BEGITU mendengar kabar adanya kecelakaan nuklir di Chernobyl, Uni Soviet pada 26 April 1986, Artati langsung mengirim kabar kepada para koleganya untuk mengadakan pertemuan membahas kecelakaan tersebut. Kala itu, Artati duduk sebagai ketua Dewan Gubernur Badan Tenaga Atom Internasional (International Atomic Energy Agency, IAEA), yang dijabatnya sejak 1 Oktober 1985.
Sejak IAEA didirikan pada pada 22 Juli 1957, Indonesia langsung bergabung di tahun yang sama dan beberapa kali menduduki posisi penting di lembaga nuklir dunia ini. Sebelum Artati, ada Sudjarwo Tjondronegoro yang menjabat sebagai President of the General Conference pada 1958.
Baca juga: Serba-serbi Chernobyl
Menurut Artati dalam memoarnya di Bunga Rampai Kenangan dalam Dinas Luar Negeri terbitan Kementerian Luar Negeri, ketua dewan yang dipilih selalu berasal dari negara yang tidak memiliki senjata nuklir. Ketua dewan juga harus menjaga keseimbangan kepentingan antara negara-negara adikuasa yang memanfaatkan nuklir.
Baca juga: Artati Sang Srikandi Diplomasi
Dalam dewan gubernur terdapat 35 anggota. Artati merupakan perempuan kedua yang berhasil menduduki posisi pimpinan IAEA. Perempuan pertama yang menjabat sebagai ketua Dewan adalah Duta Besar Margaret Meagher dari Kanada (1962).
“Terpilihnya seorang perempuan sebagai Ketua Dewan merupakan peristiwa kedua kalinya terjadi dalam sejarah IAEA dan kejadian itu lebih menonjol karena Ibu berasal dari negara berkembang,” kata Ceniza Marzuki, anak pertama Artati, pada Historia.
Sidang Komite Administrasi dan Anggaran IAEA (6-9 Mei 1986) yang diketuai Artati situasinya mencekam. Para perwakilan negara yang hadir khawatir awan radio aktif dari sisa ledakan akan jatuh di negara-negara sekitar Uni Soviet. Sementara, keterangan faktual tentang kronologi kejadian dan situasi terkini amat sedikit karena minimnya informasi dari Uni Soviet.
Untuk mendapatkan informasi lebih lengkap, Direktur Jenderal IAEA Dr. Hans Blix, mantan menteri Luar Negeri Swedia, dan timnya berangkat ke Uni Soviet. Pada musim semi 12 Mei 1986 di Wina, diadakan pertemuan di mana Dr. Hans Blix menceritakan kondisi yang mereka temui sebagai dampak kecelakaan nuklir tersebut.
Baca juga: Presiden Martir Anti-Nuklir
“Wakil Tetap Jerman Barat Karl Paschke meminta bicara dengan saya. Saya teringat akan gejolak politik yang sedang menimpa negaranya sebagai akibat musibah Chernobyl,” kata Artati.
Dalam pertemuan dengan Dr. Hans Blix, Artati mendapati hal tak biasa di mana roman muka koleganya itu tampak murung. Paschke menceritakan, negaranya sedang menghadapi pemilihan umum dan salah satu partai politik sudah cenderung menghentikan pembangunan dan pengoperasian PLTN.
Pemerintah Jerman merasa perlu mengadakan pembahasan keselamatan instalasi nuklir di forum internasional. Sebelum Perdana Menteri Helmut Kohl mengajukan permintaan resmi untuk mengadakan sidang khusus mengenai kecelakaan nuklir di Chernobyl, Duta Besar Paschke sudah memberitahu Artati lebih dulu.
Perasaan khawatir akan dampak nuklir juga menyebabkan beberapa negara Eropa Barat, seperti Italia, mengeluarkan peraturan ketat mengenai penjualan bahan makanan karena banyk bahan makanan yang ditemukan mengandung radio-aktivitas tinggi. Beberapa bahkan disalurkan ke negara-negara berkembang. Keprihatinan para pemimpin dunia juga bertolak dari fakta kecelakaan Chernobyl telah menimbulkan singgungan antarnegara.
Baca juga: Enam Tragedi Kapal Selam Rusia
Negara-negara yang karena alasan politis tidak mengoperasikan PLTN kemudian merasa terancam karena adanya dampak nuklir yang melintasi batas nasional. Mereka menyatakan pembangunan instalasi nuklir di suatu negara harus dirundingkan terlebih dahulu dengan negara tetangga. Sikap ini menimbulkan ketegangan antara beberapa negara, seperti Austria dan Jerman Barat.
“Pada waktu itu dalam forum IAEA masih sering ditemukan perbedaan paham antara Kelompok Eropa Barat dan Eropa Timur. Sehingga tantangannya adalah bagaimana mengusahakan masalah kebocoran nuklir Chernobyl, tidak menjadi permainan politik,” kata Ceniza mengenang ibunya.
Dalam proses persiapan Sidang Khusus Chernobyl, delegasi Uni Soviet jelas-jelas menyatakan akan menentang tiap usaha untuk mengeluarkan suatu resolusi yang akan memojokkan Uni Soviet. Sedangkan negara-negara Amerika Utara, yang tidak langsung terkena dampak radioaktif tersebut, lebih memikirkan masa depan industri nuklirnya.
Artati berusaha menghindari perdebatan politik yang emosional dan lebih fokus pada penanganan dan analisis pasca-musibah, seperti pemberian bantuan, pengukuran tingkat radiasi, dan penanganan jangka panjang agar PLTN dapat dioperasikan secara aman. Maka sebelum Sidang Khusus BOG, 21 Mei 1986, ia mengadakan lobi-lobi dan mengumpulkan pendapat dari para perwakilan negara.
“Ibu mengumpulkan pendapat-pendapat mereka dan itu yang terkenal dengan The Summing-up of the Chairman of the Board of Governors,” kata Ceniza.
Baca juga: Akhir Tragis Kapal Greenpeace Penentang Nuklir Prancis
Setelah melalui lobi-lobi sebelum sidang, mayoritas anggota ternyata tidak menghendaki resolusi. Mereka menyadari yang perlu diutamakan adalah meringankan kesengsaraan para korban kecelakaan radiasi dan memikirkan berbagai tindakan keselamatan jangka pendek dan panjang.
Sidang sepakat bahwa tidak ada jalan lain selain mengambil tindakan konkret secara multilateral untuk meningkatkan keselamatan nuklir juga penanggunalangan musibahnya. Jerman Barat dan sebagain negara Barat beranggapan bahwa sasaran utama baik yang bersifat politis maupun teknis telah tercapai. Sementara, Uni Soviet tidak merasa terpojokkan karena tidak ada resolusi yang menyalahkan pihaknya sehingga masalah Chernobyl terhindar dari pembahasan politis.
“Jadi chairman-nya tidak mengambil putusan, hanya mengumpulkan pendapat-pendapat yang kemudian menyusun teks singkat sebagai dasar untuk meningkatkan kerjasama internasional di bidang keselamatan instalasi nuklir,” kata Ceniza mengenang kisah ibunya.