Masuk Daftar
My Getplus

Kala Amerika Serikat Merambah Hindia Belanda

Hubungan Amerika Serikat dengan Hindia Belanda sudah terjalin sejak abad ke-18. Sempat terlibat keributan dengan orang-orang Sumatera di Kuala Batu.

Oleh: M. Fazil Pamungkas | 24 Sep 2020
Serangan kapal AS ke pelabuhan Kuala Batu. (Wikimedia Commons).

Petualngan orang-orang Amerika Serikat (AS) menuju jaringan pelayaran dunia sekurang-kurangnya baru dimulai pada dekade terakhir abad ke-18. Setelah melalui konflik yang panjang dengan Inggris, AS akhirnya mampu turut meramaikan jalur perdagangan ke belahan bumi bagian timur. Mereka menjadi pesaing terberat bangsa-bangsa di barat Eropa. Sebagai bangsa yang baru merdeka, terbukanya jaringan dagang tersebut menjadi kunci orang-orang AS membangun negeri mereka.

Menurut Jeremy Osborn dalam “India and the East India Company in the Public Sphere of Eighteen-Century Britain” dimuat The Worlds of the East India Company, informasi tentang perdagangan di wilayah Asia sudah lama diketahui AS dari berita dan laporan-laporan pemerintah Inggris. Begitu revolusi usai, para pedagang AS segera mengembangkan layar, tanda dimulainya penjelajahan menelusuri jalur perdagangan menuju Hindia Timur.

Baca juga: Hasrat Amerika Menguasai Niaga Lada di Sumatera

Advertising
Advertising

“Dalam membina hubungan dengan kekuatan kolonialis-kolonialis dunia ketika itu, meski AS menentang prinsip kolonialisme sesuai dengan pengalaman sejarahnya, tidak ada usaha-usaha resmi dari pemerintah AS untuk membebaskan wilayah-wilayah kolonial yang ada,” tulis Yuda B. Tangkilisan dalam “Ekonomi Politik dan Diplomasi: Studi Pendahuluan Mengenai Persetujuan Awal antara Amerika Serikat dan Belanda” dimuat Kongres Nasional Sejarah 1996.

Sikap itu juga ditunjukkan AS ketika tiba di Hindia Belanda. Meski praktek kekejaman tepat berada di depan mata, pemerintahannya tidak menunjukkan niat mencampuri urusan negeri-negeri koloni milik para adidaya Eropa. Terlebih kepentingan AS di koloni  Belanda itu tidak lebih hanya untuk persinggahan dalam menjalin hubungan dagang dengan jaringan pasar di Timur Jauh, terutama Kanton yang merupakan target utama mereka.

Sambutan Dingin Hindia Belanda

Dicatat James T. Collins dalam Sejarah Bahasa Melayu: Sulawesi Tengah, kapal dagang AS, Hope, yang berlayar dari New York tiba di pelabuhan Batavia pada 1786. Kapal mengangkut cukup banyak saudagar AS, termasuk seorang penumpang penting Samuel Shaw, konsul AS di Kanton. Pada kesempatan itu, pemerintah Hindia Belanda memberi akses kepada orang-orang AS ke seluruh pelabuhan Batavia, dengan syarat AS tidak melakukan transaksi gelap dengan para saudagar di sana.

Namun pada kedatangan kapal dagang yang kedua di Hindia Belanda sekira tahun 1790 rupanya AS tidak lagi dianggap penting oleh pemerintah Hindia Belanda. Malah sambutannya saat itu terkesan dingin. Oleh para saudagar pelabuhan, perwakilan AS diberitahu bahwa keistimewaan terhadap mereka telah dicabut. AS tidak diizinkan melakukan bongkar muat di Batavia.

Baca juga: Perintis Perdagangan Amerika di Nusantara

Kondisi itu, kata Yuda, sangat jauh berbeda dengan wilayah koloni Inggris. Di sana, para utusan AS memperoleh banyak kemudahan. Mereka bahkan diperlakukan sebagai bangsa yang paling disukai. Sementara di Hindia Belanda, para utusan itu menemui kesulitan-kesulitan dalam menjalin hubungan ekonomi.

“Di Hindia Belanda mereka harus menghadapi kenyataan bahwa di koloni Belanda tidak ada privilege semacam itu. Mereka diperlakukan sama seperti pedagang-pedagang asing lainnya,” tulis Yuda.

Akibatnya, sempat terjadi ketegangan antara AS dengan pemerintah HIndia Belanda. Para pedagang AS menuntut perlakuan layak, sementara Hindia Belanda tidak bisa mudah mengabulkannya sebab AS sendiri tidak memiliki nilai lebih di mata mereka dalam urusan perdagangan. Komoditas yang dibawa AS kebanyakan tidak laku di pasaran. Untuk menyelesaikan perselisihan itu, kedua pihak sepakat mengadakan perundingan. Meski tetap saja pihak AS ada dalam kondisi tidak menguntungkan.

Konsul Shaw lalu melaporkan perlakuan itu ke atasannya di Washington. Protes pun langsung dilayangkan kepada pemerintah Hindia Belanda. Pemerintah AS menagaggap Hindia Belanda telah melanggar kesepakatan tentang kebijakan perdagangan internasional. Namun pihak Belanda menyangkal, dengan mengatakan kondisi serupa juga dialami bangsa asing lainnya di Batavia, tidak hanya AS.

“Sebenarnya kebijakan tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan dagang VOC yang mulai merosot menjelang akhir abad ke-18,” ungkap Yuda.

Tragedi Dagang di Aceh

Terbukanya jalur perdagangan untuk AS di Hindia Belanda terjadi saat orang-orang Belanda mulai terdesak oleh kehadiran armada Inggris. Juga saat VOC menghadapi kehancurannya pada awal abad ke-19. Para pedagang AS lalu membuka kesempatan menguasai perdagangan di tanah Sumatera, di beberapa daerah yang belum sepenuhnya dikuasai Belanda.

Pada 1790, seorang pelaut AS membawa pulang sekapal penuh muatan lada dari Sumatra. Dia meraup keuntungan lebih dari 700%. Lada memang menjadi komoditas utama pelabuhan Sumatra. Pada 1803, sebanyak 21 kapal AS merapat di wilayah Kuala Batu, Aceh. Mereka datang untuk menguasai jaringan perdagangan lada di sana.

“Monopoli itu memungkinkan kapal-kapal AS untuk memperoleh keuntungan yang besar, yang mana tampak sejak tahun 1820 sekitar 40 kapal AS dengan muatan masing-masing mencapai 200 ton setiap tahunnya berlayar ke dan dari Kuala Batu,” tulis Yuda.

Baca juga: Ketika Amerika Menginvasi Aceh pada 1832

Keberadaan AS di Kuala Batu berujung tragedi. Pada 1830-an antara penduduk setempat dan pelaut AS terlibat pertempuran. Banyak orang menjadi korban. Dicatat David Foster Long dalam Gold Braid and Foreign Relations: Diplomatic Activities of U.S. Naval Officers 1798-1883, sebanyak 450 warga Kuala Batu, termasuk perempuan dan anak-anak, tewas. Sementara jumlah korban di pihak Amerika tidaklah banyak.

Serangan AS itu merupakan peringatan bagi penduduk Kuala Batu yang dianggap mengganggu kepentingan dagang mereka. Padahal, menurut Robeth Booth dalam Death of an Empire: The Rise and Murderous Fall of Salem, America’s Richest City, ketegangan terjadi karena banyak pemimpin Kuala Batu yang dicurangi oleh para pedagang AS.

Setelahnya, arus kapal-kapal dagang dari Salem ke Aceh kian masif dilakukan untuk meraup seluruh lada di tempat itu.

TAG

amerika serikat sumatra lada

ARTIKEL TERKAIT

Raja Terakhir Singapura Bangun Malaka Kerajaan Karo Itu Ada Perwira Prancis Beli Lada dapat Prank Raja Perkasa Alam Kuat dan Paranoid Pedir Kaya Jual Merica Nama Lain Sumatra Tempo Dulu Ada John Lie di Jalur Rempah Arab dan Tiongkok Berebut Rempah di Riau Dewaruci Menuju Negeri Laskar Pelangi Tanpa Pajak, Palembang Kaya