Belanda Melarang Perayaan Hari Kemerdekaan Indonesia
Belanda melarang perayaan hari kemerdekaan Indonesia di wilayah yang didudukinya. Meski demikian, rakyat tetap merayakannya dengan mengakali larangan tersebut.
KEMENANGAN Sekutu dalam Perang Dunia II memberi kesempatan kepada Belanda untuk kembali menguasai Indonesia yang belum lama memproklamasikan kemerdekaannya. Ketika pasukan Belanda yang membonceng tentara Sekutu kembali ke tanah air, sejumlah upaya dilakukan untuk merebut kembali wilayah jajahannya, salah satunya melarang perayaan kemerdekaan Indonesia di wilayah yang didudukinya.
Tak hanya Belanda, menurut sejarawan Richard McMillan dalam The British Occupation of Indonesia 1945-1946: Britain, the Netherlands and the Indonesia revolution, tantara Inggris (Sekutu) juga mengambil sikap tegas di Jawa dan Sumatra terhadap perayaan ulang tahun pertama proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1946.
“Pada tanggal 12 Agustus, Mayor Jenderal Hedley mengeluaran Instruksi Operasional kepada para komandan bawahannya yang menguraikan kebijakan Inggris tentang Hari Kemerdekaan Indonesia… Hedley memerintahkan para komandan bawahannya untuk mencegah parade, pawai, atau demonstrasi apa pun yang berlangsung di daerah pendudukan Sekutu pada 17 Agustus dengan patroli aktif,” tulis McMillan.
Para komandan harus menginformasikan kebijakan tersebut kepada para pemimpin lokal Indonesia bahwa pawai harus menghindari daerah-daerah yang diduduki Inggris. Selain itu, para prajurit, baik perwira maupun pasukan Sekutu, tidak diizinkan ikut serta dalam perayaan sosial, formal, maupun informal, yang direncanakan sehubungan dengan hari kemerdekaan Indonesia.
Belanda memberlakukan larangan merayakan hari kemerdekaan Indonesia selama masa perang revolusi. A.H. Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia: Pemberontakan PKI 1948 menyebut masyarakat di Purwakarta tak dapat merayakan hari kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1948 karena dilarang pihak Belanda. “Peringatan yang bersifat pertandingan olahraga atau kunjungan ke makam pahlawan juga tidak dapat dilangsungkan,” tulis Nasution.
Tak hanya itu, Belanda juga memutus aliran listrik guna mencegah masyarakat mengikuti siaran radio dari ibu kota Republik Indonesia di Yogyakarta, sehingga malam hari kemerdekaan dilewati dalam keadaan gelap. Namun, hal itu tak menggoyahkan semangat rakyat untuk tetap merayakan hari kemerdekaan, salah satunya dengan membuat bubur merah putih sebagai tanda turut memperingati hari bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Senada dengan Nasution, Pramoedya Ananta Toer, dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia: 1948 menulis Pemerintah Federal Sementara yang dibentuk Belanda mengumumkan bahwa peringatan hari ulang tahun kemerdekaan Republik Indonesia di daerah pendudukan dilarang, kecuali diadakan di dalam ruangan tertutup. “Yang bersifat umum atau terbuka, yang bersifat rapat, pertemuan atau demonstrasi, mengibarkan bendera merah putih dilarang dan tidak akan dapat diizinkan dengan cara bagaimana saja,” tulis Pramoedya.
Berdasarkan pengumuman itu, di Jakarta peringatan hari kemerdekaan Indonesia di pekarangan gedung Republik di Pegangsaan Timur 56 tidak diperbolehkan, kecuali jika diadakan di dalam gedung. Tak hanya melarang perayaan kemerdekaan Indonesia di ruang terbuka, Belanda juga melarang pers mengadakan siaran atau menerbitkan segala sesuatu yang menganjurkan perayaan 17 Agustus.
Tekanan pihak Belanda justru kian membakar semangat rakyat, seperti perayaan hari proklamasi di Bogor yang disesuaikan dengan keadaan. Rakyat mengakali larangan mengibarkan bendera merah putih dengan memasangnya di dinding-dinding rumah. Selain itu, rakyat yang memiliki gambar Presiden Sukarno menggantungkannya di hari yang bersejarah itu. “Yang paling menarik ialah selamatan yang diadakan oleh rakyat. Sesudah dibacakan selawat 1.000 kali dan doa selamat, lalu dihidangkan kue-kue dan bubur merah putih. Rakyat berziarah pula ke makam-makam pahlawan,” tulis Nasution.
Menjelang perayaan ulang tahun keempat kemerdekaan Indonesia, sejumlah surat kabar memberitakan mengenai larangan perayaan hari kemerdekaan di berbagai wilayah yang diduduki oleh Belanda. Dalam koran Belanda, Algemeen Handelsblad, 16 Agustus 1949, dikabarkan larangan tersebut diterapkan Belanda demi kepentingan umum guna mencegah risiko insiden yang mungkin terjadi.
“Pemerintah Belanda di Batavia berharap dapat mencabut larangan pengibaran bendera merah putih sedini mungkin pada tanggal 17 Agustus. Namun, mengingat peristiwa yang terjadi di Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam beberapa hari terakhir, hal ini dirasa belum dapat dilakukan. Pada saat ini hal tersebut dapat menimbulkan insiden, karena telah menjadi jelas bahwa akan memakan waktu beberapa hari sebelum perintah untuk menghentikan permusuhan dipatuhi di mana-mana sedemikian rupa sehingga bahaya kesulitan telah hilang. Karena alasan inilah pemerintah tidak dapat mengizinkan pawai dan demonstrasi.”
Sehubungan dengan larangan tersebut, Susanto Tirtoprodjo yang menjadi bagian dari delegasi Republik Indonesia, mengadakan pertemuan dengan pihak berwenang Belanda untuk mencari jalan keluar. Pada akhir pertemuan, pihak Republik mengeluarkan sebuah komunike yang mengatakan bahwa delegasi Republik telah melakukan segala upaya agar bendera merah putih dapat dikibarkan dan lagu Indonesia Raya dikumandangkan, meski sangat disesalkan faktor-faktor yang menghambat kemajuan perundingan ternyata belum sepenuhnya hilang. Komunike itu diakhiri dengan harapan hari kemerdekaan Indonesia berikutnya dapat dirayakan dalam suasana yang sama sekali berbeda dan bendera merah putih dapat dikibarkan di mana-mana.
Baca juga: Pecah Kongsi Pemuda Pasca Proklamasi
Sementara itu, walau Belanda melarang perayaan hari kemerdekaan Indonesia, di Jakarta perayaan berpusat di gedung delegasi Republik di Gambir Selatan No. 4. Puluhan ribu orang masuk halaman gedung hingga pintu dan jendela mengalami kerusakan. “Dalam pidato kenegaraannya Presiden Sukarno menyatakan bahwa sejak semula bangsa Indonesia menempuh jalan diplomasi untuk melepaskan perjuangannya dari pengepungan politik, dan dengan tegas menempatkan perjuangannya di atas papan percaturan internasional,” tulis Pramoedya Ananta Toer, dkk. dalam Kronik Revolusi Indonesia Jilid V.
Pada 17 Agustus 1949, peringatan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia pun dirayakan oleh seluruh bangsa Indonesia di seluruh dunia, termasuk di Belanda, dan untuk pertama kali diadakan pesta besar-besaran untuk merayakan hari proklamasi kemerdekaan Indonesia di bekas ibu kota Negara Indonesia Timur, Makassar, yang sebelumnya dilarang.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar