JOSEPH Robinette Biden Jr. alias Joe Biden dari Partai Demokrat untuk sementara memimpin perolehan suara Pemilihan presiden Amerika Serikat pada Selasa, 3 November 2020 (Rabu, 4 November WIB). Data Associated Press per Rabu (4/10/2020) pukul 11 malam WIB menunjukkan, Biden unggul 238 electoral votes dari Donald Trump yang diusung Partai Republik (213 electoral votes). Untuk menang, salah satu kandidat harus meraup 270 electoral votes.
Meski punya keyakinan besar, Biden berusaha untuk sabar menunggu perhitungan perolehan suaranya 100 persen rampung. “Bukan kewenangan saya atau Donald Trump untuk mendeklarasikan kemenangan pemilu ini. Melainkan kewenangan para pemilik suara. Kami senang dengan keunggulan kami. Kami percaya sudah berada di trek yang benar untuk memenangkannya,” kicau Biden di akun Twitter-nya, @JoeBiden, Rabu (4/10/2020).
Bersama Kamala Harris sebagai calon wakil presidennya, Biden menang di 23 negara bagian. Jika Biden resmi terpilih jadi presiden Amerika ke-46, dia akan jadi presiden pertama yang punya kekurangan dalam berbicara di depan publik, yakni gagap.
Baca juga: Penjelajahan Antariksa dari JFK hingga Trump
Lahir di Scranton, Pennsylvania, 20 November 1942 sebagai anak sulung pasangan blasteran Irlandia-Prancis, Catherine Eugenia Finnegan dan Joseph Robinette Biden Sr., sejak kecil Biden sudah mengalami gagap bicara. Dituliskan Michael V. Uschan dalam biografi, Joe Biden, kegagapannya makin parah semenjak usia sekolah.
“Sejak kecil ia sudah gagap dan tak pernah jadi masalah serius sampai dia mulai sekolah. Sebelumnya, teman-teman dan keluarganya menerima apa adanya dan dia tak merasa malu ketika tiba-tiba berhenti saat bicara. Namun kegagapan Biden semakin buruk di sekolah karena dia gugup bicara di depan orang banyak yang tak dikenal,” ungkap Uschan.
Tak ayal, Biden acap jadi korban olok-olok baik oleh teman-teman sekolahnya maupun gurunya. Pernah suatu ketika di masa sekolah dasar di St. Helena School, Pennsylvania, Biden diejek “Tuan Bu-bu-bu-Biden” oleh kepala biarawati Suster Agnes Constance yang mengajar di kelasnya.
Ejekan itu membuat Biden mengadu pada ibunya. Tanpa pikir panjang sang ibu pun mendatangi sekolah dan mencari biarawati perundung putranya. Dalam memoarnya, Promises to Keep: On Life and Politics, Biden mengenang sang ibu mendatangi sekolahnya dengan membawa Biden dan Frank adiknya yang masih bayi.
Baca juga: Kakek Donald Trump Korban Pandemi
Sang ibu langsung melabrak suster di ruang kepala sekolah. Meski Biden menunggu di luar ruangan, ia masih ingat betul pembicaraan itu yang terdengar sampai ke luar. Sang ibu menyela penjelasan yang diberikan suster.
“Saya tahu itu, Suster, tapi apa yang Anda katakan?”
“Well, Nyonya Biden, saya tidak sungguh-sungguh mengatakan…”
“Apakah Anda mengatakan Bu-bu-bu-bu-Biden?”
“Well, itu tidak relevan, nyonya…”
“Apakah Anda mengatakan Bu-bu-bu-bu-Biden?”
“Ya, Nyonya Biden, saya saat itu sedang menjelaskan…”
“Jika Anda bicara pada putra saya seperti itu lagi, saya akan kembali dan mencabik-cabik kerudung di kepala Anda. Apakah Anda mengerti?” kata sang ibu yang langsung membanting pintu kantor kepala sekolah dengan keras sembari membawa pulang Frankie dan memerintahkan Biden kembali ke kelas.
Setelah pengaduan akibat olok-olok terakhir itu, Biden tak pernah lagi mengadu walau perundungan tetap dialaminya bahkan hingga masa kuliah. Perundungan yang diterimanya terus berlangsung tak peduli Biden merupakan pemuda cakap dalam olahraga American footbal dan bisbol sejak SMA. Julukan-ejekan seperti “Joe Impedimenta” (Joe cacat) atau “Joe Dash” tetap diterimanya.
“’Dash’ (tanda pisah, red.) jadi julukan semenjak saya main American football. Saya memang cepat dan mencetak banyak touchdown. Tapi mereka memanggil saya ‘Dash’ lebih kepada saya bicara seperti kode Morse. Titik-titik-titik-titik-dash-dash-dash-dash,” tambah Biden.
Meski tak pernah mengatasinya dengan terapi, Biden berusaha mengurangi kegagapannya dengan banyak membaca puisi di depan cermin sejak masuk Archmere Academy di Claymont. Kegagapannya berulang-kali tetap muncul hingga ketika Biden menjadi wakil presiden Amerika ke-47 mendampingi Barack Obama (2009-2017).
Toh, Biden bukan satu-satunya tokoh politik yang memiliki kegagapan bicara. Jauh sebelumnya, raja Inggris juga mengalami hal yang sama.
George VI, Raja yang Gagap
Raja Inggris George VI (1936-1952) diketahui juga punya kelainan syaraf yang sama dengan Biden. Raja yang lahir pada 14 Desember 1895 dengan nama Pangeran Albert Frederick Arthur George ini juga sudah mengalami kelainan gagap sejak kecil. Akibatnya ia tumbuh jadi bocah pendiam. Bicaranya hanya lancar di depan keluarga dan orang-orang terdekatnya.
Namun, menurut Mark Logue dan Peter Conradi dalam The King’s Speech: How One Man Saved the British Monarcy, publik baru mengetahui bahwa anak kedua Raja George V itu gagap ketika diminta berpidato pada upacara penutupan sebuah pameran di British Empire Exhibition Stadium (kini Stadion Wembley), 31 Oktober 1925.
Baca juga: Donald Trump dan Raja Inggris yang Dimakzulkan
Pada 1926, sang pangeran mencoba mengatasinya dengan mengambil jasa terapis Lionel Logue. Sang pangeran dikenalkan kepada terapis asal Australia itu oleh kerabatnya, Lord Stamfordham.
“Tuan Logue mendapati diagnosa bahwa George mengalami koordinasi (syaraf) yang buruk antara pangkal tenggorokan dan diafragma toraksnya. Ia menyarankan George untuk terapi vokal harian,” tulis Conradi dan Mark Logue, cucu Lionel Logue.
Sejak saat itu Logue rutin menerapi sang pangeran. Terapi makin intens setelah George diangkat menjadi raja pada Desember 1936 menggantikan kakaknya, Edward VIII, yang tak punya keturunan.
Kendati demikian, tak pernah ada catatan detail metode apa yang digunakan dalam terapi rutin harian Logue terhadap pasien terpentingnya itu. Yang pasti terapi yang dilakukan di ruang tertutup itu membuat Raja George lebih rileks menghadapi publik.
Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja George VI
“Terapi (Logue) membuat George lebih bisa rileks dan menghindari kejang otot. Hasilnya, public speaking-nya meningkat pesat tanpa tergagap-gagap. Tuan Logue ikut menggerakkan lidah dan mulut untuk mendorong latihan pidato yang akan disiarkan di radio,” lanjutnya.
Bimbingan terpenting Logue terjadi menjelang pidato radio deklarasi perang Inggris terhadap Jerman Nazi yang dikumandangkan Raja George VI pada 3 September 1939. Raja George VI tak boleh sekali pun terganggu gagap dalam pidato itu lantaran raja menjadi simbol terpenting yang jadi pegangan rakyatnya menyongsong Perang Dunia II.
Maka sebelum pidato itu disiarkan, naskah dipelajari Logue terlebih dulu. Logue memberikan banyak coretan di naskah tersebut sebagaimana dilihat Mark Logue sang cucu yang memegang satu salinannya. Coretan itu dijadikan Logue sebagai penanda di mana sang raja harus berhenti bicara dan mengambil nafas, lalu melanjutkannya lagi.
Baca juga: Horor Perang Dunia II dari Mata Lensa Pewarta
“Garis-garis vertikal ini dijadikan penanda berhenti sementara agar sang raja bisa mempersiapkan otot syarafnya untuk mengeluarkan suara di kata-kata berikutnya tanpa ragu dan gagap. Ada juga coretan untuk mengganti beberapa kata yang sulit dengan kata yang lebih mudah untuk diucapkan raja,” tandas Mark Logue.
Upaya Logue berhasil. Pidato Raja George VI pada 3 September 1939 itu menjadi salah satu pidato ikonik pada Perang Dunia II. Pidato tersebut membakar semangat rakyatnya untuk bersiap menghadapi pasukannya Adolf Hitler.