CAK Gepeng begitu menggebu kala menyinggung Bonek, suporter klub Persebaya Surabaya. Selepas kenyang melahap nasi pecel di pinggir jalan dekat Tugu Pahlawan, semangatnya menyala lagi untuk berkisah. “Dari kecil, Mas. Sudah senang Persebaya walau aku kecilnya di Malang,” ujar anggota Bonek yang tinggal di kawasan Tambak Bayan itu kepada Historia.
Gepeng tak segan memperlihatkan t-shirt hijau bertuliskan lirik ikonik chant, Bonek: ‘Persebaya Kami Haus Gol Kamu’ dan kaus jadi atribut fenomena ‘Tret Tet Tet’, sebuah mobilisasi Bonek ke Jakarta untuk final Perserikatan 1987-1988 kontra Persija Jakarta.
“Nah, kalau iki oleh dike’i (ini dikasih) Bobotoh waktu ikut pertandingan tandang ke Bandung,” lanjutnya menunjukkan syal bertuliskan ‘Bonek-Viking’. Dua kelompok suporter itu sejak beberapa waktu lalu bisa beraliansi.
“Dari kecil wes mbonek (sudah jadi Bonek), sudah sering mbolos buat nonton Persebaya di (stadion) Tambaksari (kini Stadion Gelora 10 November). Mulai besar, mulai ikut pertandingan-pertandingan luar kota. Ya termasuk pas ‘Tret Tet Tet!’ ke Jakarta. Pokok’e sering ikut keluar (Surabaya), yo Wani! Sampek Matek (ya berani, sampai mati) bela Persebaya,” tandasnya.
Muasal Bonek
Dari Gepeng-lah Historia bisa bersua salah satu dedengkot Bonek, Andi Kristianto, di sebuah taman depan Kebun Binatang Surabaya (KBS). Seperti Gepeng, pentolan Bonek yang akrab disapa Andie Peci itu juga bukan asal Surabaya, melainkan Madiun.
Fakta itu itu membuktikan Persebaya melekat dan mendarah-daging bagi segenap orang Jawa Timur. “Bonek itu awalnya hanya nilai-nilai saja. Di musim (kompetisi Perserikatan) 1987-1988, ketika itu Suratkabar Jawa Pos yang punya satu istilah Bonek. (Akronimnya) Bondo Nekat atau artinya modal nekat. Awalnya waktu itu nilai-nilai suporter memang diharuskan jadi suporter yang nekat. Waktu itu kan suporter yang berangkat ke Senayan membludak. Lahir juga (fenomena) ‘Tret Tet Tet’,” ujar Andie Peci kepada Historia.
Baca juga: Persebaya dalam Pusaran Masa
Di masa itu, belum lazim suporter tamu datang ke markas tim lawan. Bonek mempelopori suporter ikut datang ke markas tim lawan.
Menukil Arek Bonek: Satu Hati untuk Persebaya karya Nor Islafatun, istilah Bonek pertamakali dicetuskan bos Jawa Pos, Dahlan Iskan, saat melihat banyak fans Persebaya di final Perserikatan 1987-1988 tak bisa masuk stadion lantaran zonder tiket. “Wah, koen iku Bonek, Rek! (Wah, kamu itu modal nekat!)” celetuk Dahlan, dikutip Nor Islafatun.
Namun, pengamat sejarah Persebaya Dhion Prasetya punya pendapat lain soal muasal istilah Bonek. “Waktu itu Ketua DPRD Jawa Timur ngomong sama Pak Purnomo Kasidi (Ketum Persebaya). Dia lihat di bawah hotel tempat dia menginap (di Jakarta) banyak suporter berhamparan di halaman hotel. Dia bilang: ‘Wah, Bonek tenan arek-arek iku!’ Ya maksudnya, nekat tanpa bondo buat menginap. Sejatinya mereka bondo tapi pas-pasan” kata Dhion kepada Historia.
Sementara, istilah ‘Tret Tet Tet” berkelindan dengan mobilisasi oleh Jawa Pos dan beberapa pihak lain di Surabaya untuk memberangkatkan puluhan ribu suporter ke Jakarta menggunakan bus, kereta api, kapal laut, hingga pesawat terbang. Dari upaya mobilisasi mencontoh suporter-suporter di Inggris itu Jawa Pos mendapat feedback oplah yang besar dengan pemberitaan Persebaya dan Bonek.
“Tradisi itu kian masif di tahun-tahun berikutnya. Mereka yang enggak punya modal bisa tetap berangkat karena situasi transportasi saat itu masih relatif longgar ya, tidak seperti sekarang. Contoh, bisa naik kereta sampai ke atas-atas begitu,” sambung Andie Peci.
Baca juga: Sepakbola Gajah untuk Bumi Cendrawasih
Sebelum momen 1988 itu, belum pernah ada suporter terkoordinir di tanah air. “Istilahnya ya pendukung dulu sebutannya ‘Arek’. Ya budaya khas Suroboyo yang dibawa sebagai identitas dan asalnya. Misal, Arek Wonokromo, Arek Tambak Bayan, Arek (Tanjung) Perak,”. Di tahun 1988 itupun baru berupa sebutan. Tapi kalau kita bilang Bonek secara (komunitas) suporter, baru muncul tahun awal 2000-an,” tambah Dhion.
Akur Tanpa Organisasi Terstruktur
Berbeda dari Viking (suporter Persib) atau The Jakmania (suporter Persija), Bonek tak punya organisasi terstruktur. Pun begitu mereka tetap akur dalam beratraksi, berkoreo hingga beryel-yel saat mendukung Persebaya.
“Memang Bonek tidak ada struktur yang tersentralisir. Tapi bahwa ada struktur-struktur (informal) kecil di komunitas, di kota-kota, kabupaten, itu ada. Tapi tidak ada organisasi yang memberi arahan atau instruksi. Dulu pernah dibentuk Arek Bonek 1927 di mana saya ditunjuk presidium-nya. Tapi itu hanya sebatas sampai perjuangan melawan ketidakadilan PSSI saja di 2010,” tambah Andie Peci.
Ketiadaan organisasi membuat Bonek tak punya ketua umum, presiden, apalagi panglima resmi. Untuk mengurus laga kandang dan mengatur bagaimana koordinasi koreo maupun atraksi, lazimnya tiga koordinator informal –yang biasa menempati tribun utara, timur, dan selatan– akan berembuk. Itu berlaku sebatas untuk di stadion. Usai pertandingan, mereka bubar ke kelompok masing-masing.
“Sebenarnya usulan itu pernah diusulkan banyak komunitas, membuat struktur organisasi yang baku. Tapi ada hal yang kita harus pikirkan secara bersama. Karena kan tipikal dan karakter arek-arek Suroboyo berbeda-beda. Ya seperti Perang 10 November (1945) saja, rakyat berjuang tanpa ada struktur,” tutur pria kelahiran Madiun 40 tahun silam itu.
Adanya organisasi, kata Andie Peci, juga akan diikuti beberapa dampak dan potensi negatif. Salah satunya, kekhawatiran dibawa ke arah politik di samping monopoli kekuasaan di bawah satu kepemimpinan. Nantinya, yang paling ditakutkan adalah timbulnya perpecahan, gontok-gontokan akibat dua potensi dampak negatif tersebut.
“Menjadi suporter yang baik itu sederhana: mendukung klubnya dan tidak merugikan klubnya. Kalau semua sudah bisa begitu, struktur tidak dibutuhkan. Cukup menjadi Bonek yang tidak merugikan Persebaya,” jelas Andie Peci.
Meski tanpa organisasi, Bonek bisa berelasi dekat dengan klub. Hal itu tidak muncul begitu saja. “Sebenarnya sudah mulai diawali dengan pengadaan Kartu Persebaya Selamanya. Langsung terafiliasi dengan klub. Untuk saat ini tercatat 55 ribu yang resmi memegang kartu anggotanya walau aslinya jumlah Bonek lebih dari itu,” imbuhnya.
Sebagai pengikat kesetiaan dengan manajemen klub, sambung Andie Peci, sudah lama terjadi komitmen bersama walau tak tertulis. Yang menjadi pegangan Bonek adalah pengaruh besar mereka di hadapan manajemen klub.
“Kami sering kritik tajam, demo besar-besaran terhadap manajemen. Seperti tahun kemarin, kita lengserkan pelatih Iwan Setiawan. Bonek punya posisi bargain, kekuatan kami luar biasa di hadapan manajemen. Padahal dulu Bonek tidak seperti ini. Sikap kritis terbangun setelah adanya perjuangan beberapa dari kami, di masa kritis (Persebaya tidak diakui 2010),” tutup Andie Peci.
Baca juga:
Viking, Antara Lawan dan Kawan
Bobotoh, Suporter Militan yang Patut Dicontoh
Jakmania Setia Mengawal Persija
Jakmania Milik Semua Masyarakat Ibukota