Irjen Pol. Ferdy Sambo, mantan Kadiv Propam Polri, ditetapkan sebagai tersangka pembunuhan Brigadir J atau Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat. Dia dikenakan Pasal 340 subsider Pasal 338 juncto Pasal 55 juncto 56 KUHP dengan ancaman maksimal hukuman mati, penjara seumur hidup, atau penjara 20 tahun.
Dalam sejarah Kepolisian, sudah pernah terjadi perwira tinggi Polri terancam hukuman mati, yaitu Brigadir Jenderal Pol. Raden Soegeng Soetarto.
Soegeng Soetarto lahir di Jatilawang, Purwokerto, 11 Juni 1918. Pada masa perang kemerdekaan, dia menjadi anggota milisi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia), ketua Partai Buruh Kutoarjo, dan Wakil Kepala Polisi Kutoarjo. Dia kemudian memimpin Kepolisian di Semarang.
Baca juga: Mengadili Jenderal Polisi
Dalam Revolusi Nasional 1945 di Semarang, Moehkardi menerangkan bahwa untuk mengimbangi kekuatan pasukan Sekutu, pihak Indonesia menggabungkan seluruh potensi tempur di Semarang ke dalam kesatuan Polisi dengan status sebagai Polisi Tituler. “Dengan cara demikian, pada waktu itu di Semarang bisa tersusun pasukan polisi sebesar empat kompi di bawah pimpinan Komisaris Polisi Soetarto,” tulis Moehkardi.
Mayjen TNI (Purn.) Soehario Padmodiwirio dalam Memoar Hario Kecik, menilai Soetarto sebagai pejuang 1945 yang jujur, seorang intelektual berprinsip yang konsekuen. “Karena itu Bung Karno memberi kepercayaan penuh kepadanya. Ia ditugaskan di bidang intelijen. Dalam rangka penugasannya itulah saya kenal dia. Pernah kami berdua bertugas mengawal Bung Karno ke luar negeri: Tokyo, Wina, Paris, dan Roma,” kata Suhario.
Baca juga: Meringkus Loyalis Sukarno
Menurut Ken Conboy dalam Intel: Menguak Tabir Dunia Intelijen Indonesia, Soegeng Soetarto, mantan Kepala Intelijen Kepolisian merupakan seorang pendukung setia Sukarno, sehingga dia diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung (DPA), suatu badan penasihat presiden yang berpengaruh.
Kombes Pol. Soetarto menjadi anggota DPA dari Kepolisian menggantikan Kombes Pol. Moehammad Jasin, Bapak Brimob Indonesia.
Selain itu, Soetarto juga menjabat Kepala Staf Badan Pusat Intelijen (BPI) yang dibentuk berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 8 Tahun 1959 tanggal 10 November 1959. BPI dipimpin oleh dr. Subandrio. BPI disebut berada di balik isu dokumen Gilchrist dan Dewan Jenderal yang akan melakukan kudeta.
Karier Soetarto di Kepolisian berakhir setelah peristiwa Gerakan 30 September 1965. Dia ditangkap pada 1966. Dia disebut telah dibina oleh Pono dari Biro Chusus PKI.
Baca juga: Mengapa PKI Berjaya?
Menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, tidak aneh jika beberapa personel militer, bahkan perwira-perwira tinggi, menyokong PKI karena partai ini dengan penuh semangat mendukung setiap kampanye militer utama yang dilancarkan Sukarno. Selain mendukung kampanye melawan pemberontakan DI/TII, PRRI, dan Permesta, PKI juga menyokong perebutan Irian Barat dari Belanda pada 1962 dengan kekuatan militer dan konfrontasi melawan Malaysia yang dimulai pada 1963. PKI memperoleh banyak penghormatan di kalangan perwira sebagai kekuatan patriotik dan pro-Sukarno yang berhasil menggalang dukungan masyarakat untuk peperangan yang dilancarkan angkatan bersenjata. PKI tampak sebagai partai yang disiplin dan bertanggung jawab.
“Pendapat mantan direktur BPI, Brigjen Pol. Soetarto barangkali bisa dianggap mewakili pandangan kebanyakan pejabat pro-Sukarno. Dalam sidang Mahmilub dia mengakui mempunyai rasa hormat yang tinggi terhadap PKI,” tulis Roosa.
Baca juga: Rekaman Sidang Letkol Untung di Mahmilub
Soetarto disidang di Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 1973. Subandrio dihadirkan sebagai saksi. Namun, dalam persidangan, Subandrio malah menyudutkan Soetarto.
“Subandrio, atasan langsung Soetarto, mengatakan dalam kesaksiannya bahwa dia tidak kenal tertuduh secara akrab. Hubungan dengannya sebatas karena diperintahkan Bung Karno,” kata Suhario.
Istri Subandrio, dr. Hurustiati, kemudian datang ke rumah istri Soetarto, R.A. Maria Theresia Moesmariniwiati. Dia membawa bouquet bunga untuk meminta maaf, “Jeng, maafkan ya jeng, kejadian kemarin. Ini semua masalah politik tinggi. Harap jeng mengerti, ya jeng.”
Akhirnya, Mahmilub memutuskan Soetarto bersalah karena telah memberikan kesempatan kepada pihak lain untuk menggulingkan pemerintahan yang sah. Hakim menjatuhkan hukuman mati kepada Soetarto.
Baca juga: Omar Dani Menunggu Hari Eksekusi
Menurut John Roosa, mungkin dia yakin akan dijatuhi hukuman mati (dan memang benar), oleh karenanya dia tidak merasa perlu terlalu berhati-hati dalam mengungkapkan rasa hormatnya kepada PKI. Menurut pandangannya, dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, PKI memiliki nilai-nilai ketekunan, tidak mementingkan diri sendiri, berkorban untuk kepentingan umum dan partai. “Misalnya, kendaraan-kendaraan untuk anggota DPR atau sebagian anggota PKI, tidak diberikan kepada orang yang bersangkutan, tapi di-pool lalu partai menentukan siapa yang boleh pakai,” kata Soetarto.
Roosa menyebut Soetarto, yang bekerja di bawah Wakil Perdana Menteri I Subandrio, merupakan bete noire (dari Prancis yang secara harfiah berarti “bangsat hitam”, dalam konteks ini berarti orang yang sangat dibenci) bagi klik Soeharto.
Pada 1980-an, hukuman Soetarto bersama Subandrio dan Omar Dani, mantan Kepala Staf Angkatan Udara, diubah mejadi hukuman seumur hidup. Istri mereka kemudian mengajukan grasi. Presiden Soeharto memberikan grasi pada 2 Juni 1995.
Soetarto, Subandrio, dan Omar Dani bebas pada 15 Agustus 1995.*