Masuk Daftar
My Getplus

Artati Sang Srikandi Diplomasi

Merintis karier sebagai seorang diplomat, Artati kemudian dipercaya memegang beragam jabatan, nasional hingga internasional. Presiden Soekarno menjadikannya menteri pendidikan.

Oleh: Nur Janti | 26 Jul 2020
Artati Sudirdjo diapit kedua anaknya, Ceniza dan Salim Marzuki. (Dok. pribadi Ceniza Marzuki).

Dengan radio amatir milik ayahnya, Artati Sudirdjo berusaha terhubung dengan dunia luar. Berbekal pelajaran morse di kepanduan, ia tak kesulitan berkomunikasi menggunakan radio amatir untuk mencari sahabat pena.

“Sejak remaja Ibu menjalin hubungan dengan dunia luar melalui sahabat pena,” kata Ceniza Marzuki, putri pertama Artati Sudirdjo, pada Historia.

Artati lahir di Salatiga pada 15 Juni 1921 dan tumbuh di Bandung. Ia anak sulung dari 10 bersaudara pasangan R. Sudirdjo Djojodihardjo dengan R.A. Sumiati Reksohaminoto. Artati kecil bercita-cita menjadi pekerja di Dinas Luar Negeri meski ia menganggapnya hanya khayalan, sebab Indonesia belum merdeka.

Advertising
Advertising

Namun Artati dan adik-adiknya, baik perempuan maupun lelaki, semua mendapat kesempatan sama menempuh pendidikan hingga ke jenjang tinggi dari orang tuanya. Artati bersekolah di Hogere Burgerschool (HBS V) Bandung. Ia lulus pada 1939 kemudian meneruskan ke Rechts Hoge School di Batavia. Namun pendidikannya di sekolah hukum tak bisa dilanjutkan karena Perang Dunia II.

Selain diberi kesempatan mengenyam pendidikan formal, semua anak Sudirdjo-Sumiati juga dididik untuk bisa merawat diri sendiri. Sejak kecil Artati dan saudara-saudaranya diajari membersihkan rumah, menjahit, dan memasak. “Saya sangat berterima kasih kepada kedua orang tua saya untuk pendidikan yang menyeluruh dan berimbang ini,” kata Artati seperti dimuat dalam buletin Dharma Wanita Departemen Luar Negeri Nomor 40 tahun XI-1990.

Artati juga gemar membaca tentang kehidupan masyarakat negara lain dan belajar bahasa asing. “Malahan saya pernah belajar bahasa Esperanto yang dicita-citakan dapat menjadi bahasa dunia,” kata Artati.

Artati Sudirdjo kala berbicara di forum PBB. (Dok. Ceniza Marzuki).

Sudirdjo amat mendukung hobi anaknya dengan menyediakan fasilitas untuk menunjang hobi tersebut. Sebagai kepala Tekniksi Stasiun Radio di Malabar, Bandung, Sudirdjo juga jadi tempat Artati belajar komunikasi radio.

Artati amat dekat dengan ayahnya. Kala Perang Kemerdekaan, Artati mengikuti Sudirdjo membantu Palang Merah Indonesia. Pada peristiwa Bandung Lautan Api, radio tempat Sudirdjo bekerja pindah ke Dayeuhkolot dan dikuasai para pejuang. Artati bergabung menjadi staf Penerangan Luar Negeri (Voice of Free Indonesia) dan menjadi penyiar yang mengumumkan kemerdekaan Indonesia dalam bahasa Inggris melalui radio tersebut.

Pasca-proklamasi, Artati mengawali karier di Kementerian Luar Negeri di bidang politik/konsulet. Ia menjabat sebagai Sekretariat Jenderal Kementerian Luar Negeri ketika ibukota pindah ke Yogyakarta.

Baca juga: Artati Marzuki, Menteri PD dan K di Tengah Konflik Departemen

“Ibu adalah diplomat wanita pertama termuda (29 tahun) yang dikirim ke Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York dan menyaksikan pengibaran bendera Merah-Putih saat Indonesia diterima sebagai anggota PBB ke-60 pada 28 September 1950,” kata Ceniza.

Semangat belajar Artati tak pernah hilang. Begitu situasi aman pasca-penyerahan kedaulatan, Artati melanjutkan pendidikannya dengan Kursus Diplomatik dan Konsuler selama setahun di Kementerian Luar Negeri, Jakarta. Ia kemudian melanjutkan kuliah di Fakultas Hukum Universitas Indonesia namun harus terhenti pada 1950 karna mewakili Indonesia di PBB.

Sekjen Deplu Artati Sudirdjo duduk bersama Menlu Adam Malik dan pegawai Deplu. (Dok. Ceniza Marzuki).  

Sebagai mahasiswa, Artati aktif sebagai awak redaksi majalah yang dikeluarkan oleh Unitas Studiosorum Indonesiensis dan Indonesische Vrouwelijke Studenten Vereniging. Ia juga menjadi pengurus redaksi Majalah Karya yang ditujukan untuk perempuan pekerja.

Dari 1958 hingga 1961, Artati bertugas di Kedutaan Besar RI di Roma. Setelah itu dia dipercaya menjadi kepala Direktorat Organisasi Internasional Departemen Luar Negeri hingga diangkat menjadi menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan RI (1964-1966).

Baca juga: Jurus Diplomasi Artati Memimpin Sidang Chernobyl

Karier Artati mayoritas dihabiskan di bidang diplomatik. Usai menjadi menteri, ia kembali ke Departemen Luar Negeri sebagai Sekretaris Jenderal (1966-1971) dan Inspektur Jenderal (1971-1973). Pada 1973 hingga lima tahun kemudian, Artati menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung RI. Dari 1978–1982, ia bertugas sebagai Panitia Tetap Hukum Humaniter di Departemen Kehakiman.

Pada 1980-an, Artati kembali ke dunia diplomatik dengan menjadi duta besar RI untuk Swiss, Austria, merangkap wakil tetap RI di PBB dan organisasi-organisasi Internasional di Wina. Di antara posisi penting yang dipegang Artati ialah ketua Dewan Gubernur di Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) dan ketua Sidang Khusus tentang Kecelakaan Nuklir di Chernobyl, yang membahas solusi untuk para korban.

Artati Sudirjo di masa senja bersama anak pertamanya, Ceniza Marzuki. (Dok. pribadi Ceniza Marzuki).

Meneladani Kedisiplinan Artati

Dalam ingatan Ceniza, Artati adalah sosok ibu yang disiplin dan perhatian. “Kedisiplinannya kemudian menjadi pedoman Ibu Artati dalam kesehariannya,” kata Ceniza.

Sikap disiplin Artati diajarkan oleh ayahnya yang amat disiplin dan terorganisasi. Itu bisa dilihat dari pembagian tugas di rumah kala Artati masih kecil. Kedisiplinan dan sikap terencana Sudirdjo pula yang membuatnya berhasil menyelamatkan alat-alat stasiun radio dalam pengungsian dari Malabar ke Dayeuhkolot saat peristiwa Bandung Lautan Api.

Baca juga: Kisah di Balik Bandung Lautan Api

Disiplin dan teratur adalah ciri khas karakter Artati. Ia selalu tepat waktu dan suka menata berkas-berkasnya dengan sangat rapi, kronologis, dan terawat. Ceniza mencontohkan, surat dari 30 tahun lalu pun masih disimpan oleh Artati. Hal itulah yang diajarkan dan diturunkan pada Ceniza untuk menjaga dan merawat segala berkas tua.

“Hubungan kami unik karena membahas dan mempersiapkan untuk wafatnya, hal mana saat itu dianggap ‘tabu’, membahas persiapan kematian,” kata Ceniza.

Ceniza ingat, ibunya selalu berusaha mempersiapkan segala sesuatu untuk dirinya sendiri, anak, ataupun cucunya. Pesan Artati yang masih diingat Ceniza, perempuan dan lelaki memiliki hak dan kewajiban serta kesempatan sama, yang terpenting adalah pembagian tanggung jawab yang seimbang, selaras, dan serasi.

“Ayah dan ibu sangat maju pemikirannya. Dalam lingkungan keluarga saya untuk pertama kali melihat penerapan prinsip non-diskriminasi terhadap perempuan. Ketika itu saya tidak menyadari, akan tetapi contoh orang tua saya itu akan sangat berpengaruh dalam kehidupan dan pekerjaan saya kemudian,” kata Artati.

TAG

perempuan artati marzuki

ARTIKEL TERKAIT

Jurnalis Perempuan Pemberani Diangkat Menjadi Menteri Mengenang Amelia Earhart yang Mampir di Bandung Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Ogah Dipaksa Kawin, Maisuri Kawin Lari Berujung Dibui Bikini dari Paris Kisah Babu Datem dan Upaya Melindungi Pekerja Hindia di Belanda Tante Netje 54 Tahun Jadi Ratu Peringatan Hari Perempuan Sedunia di Indonesia Era Masa Lalu Nasib Tragis Sophie Scholl di Bawah Pisau Guillotine Mr. Laili Rusad, Duta Besar Wanita Indonesia Pertama