Masuk Daftar
My Getplus

Seputar Deklarasi Balfour

Aktivis pro-Palestina merusak lukisan Lord Balfour, pejabat Inggris yang dianggap bertanggungjawab mendasari pendudukan zionis di tanah Palestina.

Oleh: Randy Wirayudha | 15 Mar 2024
Lord Arthur James Balfour di Hebrew University of Jerusalem pada 1925 (Library of Congress)

SOSOK berkumis putih dan rambut berwarna senada itu duduk dengan bangganya sembari memegang sebuah buku besar di pangkuannya. Penampakannya begitu parlente dengan setelah jas hitam dan jubah merah darah. Dialah Lord Arthur James Balfour yang diabadikan dengan cat minyak di atas kanvas berdimensi 184 x 143 centimeter oleh pelukis Yahudi asal Hungaria, Philip Alexius de László.

Karya László bertajuk “Arthur James Balfour, 1st Earl of Balfour, KG, OM, PC, Prime Minister and Philosopher” dari tahun 1914 itu sebelumnya terpampang di dinding Trinity College di kompleks Universitas Cambridge, Inggris. Akan tetapi pekan lalu, 8 Maret 2024, menjadi sasaran vandalisme. Lukisan potret Lord Balfour itu dirusak dengan cat semprot merah dan disobek dengan benda tajam oleh salah satu aktivis pro-Palestina dari kelompok Palestine Action.

Aksi mereka, kata laman mereka pada tanggal yang sama, didorong oleh serangkaian genosida yang dilakukan Israel sejak Oktober 2023 yang hingga lebih dari 150 hari menewaskan sekitar 30 ribu warga Palestina di Jalur Gaza dan Tepi Barat.

Advertising
Advertising

Baca juga: Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben, Maestro dari Jalur Gaza

Lukisan Balfour disasar karena dianggap tokoh itu berperan besar dalam memberi karpet merah bagi berdirinya negara zionis Israel lewat Deklarasi Balfour pada 1917. Mereka juga memprotes karena pemerintah Inggris terus memberi lampu hijau bagi supplier senjata Inggris, Elbit Systems, untuk terus menyuplai senjata pada Israel sekaligus menjadikan warga Palestina sebagai korban percobaan senjata baru mereka.

“Arthur Balfour yang saat itu menteri luar negeri (Inggris) mengeluarkan deklarasi yang menjanjikan pembentukan tanah nasional bagi orang Yahudi di Palestina, di mana mayoritas penduduk aslinya bukanlah Yahudi. Ia memberikan tanah Palestina, tanah yang tak semestinya ia serahkan. Sementara Inggris ikut membakar desa-desa penduduk asli, melakukan pembunuhan, penyiksaan, hingga pembersihan etnis demi memenuhi janjinya kepada kaum zionis,” bunyi potongan pernyataan mereka di laman resminya, 8 Maret 2024.

Lukisan Lord Balfour karya László yang menjadi sasaran vandalisme (palestineaction.org)

Di Balik Deklarasi Balfour

Di atas secarik kertas dengan kop surat “Foreign Office” (Kementerian Luar Negeri Inggris) itu, tertulis surat deklarasi dengan mesin ketik tertanggal 2 November 1917. Dari kalimat pembukanya begitu terang bahwa surat itu ditujukan kepada pemimpin komunitas Yahudi Inggris, Lord Walter Rothschild, sebagai bentuk simpati dan dukungan formal terhadap aspirasi zionis.

“Pemerintah kerajaan mendukung pembentukan di Palestina sebuah rumah (tanah, red) nasional untuk orang-orang Yahudi, dan akan memberikan upaya terbaiknya untuk memfasilitasi pencapaian tujuan ini, sudah menjadi jelas untuk dimengerti bahwa tidak akan ada hal yang dilakukan yang menimbulkan prasangka terhadap hak beragama komunitas non-Yahudi yang ada di Palestina, atau hak dan status politik orang Yahudi di negeri lain,” bunyi inti surat deklarasi itu yang ditutup dengan tanda tangan Lord Balfour.

Surat yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour itu menjadi dasar para penyokong zionisme seperti Chaim Weizmann si Presiden Organisasi Yahudi Dunia atau Keluarga Rothschild mendirikan fondasi negara zionis Israel, kendati baru terwujud pada 1948. Deklarasi Balfour juga menjadi milestone tersendiri dalam dukungan Inggris terhadap eksistensi komunitas Yahudi di tanah Palestina sejak 1840-an yang diawali inisiatif Menlu Inggris Lord Henry Palmerston.

Baca juga: Theodor Herzl, Orang di Balik Negeri Zionis

Semasa Perang Dunia I (1914-1918), Weizmann turut mendukung upaya Inggris berperang melawan Kesultanan Turki Utsmaniyah yang kebetulan sudah empat abad menguasai tanah Palestina dan Mesir. Melalui anggota kabinet Inggris yang juga simpatisan sekular Yahudi, Herbert Samuel, keluarlah memorandum “The Future of Palestine” pada Februari 1915 sebagai dukungan awal gerakan zionisme.

“Lalu pada Perjanjian (Rahasia) Sykes-Picot yang digagas diplomat Prancis dan Inggris, Mark Sykes dan François George-Picot pada 1916, di mana perjanjiannya berisi pemisahan wilayah Arab ke pemerintahan kolonial Inggris dan Prancis apabila mengalahkan Turki Utsmaniyah dalam Perang Dunia I,” tulis Fred John Khouri dalam The Arab-Israel Dilemma.

Pada Februari 1917, kelompok gerakan zionis mulai melancarkan negosiasi-negosiasi yang lebih formal dengan pemerintah Inggris. Pasalnya, masih terdapat beberapa penolakan terhadap tuntutan-tuntutan kaum zionis dari pihak Amerika, Prancis, dan Italia. Akan tetapi Inggris bersikeras mendukung zionisme. Hingga keluarlah Deklarasi Balfour yang dirumuskan bersama oleh Lord Balfour, Lord Rothschild, dan Weizmann, di mana sepekan kemudian deklarasi itu mulai dipublikasikan kepada media-media massa Inggris.

Salinan Deklarasi Balfour (kiri) & pemimpin komunitas Yahudi Inggris, Lord Lionel Walter Rothschild

Sejumlah reaksi dari berbagai pihak pun mengudara. Terutama setelah terjadi palagan-palagan menentukan di front Palestina Selatan yang dimenangi Inggris, seperti Pertempuran Beersheba (31 Oktober 1917), Pertempuran El Mughar (13 November 1917), dan Pertempuran Yerusalem (17 November-30 Desember 1917).

“Pemerintah Inggris, termasuk (Menteri Perang, Winston) Churchill menegaskan bahwa deklarasi itu tidak berniat mengubah segenap (tanah) Palestina menjadi tanah nasional Yahudi melainkan sebuah rumah nasional yang dibentuk di dalam Palestina. Emir Faisal, Raja Suriah dan Irak membuat kesepakatan tertulis dengan Weizmann, di mana mereka akan berupaya menjalin sebuah hubungan damai antara masyarakat Arab dan Yahudi di Palestina,” ungkap Jay Sekulow dalam Unholy Alliance: The Agenda Iran, Russia, and Jihadists Share for Conquering the World.

Sementara itu, komunitas Muslim dan Kristiani lokal menolak Deklarasi Balfour, terlepas kemudian tanah Palestina dikuasai Inggris lewat Pemerintahan Mandat Palestina. Saat massa Komisi Zionis menggelar parade dalam rangka perayaan setahun Deklarasi Balfour dengan mengusung panji putih berikut simbol Bintang Daud berwarna biru, Musa al-Husayni yang mewakili delegasi Asosiasi Muslim-Kristiani memprotes deklarasi itu kepada sejumlah komisioner pemerintahan mandat dan gubernur militer Roland Storrs.

“Kemarin kami menyaksikan massa Yahudi mengusung spanduk-spanduk di jalan-jalan yang menyakiti hati dan jiwa. Mereka mengklaim bahwa Tanah Suci leluhur kami yang didiami bangsa Arab selama berabad-abad dan mempertahankannya dengan nyawa, sekarang diakui sebagai rumah nasional mereka. Kami bangsa Arab, baik muslim dan Kristiani selalu bersimpati atas persekusi yang dialami orang-orang Yahudi di banyak negara tapi ada perbedaan antara simpati dan menerima klaim tanah nasional mereka,” bunyi protes Al-Husayni, dikutip Bernard Wasserstein dalam The British in Palestine: The Mandatory Government and Arab-Jewish Conflict, 1917-1929.

Baca juga: Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina

Dari sejumlah protes dan reaksi negatif terhadap deklarasi itu, pemerintah Inggris akhirnya membentuk Komisi Palin untuk Persoalan Palestina pada Mei 1920 yang dipimpin Mayjen Sir Philip Palin. Komisi itu mencatat sejumlah keresahan penduduk Arab di Palestina terhadap arogansi dan provokasi-provokasi para pendatang Yahudi dari Eropa. Namun, rangkuman laporannya pada Agustus 1920 tak pernah dipublikasikan.

Terlepas beragam konflik pendatang Yahudi dengan masyarakat Arab yang kemudian terjadi dan hingga Perang Dunia II pecah, “tujuan” Deklarasi Balfour akhirnya tercapai. Dua tahun pascaperang, Inggris menyerahkan pemerintahan mandat Palestina kepada Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Pada sidang Majelis Umumnya bulan November 1947, PBB menghendaki tanah Palestina dibagi menjadi dua negara: untuk bangsa Arab Palestina dan para imigran Yahudi.

Namun pada pada 14 Mei 1948, David Ben-Gurion mendeklarasikan berdirinya negara Israel secara sepihak. Langkah tersebut didukung dan diakui Amerika Serikat dan Uni Soviet. Ketika Liga Arab menolaknya, pecahlah Perang Arab-Israel (15 Mei 1948-10 Maret 1949). Seiring itu pula tanggal 15 Mei dikenal sebagai permulaan Hari Nakba, di mana ratusan ribu penduduk Palestina terusir dari tanah tempat tinggal mereka.

Menurut Benny Morris dalam Israel’s Border Wars, 1949-1956: Arab Infiltration, Israel Retaliation, and the Countdown to the Suez War, di hari pertama saja, 15 Mei, sebanyak 250-300 ribu orang Arab-Palestina harus terusir ke Mesir, Lebanon, Suriah, dan Yordania. Sejak saat itu pula, tanah Palestina dijajah Israel dan terus diduduki meski kemudian negara Palestina mendeklarasikan kemerdekaannya pada 15 November 1988.

Baca juga: Di Balik Kabut Deklarasi Kemerdekaan Palestina

TAG

palestina israel inggris

ARTIKEL TERKAIT

Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno Roket Rusia-Amerika Menembus Bintang-Bintang Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Selintas Hubungan Iran dan Israel Ada Rolls-Royce di Medan Laga Rolls-Royce Punya Cerita Tepung Seharga Nyawa Maqluba Tak Sekadar Hidangan Khas Palestina Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina