Siang nyaris mencapai puncaknya, ketika lima truk berisi masing-masing 12 prajurit dari Batalyon Kala Hitam Divisi Siliwangi memasuki wilayah Jatinegara. Semula tak ada sambutan. Para prajurit Belanda yang tengah berjaga di pos masing-masing hanya bisa bengong. Sementara khalayak pun cuma berbisik-bisik dengan sesamanya.
“Barulah setelah melihat bendera merah putih yang kami pasang di bagian belakang truk, mereka berteriak riuh: “merdeka” dan “hidup TNI” sembari berlari ke arah kami…”kenang Ido bin Tachmid (95), eks kopral TNI yang saat itu ikut rombongan tersebut.
Kompi I pimpinan Letnan Satu Marzoeki Soelaiman memang ditugaskan untuk memasuki Jakarta. Mereka merupakan salah satu pasukan yang akan mengamankan proses penyerahan kedaulatan dari Kerajaan Hindia Belanda kepada Republik Indonesia Serikat (RIS) sekaligus mengawal Presiden Sukarno yang akan datang ke Jakarta pada 28 Desember 1949.
Sebagai markas sementara, Letnan Kolonel Taswin A. Natadiningrat (pimpinan Markas Komando Basis Jakarta) menempatkan pasukan Marzoeki di sebuah asrama milik Muhammadiyah yang terletak dalam kawasan Pasar Senen. Marzoeki masih ingat, keberangkatan pasukannya dari Markas Komando Basis Jakarta, berjalan sangat lambat. Itu dikarenakan ribuan orang Jakarta ikut mengantar mereka.
“Jarak Matraman-Senen kan sebetulnya tidak begitu jauh, tapi karena banyaknya tukang becak dan khalayak Jakarta yang ikut mengantar rombongan kami, jalanan jadi macet…”kenang Kapten (Purn) Marzoeki Soelaiman kepada Historia.
Ada rasa haru dan bangga di dada setiap prajurit TNI saat mendapat sambutan yang sangat antusias tersebut, terutama bagi prajurit-prajurit kelahiran Jakarta seperti Marzoeki. Setelah sekian lama meninggalkan rumah, mereka akhirnya dapat melihat Jakarta lagi.
“Setelah hampir tiga tahun bergerilya di hutan-hutan Cianjur dan Sukabumi, akhirnya kami bisa ke Jakarta untuk kembali …”ujar Marzoeki.
Baca juga:
Riwayat Rumah Tahanan Hatta dan Sjahrir di Sukabumi
Tokoh di Balik Takluknya Tentara Inggris di Sukabumi
Cerita Sukabumi Saat Agresi
Selanjutnya bersama pasukan Siliwangi lainnya dari Batalyon Siloeman, Batalyon Banteng dan Batalyon Kilat, anak-anak Kala Hitam terlibat dalam berbagai kegiatan di ibu kota termasuk upacara penyerahan kekuasaan militer dari KNIL kepada TNI pada 24 Desember 1949 dan penyerahan kedaulatan dari pemerintah Kerajaan Belanda kepada pemerintah RIS di Istana Negara pada 27 Desember 1949.
Namun dari sekian kegiatan penting itu ada yang membuat kesan tersendiri bagi Marzoeki, yakni saat pasukannya harus menjemput Presiden Sukarno di Lapangan Udara Kemayoran pada 28 Desember 1949. Marzoeki masih ingat, dengan kekuatan dua seksi (peleton), siang itu mereka berjaga di tepi landasan pesawat.
Singkat cerita, pesawat yang ditumpangi rombongan Presiden Sukarno pun tiba. Begitu menjejak tanah Jakarta, Marzoeki bergegas menghampiri Sukarno dan dengan sigap memberikan penghormatan secara militer. “Selamat datang di Jakarta, Pak Presiden!”ujar Marzoeki.
Sukarno sumringah. Sambil terseyum lebar, ia menjabat kuat tangan Marzoeki. “Bung dari Divisi Doponegoro ya?” tanyanya.
Setelah terdiam sejenak, Marzoeki lantas menjawab: “Siap! Bukan Pak, saya dari Divisi Siliwangi…”
Tiba-tiba wajah Sukarno langsung berubah. Sambil bermuka masam, ia tidak berkata lagi lalu meninggalkan Marzoeki begitu saja. Tentu saja sikap Sukarno itu membuat sang komandan kompi menjadi serba salah sekaligus merasa heran. Ada apa dengan Siliwangi? Hingga usianya kini 88 tahun, Marzoeki belum mendapat jawaban yang pasti akan sikap Sukarno itu.