Meski menduduki jabatan prestisius sebagai Panglima Komando Operasi Mandala, Soeharto sejatinya berada dalam tekanan. Rapat KOTI memutuskan bahwa paling lambat tanggal 17 Agustus 1962 bendera Merah Putih sudah harus berkibar di Irian Barat. Ini berarti Soeharto hanya punya waktu tujuh bulan, sejak ditunjuk bulan Januari untuk menyusun kekuatan dan rencana operasi.
Bagaimana perasaannya saat diberikan "beban" tersebut? Tentu saja Soeharto kaget dan hanya mampu bergumam “Masya’ Allah”.
Menurut Soeharto, persiapan kampanye militer ini dimulai dari nol. Saat itu, ABRI memang berhasil memperoleh persenjataan perang tercanggih dari Uni Soviet. Namun pangkalan militer di kawasan timur Indonesia yang mendukung operasi serbu belum mumpuni. Di beberapa titik bahkan harus dibangun lagi. Kesatuan gabungan khusus pun tak ada, karena tugasnya ditentukan dalam waktu pendek.
Baca juga artikel tentang bantuan senjata Uni Soviet: Jenderal Nasution dan Senjata Uni Soviet dan Bantuan Alutsista dari Uni Soviet
“Tetapi saya taat saja, tunduk pada perintah,” ujar Soeharto kepada Ramadhan K.H dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.
Menyusun Kekuatan
Setelah resmi menyandang posisi panglima, tiga rencana disusun Soeharto dalam satu paket. Membentuk pasukan gabungan; membangun pangkalan; mempelajari kekuatan Belanda sesungguhnya di Irian Barat. Konsep tempur Soeharto adalah harus sanggup berperang selama mungkin, baik dalam bertahan maupun menggempur.
Tindak lanjut rencana ini dimulai dengan penyusupan kecil-kecilan ke kubu pertahanan Belanda. Infiltrasi dilakukan lewat jalur laut maupun udara (operasi penerjunan). Menurut Amir Machmud yang saat itu menjabat Kepala Staf Gabungan II (bidang operasi) Komando Mandala, tugas dari penerjunan itu menyiapkan tempat-tempat pendaratan bagi operasi penyerbuan skala besar.
“Sasaran politik adalah Holandia (kini Jayapura) dan sasaran psikologis adalah Merauke,” kata Amir Machmud dalam Otobiografi H. Amir Machmud: Prajurit Pejuang.
Dalam berbagai misi infliltrasi, Soeharto agak berjudi. Pasalnya, sang panglima lebih memilih menerjunkan pasukan elite macam RPKAD atau KKO ketimbang pasukan reguler. Menurut Soeharto, cara demikian akan ampuh mengacak kubu pertahanan dan bikin pasukan Belanda kalang-kabut. Perhitungannya, kalau pasukan Belanda terdesak karena penyusupan ABRI, dengan sendirinya mereka akan meminta bantuan cadangan tentara yang ada di Biak dan Holandia.
“Justru dengan digunakannya RPKAD kita sekaligus bisa mengetahui musuh, keadaan medan yang sebenarnya, mengikat musuh agar terpecah-pecah dan memaksa musuh menggunakan cadangan ke garis depan, agar induknya akan menjadi lemah,” kata Soeharto.
Selain itu, beberapa pangkalan udara dibangun. Semuanya terletak dipulau terdepan antara lain di Morotai, Amahai, Letfuan, Ambon. Itu diatur oleh Soeharto agar kapal terbang AURI bisa melindungi pendaratan pasukan pada waktu menyerang dan bisa berada lama di daerah musuh, karena pangkalan kita dekat dari tempat musuh.
“Lalu saya siapkan pula ‘Operasi Jayawijaya’, sebuah operasi amfibi gabungan besar-besaran untuk membebaskan Irian Barat itu, dengan sasaran utamanya jantung musuh, ialah Biak, "demikian urai Soeharto.
Carut Sengkarut
Di lapangan, strategi Soeharto ternyata kebanyakan meleset. Menurut Robert Elson, sejarawan Australia yang menulis biografi Soeharto, penyusupan pasukan terjun payung semuanya kacau. Soeharto menerapkan rencana yang rumit dalam mencapai tujuan militernya. Alih-alih melaksanakannya dengan baik, tekanan politik yang cukup besar dari Sukarno membuat Soeharto tampak menjalankan tugas dengan buruk.
Sebagian besar pasukan penerjun mendarat di belantara yang keras dan sulit ditaklukkan di sepanjang daerah berawa di pantai selatan Papua. Itupun masih jauh dari konsentrasi pasukan Belanda. Banyak yang gagal dalam penerjunan, tewas ketika mendarat atau tenggelam karena beratnya peralatan. Prajurit yang selamat pun nyaris tak bisa berbuat apa-apa.
"Banyak yang terbunuh atau tertangkap; alih-alih disambut sebagai pembebas Irian Barat, mereka disambut secara dingin dan biasanya diserahkan kepada tentara Belanda," tulis Elson dalam Suharto: Sebuah Biografi Politik.
Dukungan logistik yang tak diperhitungkan juga menjadi masalah. Kesukaran ini diakui Lettu Sarip, pasukan infantri yang diterjunkan ke Irian Barat sebagaimana dicatat R. Ridhani. Tantangan berat yang dihadapi pasukan infiltran ialah sulitnya mendapat makanan atau tumbuhan yang dapat dimakan. Akibatnya kondisi fisik menjadi lemah.
“Setiap terjadi kontak dengan musuh, pasukan menjadi terpecah-pecah dalam kelompok-kelompok kecil,” tulis Ridhani dalam Mayor Jenderal Soeharto: Panglima Komando Mandala Pembebasan Irian Barat.
Soeharto berusaha tegar. Dalam konferensi pers akhir bulan Juli di Makassar, sang panglima beralibi bahwa pasukan gerilya yang disusupkan ke Irian Barat mencapai kemajuan yang memuaskan. Dilansir Suluh Indonesia, 24 Juli 1962 sebagaimana dikutip Elson, Soeharto mengatakan:
“Pada dasarnya gerilyawan-gerilyawan kita berhasil melakukan tugasnya dengan baik, sekalipun mengalami kesulitan-kesulitan akibat keadaan alam, tetapi hal ini bukan merupakan soal, karena mereka mendapat dukungan penuh dari penduduk setempat.”
Pun demikian dengan rencana invasi dengan sandi Jayawijaya. Dalam catatan Elson, resiko operasi Jayawijaya semakin tinggi oleh adanya fakta bahwa Belanda telah mengetahui Biak sebagai target invasi. Jalur iring-iringan armada penyerang Indonesia masuk jangkauan radar pesawat terbang pengintai Neptune Belanda. Indonesia dipastikan akan mengalami kerugian besar sebelum mencapai tujuan.
Dalam dokumen rapat Gabungan Kepala Staf KOTI yang dilampirkan Saleh Djamhari dan tim pusat sejarah ABRI dalam Trikomando Rakyat Pembebasan Irian Barat memuat serangkaian telaah mengenai kemungkinan keberhasilan operasi militer di Irian Barat. Dokumen itu merekomendasikan, operasi infiltrasi adalah sangat riskan dan mempunyai resiko yang sukar diperhitungkan. Sementara operasi besar-besaran menjadi pilihan terbaik. Itupun dengan catatan, baru dapat dilancarkan pada akhir tahun 1963.
Soeharto sendiri berencana mengeksekusi operasi Jayawijaya pada Agustus 1962 yang berpotensi memakan korban jiwa dan materi dalam jumlah yang amat besar. Soeharto, kata Elson, agaknya kesal karena operasi pamungkasnya yang tinggal menunggu perintah Jakarta dihentikan di tengah jalan. Dalam otobiografinya, Soeharto memang agak membesarkan arti penting misi dan perannya.
“Andaikan benar terjadi serangan kita, dunia Barat akan benar-benar terpukul waktu itu. Akan terjadi satu peristiwa seperti pada tahun 1905, antara Jepang dan Rusia di Wladiwostok,” kata Soeharto sesumbar. “Saya panjatkan syukur ke hadirat Yang Mahakuasa, bahwa Operasi Jayawijaya tidak sampai perlu kita jalankan. Saya tahu, bahwa operasi ini akan meminta korban jiwa dan harta yang amat besar.
Baca juga:
Kala Soeharto Jadi Panglima (1)
Kisah Invasi yang Tak Terjadi
Pasukan Penerjun Operasi Naga Kesasar di Hutan Papua
Kemenangan yang Ternoda di Papua