Masuk Daftar
My Getplus

Totalitas Negara dalam Pesta Olahraga Ganefo

Indonesia menggunakan pesta olahraga Ganefo sebagai sarana mempersatukan negara-negara Asia dan Afrika untuk membangun kekuatan baru.

Oleh: Martin Sitompul | 23 Feb 2017
Dari kiri ke kanan: Yusuf Anggara (moderator), Russel Field, Asvi Warman Adam, dan Bonnie Triyana dalam diskusi publik "Ganefo: Politik dan Olahraga dalam Sejarah Indonesia" di Erasmus Huis, Jakarta, 22 Februari 2017. Foto: Nugroho Sejati/Historia.

“On Ward! No Retreat!” Terjang Terus! Pantang Mundur! Demikian semboyan Ganefo (Game of New Emerging Forces) yang begitu populer pada masanya. Tagline itu terus bergaung selama Ganefo diselenggarakan. Ganefo merupakan pesta olahraga terbesar yang pernah diselenggarakan Indonesia tahun 1963.

Perhelatan Ganefo, menurut Russel Field, sejarawan Universitas Manitoba, Kanada, sarat muatan politik. Ganefo jadi momentum bagi Indonesia untuk unjuk diri sebagai pelopor kebangkitan kekuatan baru (New Emerging Forces). Saat itu, Presiden Sukarno memandang, semangat kekuatan baru ini dapat ditransformasikan ke dalam sebuah kompetisi olahraga. Tak ayal, hal ini memantik perhatian serius dari badan olahraga internasional.

“Penyelenggaraan Ganefo menuai reaksi dari badan olahraga dunia. Komite Olimpiade Internasional, yang diwakili presidennya Avery Brundage, misalnya, menganggap Ganefo bertentangan dengan azas olahraga. Indonesia melalui Ganefo berupaya mencampuradukkan olahraga dengan politik,” ujar Russel Field dalam diskusi publik “Ganefo: Politik dan Olahraga dalam sejarah di Indonesia” di Erasmuis Huis, Kuningan, Jakarta Selatan, 22 Februari 2017.

Advertising
Advertising

Kendati demikian, Ganefo berjalan terus dan berlangsung lancar hingga usai penyelengaraan. Sebanyak 51 negara yang melibatkan 2700 atlet menjadi partisipan untuk 20 cabang olahraga. Di akhir kompetisi, Republik Rakyat Tiongkok (RRT) menjadi juara sedangkan Indonesia menempati peringkat tiga.

Menurut Asvi Warman Adam, Ganefo mencatatkan kegemilangan dalam sejarah olahraga di Indonesia. Hal ini bukan ditilik dari pencapaian medali yang diraih Indonesia. Akan tetapi, Ganefo mencerminkan bagaimana segenap lapisan negara turut serta dan antusias dalam mendukung pelaksanaannya. “Bung Karno sangat sungguh-sungguh mempersiapkan Ganefo,” ujar Asvi, sejarawan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

Hal ini dapat dilihat dengan dibangunnya berbagai proyek mercusuar: stadion utama Gelora Bung Karno, komplek olahraga Senayan, hingga patung Selamat Datang di bundaran Hotel Indonesia untuk menyambut atlet-atlet yang berlaga di Ganefo. Sebagai sebuah agenda skala internasional, proses persiapannya berhasil digarap dalam waktu yang relatif singkat, kurang lebih 200 hari.

Prestasi anak negeri pun tak dapat dikesampingkan. Atlet Indonesia berjaya dalam Ganefo, hanya berada di bawah RRT dan Uni Soviet. Mohammad Sarengat adalah salah satu atlet unggulan Indonesia yang begitu disegani pada kompetisi Ganefo.

Dampak sosialnya pun begitu luas. Ganefo terekam baik dalam ingatan bersama masyarakat Indonesia kala itu. Segala hal yang berbau Ganefo melekat dalam kehidupan keseharian.

“Di Sumatera Barat ada kereta api ekspres jurusan Payakumbuh-Padang. Di Demak ada pasar Ganefo. Di Sragen ada jembatan Ganefo. Perangko Ganefo bertebaran. Bahkan Ganefo juga dibubuhkan sebagai nama orang,” jelas Asvi.

Dari aspek eksternal, Ganefo merekatkan hubungan Indonesia dengan berbagai negara. Yang cukup menarik adalah persahabatan yang baik dengan RRT. Ganefo menjadi panggung bagi RRT –yang belum diakui sebagai negara anggota PBB– untuk tampil dalam pentas dunia. Kehormatan itu direspons baik oleh RRT dengan mengirimkan atlet-atlet terbaiknya untuk berlaga di Ganefo. RRT juga membantu membiayai transportasi peserta dari negara-negara Afrika sebesar 18 juta dolar untuk hadir di Jakarta.

“Namun selepas peristiwa 1965, persahabatan itu dirusak oleh pemerintah Orde Baru di bawah rezim Soeharto oleh karena kekeliruan sejarah,” ungkap Asvi.

Meski sebagai kompetisi olahraga, tak semua negara peserta mengirimkan atlet andalannya. Sebabnya, Ganefo bukanlah ajang resmi olahraga internasional. Namun, untuk menghormati undangan Indonesia, beberapa negara mengirimkan wakilnya yang bukan dari atlet profesional. Jepang dan Belanda adalah dua di antaranya.

Meski demikian, citra profesionalitas atlet tiada mengurangi kemeriahan Ganefo. Menariknya, esensi yang terkandung dalam Ganefo kian ramai dengan adanya Ganefo Art Festival: pertunjukan musik dan film.

Menurut Bonnie Triyana, Ganefo merupakan festival dari kekuatan baru bangsa Asia Afrika yang mulai hadir mengimbangi kekuatan-kekuatan lama. Melalui olahraga, Ganefo menjadi upaya untuk mengintegrasikan Indonesia ke dalam pergaulan internasional yang lebih adil dan setara melampaui batas-batas seperti rasialisme dan sektarianisme. Hal ini seiring jalan dengan tujuan Konferensi Asia Afrika tahun 1955 yang kemudian melandasi spirit Ganefo.

“Ganefo bukan sekadar kompetisi olahraga. People to pepole festival. People to people diplomacy,” ujar Bonnie, pemimpin redaksi majalah Historia. “Ini festival yang melibatkan banyak orang. Festival bangsa-bangsa Asia Afrika yang mewakili kekuatan baru.”

TAG

ganefo

ARTIKEL TERKAIT

Ganefo Mengganyang Olimpiade Supeni, Kim Il-sung, dan Ganefo Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian II – Habis) Cerita dari Stadion Kridosono (Bagian I) Kado Manis dari Tionghoa untuk Tenis Indonesia Tionghoa Nasionalis di Gelanggang Bulutangkis Pengungsi Basque yang Memetik Bintang di Negeri Tirai Besi Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Melawan Belanda dengan Renang di Kolam Renang Manggarai Alkisah Niki Lauda Juara F1 Bermodal Setengah Poin