Baiq Nuril, guru honorer di Mataram, Nusa Tenggara Barat menjadi korban pelecehan seksual kepala sekolahnya, Muslim. Namun, Nuril justru divonis bersalah oleh Mahkamah Agung lantaran merekam pelecehan seksual yang dilakukan Muslim via telepon genggam. Nuril diganjar enam bulan penjara dan denda 500 juta rupiah dengan jerat UU ITE. Padahal, Nuril sebelumnya dinyatakan tidak bersalah oleh Pengadilan Negeri Mataram. Sampai hari ini, kasusnya masih bergulir.
Nuril tidak sendiri. Banyak perempuan Indonesia menjadi korban pelecehan seksual yang merupakan salah satu spektrum kekerasan terhadap perempuan (KTP). Laporan Komnas Perempuan tahun 2018 menginformasikan, jumlah kekerasan seksual pada 2017 mencapai 384.446 laporan. Angka itu hanya mencakup kekerasan seksual yang dilaporkan. Sementara, aduan dari para korban yang langsung masuk ke Komnas Perempuan mencapai 1.301 laporan.
“Setiap tahun angkanya meningkat, menunjukkan orang semakin merasa aman untuk melaporkan kasus kekerasan yang mereka alami,” kata Komisioner Komnas Perempuan Mariana Amirudin dalam Konferensi Pers Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di Pacific Place, Selasa (27/11). Meski korban KTP kini lebih berani melaporkan kasus yang mereka alami, payung hukum untuk melindungi perempuan dari kekerasan belum kunjung disahkan.
Baca juga: Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Pasca Peristiwa 1965
Dalam rilisan persnya, Komnas Perempuan mengkritik DPR yang tak kunjung membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual, padahal kasus KTP terus terjadi dan belum memiliki payung hukum yang cukup. Meski RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum kunjung disentuh DPR, usaha-usaha penghapusan KTP terus dilakukan. Salah satunya lewat peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) yang di dalamnya menuntut segera disahkannya RUU tersebut.
Peringatan HAKTP diselengarakan secara global selama 16 hari, dari 25 November-10 Desember. Lebih dari 60 negara menyelenggarakannya. Di Indonesia, 16 HAKTP diperingati pertama kali tahun 2001 oleh Komnas Perempuan.
Perjuangan dari Zaman Beheula
Usaha penghapusan kekerasan terhadap perempuan sudah dilakukan gerakan perempuan di berbagai negara sejak lama. Mulanya, feminis negara dunia pertama berhasil memasukkan dekade perempuan (1975-1985) dalam agenda PBB. Menyusul kemudian disahkannya Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention On The Elimination of All Forms Discrimination Against Women, CEDAW) pada 1979.
Perjuangan untuk menghapuskan diskriminasi gender berlanjut, salah satunya dengan membentuk Women’s Global Leadership Institute (WGLI) yang diadakan pertamakali pada 3-15 Juni 1991. Ke-23 pesertanya berasal dari berbagai bidang, seperti pengacara, pembuat kebijakan, guru, petugas kesehatan, peneliti, jurnalis, dan aktivis. Syarifah Sabaroeddien, pendiri Kalyanamitra dan saat itu merupakan dosen kriminologi UI, ikut hadir dalam pertemuan para aktivis perempuan sedunia itu.
“Kalyanamitra memang sudah sering mendapat ajakan dari rekan-rekan feminis di negara lain untuk ikut dalam konvensi internsional. Dalam WGLI itu, almarhum Ifa (panggilan akrab Syarifah, red.) yang berangkat,” kata Myra Diarsi, pendiri Kalyanamitra sekaligus rekan Syarifah.
Baca juga: Awal Mula KDRT Diusut
Pertemuan itu lalu melahirkan kampanye 16 HAKTP yang diperingati sampai sekarang. Tanggal 25 November dipilih sebagai hari pertama kampanye internasional melawan KTP untuk mengenang Mirabal bersaudara –Patria, Maria, Antonia, dan Belgica– yang dibunuh secara brutal pada 1960 karena melawan kediktatoran Presiden Rafael Tujillo. Peringatan terbunuhnya Mirabal bersaudara pertama dilakukan tahun 1981 oleh feminis Amerika Latin dan Karibia.
Kampanye 16 HAKTP berakhir pada 10 Desember bersamaan dengan peringatan Hak Asasi Manusia Internasional. Sepanjang 16 hari, terdapat pula Hari AIDS Sedunia (1 Desember), Peringatan Pembantaian Mahasiswi Teknik di Montreal (6 Desember), dan Hari Penghapusan Perbudakan (2 Desember). Rentang waktu 16 hari dipilih karena menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM.
Menemukan Gerak Bersama
Dalam pertemuan Women’s Global Leadership Institute (WGLI), para aktivis perempuan menghimpun laporan kekerasan yang mereka temukan di wilayah masing-masing. Laporan itu lalu diterbitkan pada 1992, memuat data-data kekerasan secara global, dari negara maju sampai negara berkembang. Laporan itu menunjukkan, kekerasan terhadap perempuan terjadi di mana saja dan kepada perempuan di berbagai latar belakang budaya, dengan kata lain KTP terjadi dalam kehidupan sehari-hari.
Keikutsertaan Syarifah dalam WGLI membuat gerakan perempuan Indonesia di era Orde Baru menemukan rekan seperjuangan. “Pertemuan dengan Women’s Global Leadership semata menemukan dan meneguhkan kalau perjuangan melawan kekerasan terhadap perempuan tidak kami lakukan sendiri,” kata Myra.
Langkah Kalyanamitra, organisasi yang didirikan Syarifah bersama Myra, Ratna Saptari, Debra Yatim, dan Sita Aripurnami, memperjuangkan penghapusan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia jadi makin terbuka. Sejak 1986, ketika pembahasan tentang KTP masih sangat tabu, Kalyanamitra telah mengkampanyekan kasus-kasus perkosaan dan pelecehan seksual melalui kampanye anti-KTP dan advokasi pada korban. Kalyanamitra melakukannya dengan cara mencari dan mendatangi korban satu persatu lalu memberi konseling psikologis dan mengadvokasi.
Baca juga: Nani, Teman Para Perempuan yang Terluka
Mengingat banyaknya korban kekerasan yang mereka tangani dan hasil temuan dalam laporan WGLI, Kalyanamitra menginisiasi pertemuan dengan gerakan perempuan di Indonesia, Malaysia, Filipina, dan Thailand selepas WGL. Pertemuan itu membahas tentang kekerasan terhadap perempuan dari berbagai aspek dan cara-cara mengadvokasi korban KTP.
“Kami sangat concern dengan kasus perkosaan karena waktu itu KUHP 285 mendefinisikan perkosaan sebagai pemaksaan hubungan seksual yang tidak diinginkan kepada perempuan yang bukan istrinya. Jadi perkosaan dalam rumah tangga dianggap tidak ada,” kata Myra.
Gerakan perempuan lalu mengajak beberapa praktisi hukum seperti Nursjahbani Katjasungkana dan Tumbu Saraswati untuk mengusulkan pembentukan payung hukum kekerasan dalam rumah tangga (KDRT). Untuk mewujudkannya, mereka sering berkumpul di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).
“Dua belas tahun kemudian usulan itu baru disahkan lewat UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT,” kata Myra.
Baca juga: Menanti RUU PKS Disahkan
Sambil terus berjuang di bidang hukum, gerakan perempuan konsisten mengkampanyekan KTP meski kala itu baru dilakukan secara sporadis dan belum menyelenggarakan kampanye panjang 16 HAKTP. Kampanye yang dilakukan pada 1980-an, Myra melanjutkan, berusaha melawan pikiran patriarki yang menganggap perkosaan dan pelecehan seksual hanya ekses pelanggaran HAM. Gerakan perempuan terus menyuarakan agar kasus-kasus KTP dianggap serius dan bagian dari pelanggaran HAM.
Atas desakan aktivis perempuan, negara lalu membentuk Komnas Perempuan (KP) usai Reformasi. KP membantu menghimpun gerakan menjadi lebih besar. “Setelah Komnas Perempuan berdiri, kami bikin kampanye itu (16 HAKTP, red.) secara lebih institusional,” kata Myra.
Beragam upaya untuk menghapus KTP terus dilakukan dengan perhatian yang berbeda tiap zaman. Kini, gerakan perempuan fokus mendorong pemerintah agar mengesahkan RUU Penghapusan kekerasan seksual yang tak kunjung dilegalkan.
“Sampai sekarang RUU Penghapusan Kekerasan Seksual belum disahkan, padahal sudah diajukan sejak dua tahun lalu. Kalau tidak ada payung hukumnya, bagaimana penghapusan KTP bisa dilakukan dengan lebih masif?” Kata Mariana.