Lukisan Saksi Bisu Pembacaan Proklamasi Kemerdekaan
Lukisan karya Henk Ngantung salah satu yang disukai Sukarno. Jadi saksi bisu Proklamasi kemerdekaan karena dipajang di rumahnya sebagai penyambut tamu.
JIKA mencermati foto atau video peristiwa pembacaan teks Proklamasi oleh Sukarno, 71 tahun lalu di Pegangsaan Timur Nomor 56 Jakarta, terdapat sebidang kotak simetris gelap, di belakang Sukarno. Jendela atau daun pintukah? Bukan.
“Baru tahun 2009 saya tahu bahwa bidang kotak hitam itu adalah lukisan yang tergantung di dinding,” terang Mike Susanto, kurator pameran “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan.”
Mikke mengungkapkan visualisasi paling terang mengenai keberadaan lukisan yang tergantung di beranda rumah Sukarno terdapat dalam sebuah video rekaman seorang jurnalis asing yang meliput konferensi pers pertama tentang kemerdekaan Indonesia.
Pada 4 Oktober 1945, Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta untuk kali pertama mengadakan konferensi pers bersama para jurnalis asing yang datang setelah Sekutu mendarat di Tanjung Priok pada September 1945. “Para wartawan itu berasal dari Amerika, Inggris, Belanda, India, dan Tiongkok,” tulis Rosihan Anwar dalam Sejarah kecil ‘petite histoire’ Indonesia Volume 3.
Bagaimana lukisan itu bisa tergantung di dinding rumah Sukarno di Pegangsaan Timur dan menjadi saksi bisu pembacaan teks Proklamasi 17 Agustus 1945?
Sekira tahun 1943, Keimin Bunka Sidosho, lembaga kebudayaan bentukan Jepang, menggelar pameran lukisan dan dihadiri Bung Karno. Dia tertarik dengan lukisan orang berlatih memanah karya pelukis Henk Ngantung. Usai pameran, Sukarno diam-diam mendatangi studio lukis Henk.
“Aku ingin membeli lukisan itu,” ucap Bung Besar tanpa basa-basi.
“Henk belum mau melepasnya karena lukisan itu belum sepenuhnya selesai,” tulis Agus Dermawan T dalam Bukit-Bukit Perhatian.
Kekurangannya di bagian tangan yang menarik tali busur, dan dia butuh model. “Jadikan aku modelnya,” jawab Sukarno. Henk pun tak kuasa menolak.
Maka jadilah tangan Sukarno menjadi model lukisan. Sementara untuk bagian wajah pemanah, Henk mengambil model seorang sastrawan era revolusi bernama Marius Ramis Dajoh. Jadi lukisan karya Henk adalah perpaduan dua model: wajah milik Dajoh dan tangan milik Sukarno.
Lukisan yang dibuat dengan cat minyak di atas selembar triplek berukuran 153x153 cm itu beralih tangan. Sukarno memajang lukisan itu di rumahnya Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, dan terus di sana hingga peristiwa bersejarah pembacaan Proklamasi 17 Agustus 1945.
“Lukisan Henk itu salah satu yang sangat disukai Sukarno, oleh karena itu diletakkan sebagai penyambut tamu di rumah Pegangsaan. Saat ibukota negara pindah ke Yogyakarta, lukisan tersebut turut berpindah,” terang Mikke. Lukisan itu baru dipindah ke Istana Bogor pada 2010.
Kini, saksi bisu pembacaan naskah Proklamasi itu sudah lapuk dimakan usia. Bagian atas di dekat kepala pemanah, sudah habis dimakan rayap. Melukis ulang pada media baru adalah satu-satunya cara untuk menikmati lukisan tersebut.
“Restorasi lukisan Henk itu mahal, butuh ahli khusus, apalagi itu lukisan menggunakan media triplek. Yang terpenting, butuh pelukis yang bisa merestorasi dan bisa memahami teknik goresan khas milik Henk Ngantung,” terang Mikke.
Akhirnya, atas persetujuan pihak Istana Kepresidenan, lukisan berjudul “Memanah” itu dilukis ulang oleh pelukis kontemporer kenamaan, Haris Purnomo. Lukisan aslinya bisa dinikmati dari balik lemari kaca hingga akhir Agustus 2016 di Galeri Nasional Jakarta.
[pages]
Tambahkan komentar
Belum ada komentar