pour.

Terkait klaim Soeharto pada pertemuan hingga pukul 1 dini hari 14 Februari 1949 itu, Marsudi teguh menyatakan bahwa kejadiannya sebelum serangan umum dan penggagas serangan adalah sultan. Walau isi pembicaraan tak pernah diberitahukan Soeharto kepadanya, Marsudi mendengarkan sendiri faktanya dari sinuwun.

Baca juga: Sebuah Usaha Mengenal Sultan Hamengku Buwono IX

“Saya masih ingat Sri Sultan menekankan sekali lagi pada Pak Harto serangan itu jangan sampai gagal. Itu kan kata-kata pendek tapi dalam artinya. Sultan pernah mengungkapkan: ‘Di, kamu kan tahu kedudukan Pak Harto ini apa sekarang. Ndak apa-apa…Dus, saya bisa narik kesimpulan bahwa wong kuoso itu bisa memutar balik sejarah’,” ujar Marsudi menirukan tutur Sultan sebagaimana dikutip Hariadi Saptono dalam “Serangan Umum 1 Maret 1949: Perseteruan Pemaknaan Sejarah Itu” yang dimuat di Warisan (daripada) Soeharto.

TAG

Suharto Yogyakarta Sejarah-Yogyakarta Kraton Hamengkubuwono

ARTIKEL TERKAIT

Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Sultan Aman Setelah Pertempuran Tempel 1883 Kisah Perwira Luksemburg di Jawa Pencabutan TAP MPR Membuka Lagi Wacana Gelar Pahlawan Soeharto, Begini Kata Sejarawan Ramalan-ramalan Tjokrokario Albert Dietz dan Pangeran Yogyakarta yang Dibuang Asal-Usul Malioboro Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Pemilu di Wilayah Kesultanan