Masuk Daftar
My Getplus

Evie Poetiray dan Dukungan Kemerdekaan Indonesia di Belanda

Evie Poetiray ambil bagian dalam perlawanan terhadap pendudukan Nazi Jerman di Belanda. Setelah berakhirnya Perang Dunia II, dia menyuarakan dukungan untuk kemerdekaan Indonesia.

Oleh: Amanda Rachmadita | 17 Agt 2024
G.E. (Evie) Poetiray aktif menyuarakan dukungan untuk kemerdekaan Indonesia di Belanda. (Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950).

RIBUAN orang berkumpul di Market Hall Amsterdam, Belanda pada 2 Februari 1946. Selain orang Indonesia, tak sedikit juga penduduk Belanda yang ambil bagian dalam aksi mendukung kemerdekaan Indonesia. Setelah kemenangan Sekutu pada Perang Dunia II, Belanda melihat peluang untuk kembali menguasai Indonesia yang telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Hal ini tentu ditentang oleh orang-orang Indonesia yang kini memiliki hak untuk menentukan sendiri nasib bangsanya.

Perlawanan terhadap Belanda tak hanya terjadi di Indonesia, orang-orang Indonesia di luar negeri juga bersuara dan melakukan aksi untuk mempertahankan kemerdekaan. Salah satunya adalah G.E. (Evie) Poetiray. Wanita kelahiran Surabaya, 3 Juli 1918 itu aktif dalam berbagai kegiatan untuk mendukung kemerdekaan Indonesia di Belanda.

Menurut Jan A.B. Jongeneel dalam Ontmoeting van protestantse christenen met andere godsdiensten en geloven (1917-2017), dalam pertemuan massal yang diselenggarakan di Market Halls Amsterdam pada 1946, Evie menyampaikan pidato, di mana dia mengajukan sebuah pertanyaan penting tak hanya kepada orang-orang yang hadir di acara tersebut, tetapi juga kepada rakyat Belanda, parlemen Belanda, dan pemerintah Belanda. “Rakyat Belanda, apakah kalian bersedia untuk mengakui hak menentukan nasib sendiri rakyat Indonesia 100%?”

Advertising
Advertising

Baca juga: 

Belanda Melarang Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia

Evie dikenal aktif menyuarakan isu-isu kemanusiaan. Selain memperjuangkan kemerdekaan, dia juga ikut serta dalam gerakan perlawanan terhadap Nazi. Sejarawan Harry A. Poeze menulis dalam Di Negeri Penjajah: Orang-orang Indonesia di Negeri Belanda 1600-1950, calon analis kimia yang pernah menjadi pengurus organisasi Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi) itu membantu gerakan perlawanan bawah tanah terhadap pendudukan Nazi Jerman di Belanda pada 1940-an.

Pada saat itu, Evie kerap dilibatkan dalam kegiatan Perhimpunan Indonesia dan di sini pula dia mulai membaca surat kabar-surat kabar ilegal dan mendiskusikannya. Diskusi tak hanya dilakukan orang-orang Indonesia, organisasi ini juga kerap menggelar diskusi bersama orang Belanda yang sepaham. “Setelah teruji dan dapat dipercaya, Evie Poetiray mendapat tugas mengambil dan membagikan majalah-majalah ilegal. Termasuk juga mencari alamat-alamat persembunyian,” tulis Poeze. Tugas berbahaya ini umumnya dilakukan wanita, sebab gerak-gerik wanita dianggap tidak begitu menimbulkan kecurigaan.

Evie Poetiray (kanan) berfoto bersama Toeti Soedjanadiwirja (kiri) dan Soetiasmi Soejono (tengah). (Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950).

Bagi Perhimpunan Indonesia, Evie merupakan penghubung penting dengan Indonesische Christen Jongeren (Pemuda Kristen Indonesia atau ICJ), karena di ICJ dia menduduki jabatan pengurus. Selain itu, di masa pendudukan Nazi Jerman di Belanda, ICJ menjadi salah satu organisasi yang diizinkan terus melakukan kegiatan, dan dipergunakan sebagai wadah kontak orang Indonesia.

Menurut Jongeneel, selama perang, para anggota ICJ aktif dalam dua hal; pertama dalam kerja sama rahasia dengan gerakan bawah tanah, dan yang kedua yaitu berpartisipasi dalam mendiskusikan masa depan bangsa Indonesia yang kala itu menjadi wilayah koloni Belanda. Pertemuan-pertemuan tersebut biasanya diatur oleh Evie Poetiray dan M. Siantoeri, yang kemudian menjadi suaminya. Tak hanya dihadiri oleh para anggota ICJ, pertemuan tersebut juga terbuka untuk semua orang Indonesia, termasuk mereka yang bukan anggota ICJ.

Baca juga: 

Akhirnya Belanda Mengakui Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945

Pada November 1943, Evie menjadi salah satu perwakilan Indonesia dalam pertemuan yang diadakan oleh kalangan progresif dan Perhimpunan Indonesia. Poeze menulis pokok pembicaraan dalam pertemuan yang diselenggarakan di gedung Maartenshuis, Doorn itu adalah tentang status Indonesia di masa depan berdasarkan konsep nota yang dibuat oleh Slotemaker de Bruine. Selain Evie, perwakilan Indonesia dalam pertemuan tersebut adalah Daroesman, Soehoenan Hamzah, Rasono, Joesoef Moedadalam, Tajibnapis, Tahi Tobing, dan Soetiasmi Soejono. Sementara dari pihak Belanda yang hadir yaitu tiga serangkai Stufkens, Verdoorn, dan Slotemaker de Bruine, ditambah dengan kaum sosial-demokrat W. Drees dan W. Middendorp, Dr. Caron, tokoh komunis A.J. Koejemans, dan pakar ekonomi kolonial Prof. G. Gonggrijp.

Kekalahan Nazi Jerman yang berarti berakhirnya pendudukan atas Belanda tak menghentikan kesibukan Evie Poetiray. Bersama orang-orang Indonesia lainnya di Belanda, dia kini fokus pada perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejumlah kegiatan untuk mendukung kemerdekaan Indonesia diadakan. Tak hanya menyampaikan pidato di Market Hall Amsterdam yang diperkirakan dihadiri oleh 20.000 orang, Evie juga menjadi pembicara di sejumlah pertemuan pada 1946, di mana dia membahas kondisi Indonesia yang telah merdeka, tetapi hendak dikuasai kembali oleh Belanda.

Evie Poetiray (tiga dari kiri) menjadi salah satu pengurus Roekoen Peladjar Indonesia (Roepi) di Belanda pada tahun 1941 bersama Maroeto Daroesman, Soerjono, Daliloeddin, Ticoalu, Siantoeri, Djalal Moechsin. (Harry A. Poeze, Di Negeri Penjajah: Orang Indonesia di Negeri Belanda, 1600-1950).

Selain itu, Evie juga menjadi salah satu penggagas pendirian sebuah komite kerja dengan nama “Gereja dan Indonesia”. Komite yang didirikan oleh sekelompok kecil pendeta Belanda dan Indonesia, serta para anggota jemaat Gereja Hervormd dan Gereja Gereformeerd itu berpendirian bahwa “ditinjau dari segi susila, kita harus menghapuskan dengan radikal status Indonesia sebagai negeri jajahan, dan di antara bangsa Belanda dan bangsa Indonesia harus ada hubungan yang sifatnya sama derajat dan sukarela,” tulis Poeze. Tugas komite ini di antaranya memberikan pemahaman yang baik kepada kalangan gereja di Negeri Belanda mengenai masalah Indonesia, dan menyelenggarakan “kontak yang sadar dan erat” dengan umat Kristen di Indonesia.

Aktivitas Evie Poetiray yang tak kenal lelah mendukung kemerdekaan Indonesia tak selalu disambut positif oleh orang-orang di Belanda. Sebab, sebagian dari mereka beranggapan bahwa gejolak yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh para pemberontak sehingga Belanda dipandang memiliki tanggungjawab untuk mengembalikan stabilitas keamanan di wilayah tersebut. Meski begitu, perjuangan Evie dan orang-orang Indonesia di masa pendudukan Nazi di Belanda membuka mata orang-orang di sana bahwa seperti halnya Belanda, Indonesia juga berhak menjadi sebuah negara yang merdeka.

Sebuah surat terbuka ditujukan kepada Evie Poetiray dan dimuat dalam Vrij Nederland, jrg 7, 1947, No. 50, 9 Agustus 1947. Penulisnya, Henk J. Lankhorst mengagumi semangat Evie yang tak kenal lelah dalam memperjuangkan kemanusiaan dan perdamaian dunia. “Anda tahu apa itu tirani dan Anda tahu apa arti kamp konsentrasi. Dan dari situlah solidaritas Anda lahir. Sayangnya, sebagian besar orang Belanda hanya menganggap kamp konsentrasi dan tirani itu mengerikan jika itu terjadi pada diri mereka sendiri. Terlepas dari rasa malu dan kekecewaan atas apa yang terjadi saat ini…saya mengatakan kepada Anda dan semua pemuda Belanda yang progresif untuk tidak membiarkan keberanian Anda tenggelam, tetapi ikut melanjutkan perjuangan. Bersama-sama berjuang untuk hukum dan keadilan! Sehingga kita dapat segera bergandengan tangan tanpa kebencian dan rasa malu,” tulis Lankhorst.*

TAG

evie poetiray kemerdekaan indonesia

ARTIKEL TERKAIT

Kala Malcolm X Melawat ke Jalur Gaza Wanita (Tak) Dijajah Pria Sejak Dulu? Komandan Pesindo Bernama Sarwono Sastro Sutardjo Inggris dapat Membakar Lautan Patra Mokoginta Gagal Jadi Raja dan Dibuang Ketua PSI Meninggal di Sukamiskin Nawaksara Ditolak, Terbit TAP MPRS XXXIII/1967 Dua Dekade Kematian Munir dan Jejaknya Sebagai Pejuang HAM Persekusi Ala Bangsawan Kutai Di Balik Lawatan Paus Yohanes Paulus II ke Indonesia (Bagian II)