NENENG harus pasrah menerima nasib. Oleh suaminya, dia dilecehkan. Dibantu LBH Apik Neneng memperkarakan pelecehan itu ke jalur hukum pada 1997. Sayang beribu sayang, pembuktian kasus tersebut cukup sulit lantaran kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih asing saat itu dan tak ada payung hukumnya.
Usaha panjang pembuktian di pengadilan akhirnya membuahkan hasil berupa ancaman hukuman delapan bulan penjara terhadap suami Neneng. Namun, hukuman itu hanya bisa dieksekusi bila sang suami kembali melecehkan istrinya selama satu tahun masa percobaan hukuman.
Kala itu, hukum di Indonesia belum mengatur tentang KDRT. Definisi kekerasan pun masih sebatas luka fisik. KUHP pasal 285 yang mengatur perkosaan, tidak memasukkan istri dalam kategori korban, meniadakan kemungkinan terjadinya pemerkosaan dalam rumah tangga. Ditambah adanya pemeo bahwa orang tak berhak ikut campur masalah rumah tangga orang lain, korban sulit mendapat bantuan sehingga kasus KDRT makin sulit ditangani.
Kasus Neneng menjadi titik tolak pengusulan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (RUU PKDRT) yang diinisasi LBH Apik. Di tahun tersebut, mereka menghadapi situasi krisis dengan banyaknya temuan kasus KDRT seperti pemukulan, penelantaran, atau perkosaan dalam rumah tangga (marital rape).
Baca juga: Usaha Alot Menghapus Kekerasan Terhadap Perempuan
“Gagasannya sejak 1997. LBH Apik mencatat ada peningkatan kekerasan pada istri. Temuan ini mendorong masyarakat menyepakati perlunya UU PKDRT,” kata Anita Dhewy, pemimpin redaksi Jurnal Perempuan dalam “Peluncuran Jurnal Perempuan Edisi 100” di Hotel JS Luwansa, Rabu (27/03/2019) lalu.
Usaha pengusulan RUU PKDRT dimulai pada November 1997. LBH Apik membuat pertemuan dengan pemuka agama, penegak hukum, dan pendamping korban. Dari hasil pembicaraan itu mereka sepakat untuk mengusulkan pembuatan RUU PKDRT. Sebagai tindak lanjut, dibentuk pula Jaringan Kerja Advokasi Keamanan dalam Rumah Tangga (Jangkar) yang dimotori LBH Apik bersama 15 organisasi lain, salah satunya organisasi mantan polisi wanita.
“Ada juga Forum Parlemen yang di luar struktur DPR. Forum ini jadi penghubung dengan Komisi VII yang menangani RUU PKDRT,” kata Anita.
Lewat sidang paripurna 13 Mei 2003, RUU PKDRT ditetapkan sebagai RUU Inisiatif DPR. “Semua fraksi setuju menjadikannya RUU Inisiatif DPR meski terdapat sejumlah catatan dari fraksi partai Islam,” kata Ratna Batara Munti seperti dikutip Anita dalam Jurnal Perempuan Vol. 24 No. 1 Februari 2019.
Baca juga: Kekerasan Seksual Terhadap Perempuan Pasca Peristiwa 1965
Untuk mempercepat pengesahan RUU PKDRT, para penyokong menggelar aksi Gerakan Seribu Payung di depan Istana Merdeka pada 31 Mei 2004. Demonstrasi ini tak sia-sia. Presiden Megawati bersedia menerima perwakilan massa. Setelah itu, Megawati mengeluarkan Amanat Presiden yang menunjuk kementerian terkait untuk membahas RUU PKDRT bersama DPR dan membuat inventaris masalah.
Hasilnya, UU No. 23 tentang PKDRT yang disahkan tahun 2004. UU ini memuat beberapa pembaruan hukum pidana, seperti definisi kekerasan yang lebih luas, mencakup fisik, psikis, seksual, dan ekonomi dengan pembuktian yang mengutamakan pengakuan korban sebagai saksi utama plus satu bukti.
Kendati sudah 15 tahun disahkan, angka KDRT masih tinggi. Catahu Komnas Perempuan merilis data KDRT 2018 mencapai 9.637 kasus dengan kekerasan fisik sebagai angka tertinggi, yakni 41% atau 3.927 kasus.
Baca juga: Menanti RUU PKS Disahkan