SEPERTI halnya di Indonesia, gejolak pandemi COVID-19 (virus corona) masih meningkat di Amerika Serikat. Menukil data WHO, per Minggu (4/10/2020), kasus positif sudah mencapai lebih dari 7,2 juta jiwa dengan 207 ribu di antaranya menginggal. Presiden Donald Trump turut masuk di daftar nama yang terjangkit.
Trump dan istrinya, Melania Trump, dilaporkan positif COVID-19 pada Jumat, 2 Oktober, dua hari setelah melakoni debat Pemilihan Presiden (Pilpres) Amerika di Cleveland, Ohio. Kini, Trump masih menjalani perawatan dan karantina di fasilitas kesehatan militer, Walter Reed Army Medical Center, Washington DC.
“Para dokter, perawat dan semua yang bertugas di Walter Reed Medical Center yang hebat dan orang-orang dari institusi-institusi lain yang bergabung, merupakan orang-orang yang luar biasa!!! Progres yang menakjubkan telah dilakukan selama enam bulan terakhir memerangi wabah ini. Dengan pertolongan mereka, saya merasakan kondisi yang baik!” kicau Trump di akun Twitter-nya @realDonaldTrump, Minggu (4/10/2020).
Baca juga: Donald Trump dan Presiden Amerika yang Terpapar Virus Influenza
Benarkah Trump dan ibu negara bakal baik-baik saja, seperti kicauan akun resminya di atas? Pasalnya dokter Sean Conley dari tim kesehatan Gedung Putih menyatakan Trump masih harus melewati masa kritis perkembangan virus SARS-CoV-2 di tubuhnya.
“Saya mulai merasa optimis. Namun Anda takkan tahu apa yang akan terjadi dalam periode dua hari ke depan. Masa-masa itu akan jadi ujian sesungguhnya. Jadi kita lihat saja dua hari lagi untuk memastikannya,” tutur dokter Conley, disitat ABC News, Minggu (4/10/2020).
Banyak warga Amerika, terutama para pendukung Partai Republik, berharap dan mendoakan Trump. Tentu akan jadi kehilangan yang besar jika Trump bernasib sama seperti kakeknya, Frederick Trump, 102 tahun silam yang tutup usia di tengah-tengah pandemi Flu Spanyol yang merajalela di Amerika Serikat.
Kakek Trump Imigran Jerman
Lahir dengan nama Friedrich Trump di Kallstadt, Bavaria, Jerman pada 14 Maret 1869, kakek Trump merupakan anak pasangan Christian Johannes Trump dan Katharina Kober. Mereka berasal dari minoritas Protestan di antara mayoritas Katolik di Bavaria. Demikian versi Gwenda Blair dalam The Trumps: Three Generations That Built an Empire.
Namun versi Frederick Christ Trump Sr., putra Friedrich sekaligus ayah Donald Trump, lain lagi. Menurutnya, nenek moyang Trump berasal dari Karlstad, Swedia, bukan Kallstadt, Jerman. Klaim ini ditegaskan oleh Donald Trump sendiri lewat otobiografinya yang dituliskan bersama Tony Schwartz, The Art of the Deal.
“Fred Trump lahir di New Jersey tahun 1905. Ayahnya yang datang ke sini (Amerika) dari Swedia sejak kecil, memiliki sebuah restoran yang lumayan sukses, namun dia juga seorang peminum berat, dan dia meninggal saat ayah saya berusia 11 tahun,” aku Trump di otobiografinya.
Baca juga: Trump dan Diskriminasi terhadap Imigran
Namun, Trump “meralatnya” lewat kicauan Twitter-nya tanggal 6 September 2015 kala bicara soal isu imigran. “Kakek saya tak datang jauh-jauh dari Jerman untuk melihatnya diambilalih oleh para imigran. Takkan pernah terjadi dalam pengawasan saya,” kata Trump.
Terlepas dari soal itu, Friedrich kecil hidup dengan ekonomi pas-pasan. Sejak usia delapan tahun Friedrich sudah ditinggal mati sang ayah karena penyakit paru-paru kronis. Untuk membiayai ekonomi keluarga dan menutup utang biaya perawatan sang ayah, sang ibu dibantu lima dari enam anaknya menjadi buruh tani di sebuah ladang anggur.
Di usia 14 tahun, Friedrich dikirim ibunya untuk meninggalkan pekerjaan buruh kasar menjadi pegawai magang di sebuah tempat pemangkas rambut. Dua tahun kemudian menjelang usia wajib militer, Friedrich mengepak koper dan merantau ke Amerika.
“Alasan apa yang mendorong Friedrich Trump meninggalkan Jerman ke Amerika masih buram. Mungkin dia terkesan melihat banyaknya iklan tentang perusahaan-perusahaan Amerika yang tersebar di koran-koran lokal; atau mungkin karena ingin menyusul kakaknya yang bermigrasi ke New York setahun sebelumnya,” tulis Sidney Plotkin dalam Veblens America: The Conspicuous Case of Donald J. Trump.
Baca juga: Ada Trump di Sudut Ring Mike Tyson
Friedrich bertolak ke Amerika membonceng kapal SS Eider pada 7 Oktober 1885. Setibanya di New York 12 hari kemudian, Friedrich menumpang di rumah kakak perempuannya, Katharina, dan suaminya Fred Schuster.
Friedrich diterima bekerja sebagai pegawai pemangkas rambut milik sesama imigran Jerman. Namun pada 1891, ia pindah ke Seattle. Berbekal tabungan 600 dolar Amerika hasil enam tahun jadi pemangkas rambut dan bantuan dana dari keluarganya, Friedrich mencoba peruntungan di bisnis restoran dengan membuka “The Dairy Restaurant” di wilayah dengan sejumlah kasino dan rumah bordil.
Restoran itu bukan restoran dengan sajian makanan biasa. Ia bak rumah bordil dengan suguhan beragam minuman keras plus ruangan-ruangan khusus untuk disewa para pekerja seks komersil (PSK) dan pelanggan-pelanggan mereka.
Friedrich lalu mengubah namanya menjadi Fred, kependekan dari Frederick, untuk bisa lebih menyesuaikan diri dengan para pelanggannya. Setahun berselang, ia mengajukan kewarganegaraan Amerika lantaran status kewarganegaraan Jermannya dicabut gegara dianggap mangkir dari wajib militer.
Perintis Kerajaan Properti Korban Pandemi
Fred memulai bisnis propertinya setelah menjual The Dairy Restaurant yang merugi pada 14 Februari 1893. Ia melirik peluang bisnis properti di Monte Cristo, Washington seiring munculnya demam tambang emas. Fred ogah latah mencari emas, namun ia berambisi membuka restoran lagi dan hotel di dekatnya mengingat Monte Cristo bakal didatangi lebih banyak pemburu emas.
Namun Fred kehabisan modal untuk membeli propertinya karena sebelum menuju Monte Cristo, ia menginvestasikan dana penjualan aset The Dairy Restaurant dan uang warisan ibunya dengan membeli 16 hektar lahan seharga 200 dolar di Dataran Tinggi Pine Lake, dekat kota Sammamish, Washington. Pembelian lahan pada 24 Februari 1893 itu menjadi titik nol kerajaan bisnis yang kelak dilanjutkan sang cucu Donald Trump.
Baca juga: Donald Trump dan Tiara Ratu Inggris Penolak Bala
“Areanya sudah memancing banyak minat para spekulan lahan, di mana tersebar bocoran info bahwa karena lahannya berpotensi jadi lahan bisnis kayu hutan, atau lahannya kaya akan mineral atau karena akan jadi jalur keretaapi, lahan ini akan jadi sangat bernilai. Ini menjadi bab pembuka yang baru bagi kehiupan Frederick Trump,” ungkap Blair.
“Sebelumnya lahan itu milik (perusahaan) Northern Pacific Railroad yang mengklaimnya setelah mendapat banyak subsidi dari pemerintah federal selama tiga dekade sebelumnya. Namun karena bangkrut, lahan-lahannya dijual dan Trump bisa membelinya dengan harga murah seharga 200 dolar atau lima dolar per ekarnya,” lanjutnya.
Setelah itu, Fred melirik Monte Cristo karena tergiur dengan sebuah lahan dekat stasiun keretaapi. Sayangnya, ia kekurangan modal lantaran lahan itu dibanderol seribu dolar per ekarnya oleh Nicholas Rudebeck, pemiliknya yang juga imigran Jerman.
Skenario licik pun dilancarkan Fred. Diungkapkan Plotkin, Fred mengajukan Gold Placer Claim atau Klaim Patok Tambang Emas, aturan dalam konstitusi federal Amerika yang memberikan hak mineral di atas sebuan lahan publik. Fred menskenariokan bahwa dia menemukan emas di bawah timbunan lahan milik Rudebeck itu sehingga diperbolehkan mengklaim lahan itu tanpa membayar sepeser pun.
“Di masa itu ia bukan satu-satunya yang menipu. Monte Cristo adalah kota yang dipenuhi klaim-klaim lahan ilegal. Demi mendapatkan sesuatu tanpa modal apapun di Monte Cristo, banyak orang yang memanfaatkan klaim patok emas itu, tak peduli akan rasa kekhawatiran bakal dipersekusi,” imbuh Plotkin.
Baca juga: Trump dan Nasib Tragis Raja Inggris yang Dimakzulkan
Dengan memanfaatkan modal 125 dolar, ia memulai pembangunan properti di lahan yang ia klaim. Ia memulainya dengan membeli lima ribu kaki kubik kayu dari Monte Cristo Mining Company untuk membangun pondok penginapan yang potensial bagi para pemburu emas.
“Dengan pundi-pundi keuntungan dari properti penginapan itu, akhirnya ia bisa memiliki lahan itu secara legal pada Desember 1894. Itulah batu pijakan Kerajaan Trump yang sudah didirikan pada 1893 dengan bisnis yang mulanya tidak 100 persen legal,” singkap Thomas Pentzek dalam King of Debt: Businessman Donald J. Trump.
Dari situ, gurita bisnisnya merambah ke Kanada. Ia membuka sebuah restoran di Klondike. Bermitra dengan Ernest Levin, ia kemudian mendirikan hotel besar The New Arctic di Bennett pada Mei 1898. Kota-kota itu juga tengah demam perburuan emas.
Fred menyempatkan diri mudik ke Jerman pada 1901. Di kampung halamannya, Fred melepas masa lajang dengan mempersunting Elisabeth Marie Christ, gadis tetangga adiknya, pada 1902. Elisabeth kemudian dibawanya ke Amerika. Tiga tahun berselang, Elisabeth melahirkan Frederick Christ Trump, ayah Donald Trump.
Baca juga: Donald Trump anntara Bebek dan Kartu-Truf
Fred Trump terus memperluas kerajaan propertinya. Tak hanya di pesisir barat Amerika dan Kanada, kerajaan itu juga merambah New York. Real estate pertamanya ia bangun di Jamaica Avenue kawasan Woodhaven. Namun ketika Perang Dunia I berkecamuk, Fred terpaksa “tiarap” lantaran derasnya isu anti-Jerman di Amerika dan Kanada.
“Pada 29 Mei 1918, saat tengah jalan-jalan dengan putranya di Jamaica Avenue, Fred Trump tiba-tiba sakit parah dan sepulangnya ia tak bisa lagi bangkit dari tempat tidur. Keesokannya (30 Mei 1918) ia meninggal. Diagnosa pertamanya ia mengalami pneumonia. Lima hari kemudian hal yang sama dialami kakak iparnya, Fred Schuster. Baru pada akhir musim panas penyebabnya menjadi jelas bahwa mereka berdua menjadi korban di awal pandemi Flu Spanyol,” sambung Blair.
“Fred Trump mengingatnya: ‘Saat jalan-jalan, ayah tiba-tiba bilang merasa sakit. Kami pun pulang dan dia naik ke tempat tidur. Kemudian dia meninggal. Hanya seperti itu kejadiannya. Sangat tiba-tiba. Buat saya itu seperti mimpi. Saya sedih melihat ibu tak berhenti menangis’,” tambahnya.
Flu Spanyol di Amerika mulai muncul pada Maret 1918 di kalangan militer. Bulan-bulan berikutnya pandemi akibat virus H1N1 itu mulai menyebar di tengah masyarakat sipil. Presiden Woodrow Wilson pun tak luput dari terjangannya. Hingga 1919, total kematian di Amerika mencapai 657 ribu jiwa dan kakek Donald Trump salah satunya.
Baca juga: Penjelajahan Antariksa dari JFK hingga Donald Trump
Sepeninggalnya, Fred mewariskan harta senilai USD31.359 (USD588.207 kurs 2020) dalam bentuk uang, aset, maupun saham. Bisnis propertinya lantas dilanjutkan istri dan putranya dengan mendirikan Elizabeth Trump & Son pada 1923. Lima dekade berselang, tongkat estafet bisnisnya dilanjutkan Donald Trump dengan mengubah nama perusahaan menjadi The Trump Organization.