Masuk Daftar
My Getplus

Dulu Rice Estate Kini Food Estate

Soal Food Estate, Prabowo mengaku meniru mantan Dirut Pertamina Ibnu Sutowo. Dulu pernah ada anak perusahaan Pertamina yang urus pangan.

Oleh: Petrik Matanasi | 15 Jan 2024
Ibnu Sutowo, direktur utama Pertamina yang menggagas program ketahanan pangan Rice Estate. (Repro "Saatnya Bercerita")

MENTERI Pertahanan Letnan Jenderal (Purn.) Prabowo Subianto kini tak hanya terkenal karena mendatangkan alutsista baru dari luar negeri saja, tapi juga dalam pengadaan lahan pertanian baru bertajuk Food Estate. Proyek Food Estate adalah program strategis nasional 2020-2024. Seperti alutsista, pangan juga sangat penting dalam pertahanan negara.

Jauh sebelum ada Food Estate, di Indonesia pernah ada proyek mirip yang disebut Rice Estate. Sasaran proyek tersebut juga sama, ketahanan pangan nasional.

“Lumbung padi ini sudah digagas oleh Pak Ibnu Sutowo dari tahun ’70, jadi sudah hampir 50 tahun yang lalu dan ini satu-satunya jalan,” terang Prabowo dalam “Dialog Capres bersama Kadin” pada Jumat, 12 Januari 2024, di Jakarta. Ibnu Sutowo yang dimaksud Prabowo adalah Letnan Jenderal Ibnu Sutowo.

Advertising
Advertising

Rice Estate menjadi keharusan untuk diwujudkan oleh pemerintahan Orde Baru (Orba) yang baru beberapa tahun berkuasa. Selain padi (beras) telah dijadikan makanan pokok bangsa Indonesia, pada era 1970-an muncul krisis pangan di Indonesia.

Baca juga: Kemungkinan yang Terjadi: Prabowo Jadi Menteri Pertahanan

Penyebab krisis pangan itu antara lain rendahnya produksi beras nasional dan belum berhasilnya diversivikasi pangan. Kendati diversifikasi pernah diupayakan pemerintahan Sukarno pada dekade 1960-an, upaya tersebut belum berjalan maksimal. Jagung yang coba digalakkan lewat program Revolusi Makanan Rakyat, tetap tak mampu menggeser konsumsi beras. Akibatnya, beras tetap menjadi pilihan utama dan ini berlanjut pada pemerintahan selanjutnya, Orba.

Konsolidasi politik dan pembenahan ekonomi yang menjadi prioritas di awal Orba berkuasa membuat diversifikasi pangan belum mendapat prioritas. Beras tetap menjadi pilihan utama pangan nasional rezim tersebut. Bahkan, pembangunan pertanian sebagai penopang ketahanan pangan yang digenjot Orba tak lain adalah pertanian padi.

Kendati pemerintah Orba akhirnya berhasil membuat swasembada pangan pada 1984, produksi beras nasional tetap belum mampu mencukupi kebutuhan nasional. Terlebih di masa-masa sebelumnya. Kendati produksi beras terus digenjot, hasilnya tetap lebih tinggi permintaan dibanding supply. Untuk mengatasinya, impor menjadi pilihan pemerintah di samping mulai melancarkan program diversifikasi pangan.

Baca juga: Misi Prabowo dalam Operasi Mapenduma di Papua

Namun, prioritas pertanian tetap pada pertanian padi. Akibatnya, program diversifikasi berjalan amat lamban lantaran kurang perhatian. Diversifikasi pangan yang telah ada pada masyarakat lokal juga semakin “terpinggirkan”.

“Keberadaan sistem kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam yang dimiliki masyarakat adat, khususnya dalam memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri dan berdaulat, saat ini mengalami marginalisasi, proses peminggiran dan pengingkaran. Hal ini disebabkan karena pilihan terhadap politik hukum ketahanan pangan nasional tidak mengakomodasi dan memberi ruang serta tempat bagi masyarakat adat dalam menunjang kehidupan masyarakat. Implikasi pengingkaran terhadap sistem kearifan lokal masyarakat adat dalam politik hukum nasional pada gilirannya berdampak pada terjadinya krisis pangan di berbagai wilayah Indonesia,” tulis Rachmad Syafaat, Guru Besar Hukum Perdata dan Hukum Lingkungan Universitas Brawijaya, dalam Rekonstruksi Politik Hukum Pangan: Dari Ketahanan Pangan ke Kedaulatan Pangan.

Dalam kondisi seperti itulah Direktur Utama Pertamina Ibnu Sutowo mengeluarkan Rice Estate. Program yang dicanangkannya dijalankan oleh PT Palembang Rice Estate, anak perusahaan Pertamina, dan mengambil tempat di Sumatera Selatan (Sumsel).

Baca juga: Prabowo dan Kejanggalan Operasi Mapenduma di Papua

Sumsel merupakan tempat yang tak asing bagi Sutowo. Sebelum Republik Indonesia berdiri, Sutowo ditugaskan di sana sebagai dokter. Revolusi kemerdekaan yang muncul setelah Perang Dunia II usai membuat Sutowo terjun menjadi tentara. Pada 1955-1956, perwira TNI dengan NRP 14738 ini dipercaya menjadi panglima Tentara-Teritorium II/Sriwidjaja yang meliputi Sumsel, Lampung, dan Bengkulu. Setahun kemudian, Sutowo dipercaya memimpin perusahaan minyak negara PT Eksploitasi Tambang Sumatera Utara –yang kemudian menjadi Perusahaan Minyak Nasional (Permina). Ketika perusahaan itu dilebur menjadi Pertambangan Minyak dan Gas Bumi Nasional (Pertamina), Sutowo tetap dipercaya menjadi direktur utamanya.

 “Saya ini adalah seorang dokter, dan saya tidak tahu apa-apa tentang minyak,” aku Ibnu Sutowo dalam biografinya yang ditulis Mara Karma, Ibnu Sutowo: Pelopor Sistem Bagi Hasil di Bidang Perminyakan.

Baca juga: Operasi Darurat Dokter Ibnu Sutowo

Kendati memulai dari nol soal industri minyak, Sutowo berhasil menjalankan Pertamina hingga menjadi besar. Terlebih setelah oil boom pada paruh pertama 1970-an. Dengan banyaknya uang yang dihasilkan dari minyak, Pertamina kemudian membuat banyak anak perusahaan. Banyak di antaranya tak terkait dengan bisnis minyak. Selain Pelita Air Service di bidang transportasi udara dan Restoran Ramayana di New York (kuliner), ada PT Palembang Rice Estate.

PT Palembang Rice Estate itulah yang –beroperasi di Sumsel– menjadi operator program Rice Estate, didukung Brower Agromix Consultani dari Hawaii. Menurut dokumen US Aid berjudul Port and Shipping Study, Vol. I: Economic Base Survey, perusahaan ini pada 1977 sudah berusaha membangun lahan pertanian seluas 20.000 hektar.

“Rice Estate yang dicanangkan oleh Ibnu Sutowo semasa masih menjadi Dirut Pertamina,” catat Abdurrahman Wahid alias Gus Dur dalam Tuhan Tidak Perlu Dibela.

Puluhan ribu hektare lahan dipersiapkan untuk persawahan yang akan dikelola secara mekanis guna menghasilkan pangan tertentu. Lahan yang disiapkan untuk program tersebut berada di Gedung Buruk, sebuah desa di Kecamatan Rantau Bayur, Kabupaten Banyuasin,  sekitar 28 km barat daya kota Palembang. Guna mendukung program tersebut, hampir bersamaan dengan di Palembang dibuat pabrik pupuk PT Pupuk Sriwijaya yang diresmikan oleh Presiden Soeharto.

Baca juga: Foya-foya Bos Pertamina Ibnu Sutowo

Menurut rencananya, tahap pertama dijadwalkan selesai pada 1978 dengan lahan siap garap sekitar 5.000 hektare yang diharapkan menghasilkan 6 ton padi tiap hektar. Rencananya, proyek ini selesai dalam 7 tahun. Proyek itu mencakup pabrik pengolahan beras dan fasilitas penyimpanan dedak. Dedak rencananya hendak dijadikan minyak nabati dan pakan ternak. Pemasarannya akan dilakukan oleh Pertamina.

Namun ketika proyek itu berjalan, Sutowo sudah digantikan Mayor Jenderal Piet Haryono pada Maret 1976. Korupsi di Pertamina yang ramai diberitakan menjadi pangkal pergantian itu. Akibatnya, PT Palembang Rice Estate tidak ada kabarnya lagi.

Kini, jauh setelah program Rice Estate “menguap”, pemerintahan Joko Widodo menggagas upaya serupa lewat Food Estate yang dipimpin Menhan Prabowo. Ada kemiripan antara Rice Estate dan Food Estate, yakni sama-sama membuka lahan baru.

“Proyek food estate di Kalimantan yang menargetkan pembukaan jutaan hektar lahan pangan untuk memenuhi kebutuhan pangan nasional di mata para pengamat terancam gagal dan hanya menghasilkan kerusakan lingkungan,” begitu catatan kritis dari sejarawan ahli pangan dan kuliner Fadly Rahman dalam opininya di Historia.*

TAG

pangan ibnu sutowo prabowo subianto orde baru soeharto

ARTIKEL TERKAIT

Eks Pemilih PKI Pilih Golkar Ledakan di Selatan Jakarta Supersemar Supersamar Sudharmono Bukan PKI Dianggap PKI, Marsudi Dibui Dari Petrus ke Kedung Ombo Soeharto Nomor Tiga, Mendagri Murka pada Lembaga Survei Soeharto Nomor Tiga, Lembaga Survei Ditutup Soeharto, Yasser Arafat, dan Dukungan untuk Palestina Njoo Han Siang, Pengusaha yang Tak Disukai Soeharto