RABU 18 Desember 2019 menjadi “Rabu kelabu” bagi Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Malam hari itu waktu setempat, House of Representatives mengetuk palu untuk menetapkan impeachment atau pemakzulan terhadap Trump.
Pemakzulan bisa disebut sebagai proses politik untuk mengadili tindak kejahatan seorang pemimpin. Di negara-negara dengan sistem bikameral, pemakzulan berhulu pada suara mayoritas yang didapatkan dari pemungutan suara di badan legislatif. Suara mayoritas itu lalu diteruskan ke Senat. Senat lalu menyelidikinya dan memutuskan apakah si kepala negara harus melepaskan jabatannya atau tidak.
Baca juga: Donald Trump Bukber di Gedung Putih
Sebelum Trump yang nasibnya bakal ditentukan Senat AS kelak, ada dua presiden AS yang dimakzulkan meski kemudian tetap menjabat sampai akhir masa jabatan. Adalah Andrew Johnson pada 24 Februari 1868 dan Bill Clinton pada 19 Desember 1998.
Di Indonesia, setidaknya dua presiden pernah di-impeach, yakni Sukarno pada 12 Maret 1967 dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur) pada 23 Juli 2001. Namun tahukah Anda bahwa tidak hanya presiden, seorang raja pun pernah dimakzulkan bahkan sampai divonis eksekusi mati?
Siapa Raja Charles I?
Dari beragam catatan sejarah, peristiwa pemakzulan pertama terhadap seorang pejabat negara terjadi di Inggris pada 1346. Adalah Lord William, bangsawan Inggris yang menjadi baron keempat di Latimer, yang dimakzulkan. Tiga abad berselang, giliran seorang raja yang di-impeach hingga bermuara pada eksekusi mati. Raja itu ialah Charles I.
Charles I dinobatkan jadi raja Inggris, Skotlandia, dan Irlandia pada 25 Maret 1625 sepeninggal ayahnya, Raja James I (Raja James IV, sebagai penguasa Skotlandia). Sebagaimana mendiang ayahnya, Charles I juga kerap berselisih dengan parlemen yang banyak diisi para politisi puritan.
Oleh karena itu, perselisihan Charles I dengan parlemen tak hanya soal uang atau kebijakan diplomatik, namun juga soal agama. Perselisihan agama itu berpangkal pada istri Charles I, Ratu Henrietta, yang berasal dari Prancis dan beragama Katolik Roma.
Mengutip Robert Unwin dalam The Making of United Kingdom, perkara lain yang bikin ruwet hubungan sang raja dan parlemen adalah relasinya dengan George Villiers, 1st Duke of Buckingham. Villierslah biang kerok yang membuat Inggris terlibat dalam berbagai konflik yang menguras keuangan negara, seperti di Perang Ekspedisi Cádiz kontra Spanyol (1-7 November 1625) dan Pertempuran St. Martin melawan Prancis (1627).
“Charles butuh uang dari parlemen yang bakal menaikkan pajak. Parlemen memanfaatkannya untuk bernegosiasi. Parlemen merilis daftar keluhan rakyat terhadap raja yang dikenal dengan ‘Petition of Right’. Charles terpaksa setuju. Namun menyusul pembunuhan Duke of Buckingham pada 1629, hubungan antara Charles dan parlemen memburuk, Charles membubarkan parlemen,” ungkap Unwin.
Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris
Maka selama 11 tahun berikutnya Inggris dipimpin seorang tiran yang memerintah tanpa diawasi parlemen. Baru pada 1640 parlemen diketengahkan Charles atas usulan salah satu menterinya, Thomas Wentworth, 1st Earl of Strafford. Nahas, setahun berselang justru Wentworth sendiri dimakzulkan parlemen yang berakhir pada keputusan eksekusi mati.
Parlemen dan Charles kembali bersitegang saat kekuasaannya hendak dikerdilkan parlemen lewat hukum-hukum baru yang dikeluarkan House of Commons (legislatif). Charles yang marah menggeruduk parlemen dengan pasukannya untuk menangkap lima musuh politik di House of Commons pada 1642. Para oposan itu lalu kabur. Peristiwa itu menandai dimulanya Perang Saudara Inggris antara kaum “Roundheads” yang pendukung parlemen dan “Cavaliers” sebagai loyalis Charles I.
Meski Perang Saudara Inggris terjadi hingga 1649, Charles I sudah lebih dulu ditawan di Isle of Wight sejak 1648. Baru pada Januari 1649 statusnya sebagai raja dimakzulkan House of Commons, badan legislatif di Parlemen Rump, dengan dakwaan penyalahgunaan kekuasaan dan pengkhianatan terhadap rakyat Inggris.
Pada 20 Januari 1649, Charles I diseret ke kursi terdakwa di Westminster Hall. Tiga hakim dan 150 komisioner pengadilan tinggi menghadapi sang raja dalam pengadilan kasus itu.
Tetapi Charles I menganggap peradilan itu sebagai peradilan ilegal. Sebagai raja, ia masih berpegang pada hukum tradisional Inggris: raja adalah kekuasaan abadi yang diberikan Tuhan sehingga raja dianggap takkan pernah salah. Oleh karenanya, persidangan itu tak punya kekuatan hukum terhadap kedudukannya sebagai raja.
Baca juga: Tiara Ratu Inggris Penolak Bala
“Tidak ada pengacara terpelajar yang akan menyetujui bahwa sebuah pemakzulan bisa dihadapkan pada raja… Saya ingin tahu wewenang dari otoritas hukum mana, sampai saya bisa diseret ke (persidangan) ini,” kata Charles I saat diberi kesempatan bicara, dikutip dari The Constitutional Documents of the Puritan Revolution: 1625-1660 yang dieditori Samuel Rawson Gardiner dari Universitas Oxford.
Pernyataan itu mendapat bantahan dari Bradshaw, satu dari tiga hakim yang memimpin sidang. Menurutnya, saat Charles I dinobatkan dengan sumpah, sumpahnya punya makna timbal-balik terhadap rakyat. Dalam dakwaan, justru rakyatlah yang dikhianati Charles I hingga menjadikan ikatan antara raja dan rakyatnya terputus
Charles I pun tetap disidang dan pada 27 Januari 1649 divonis hukuman mati. “Sidang mencapai keputusan bahwa Charles (dari wangsa/dinasti) Stuart dinyatakan bersalah atas kejahatan yang dituduhkan padanya sebagai tiran, pengkhianat, pembunuh dan musuh negara, dengan hukuman mati lewat eksekusi pemenggalan kepala,” demikian bunyi vonis Charles yang ditandatangani 59 komisaris sidang, termaktub dalam arsip “Death Warrant of King Charles I” yang dimuat situs parliament.uk.
Eksekusinya digelar di halaman Banqueting House, Istana Whitehall pada 30 Januari 1649 siang. Peristiwa pemakzulan itu lantas diadopsi para perumus konstitusi AS, di mana dalam Konvensi Konstitusi 1787 prosedur pemakzulan dimasukkan di Konstitusi Amerika Pasal II ayat 4. Konstitusi serupa itu kini dihadapi Trump.