Pertengahan 1946, Bekasi dibekap kecemasan. Beredar isu bahwa mata-mata Belanda dari arah Jakarta mengalir deras ke daerah-daerah Republik. Ciri-ciri mereka: selalu menyembunyikan kode dengan simbol-simbol merah-putih-biru, corak bendera kebangsaan Belanda. Akibatnya, penjagaan di stasiun-stasiun sekitar garis demarkasi pun diperketat. Kepada Historia, Mat Umar (90) menyatakan kesaksiannya bagaimana para penumpang kereta api dari arah Jakarta diturunkan di stasiun Kranji. Sebagian yang dicurigai kemudian dipisahkan dan langsung dieksekusi di belakang stasiun.
“Saya melihat seorang bapak dan anak perempuannya dipenggal dengan sebilah clurit karena membawa kertas warna merah putih biru di tas mereka,” ujar eks anggota lasykar di Bekasi.
Sementara itu di daerah Karawang terjadi saling curiga mencurigai di antara para pejuang. Pasalnya, seorang pemuda lasykar yang baru keluar dari tawanan militer Belanda “dipesan”oleh seorang letnan Belanda dari bagian intelijen untuk menyampaikan pertanyaan kepada seorang jenderal: mengapa sudah lama tidak pernah berkirim surat?
Alih-alih menyampaikan “pesan” itu langsung kepada sang jenderal, bekas tawanan Belanda itu justru menyampaikan soal ini kepada atasannya langsung di kelasykaran. Maka beberapa hari usai pengaduan itu, seisi kota dipenuhi dengan selebaran gelap yang menyebutkan bahwa “Jenderal A” adalah agen NICA (Pemerintah Sipil Hindia Belanda).
Di lain kesempatan, seorang agen NICA beneran, secara sengaja menjatuhkan sepucuk surat di lantai sebuah kereta api yang menuju daerah Republik. Isi surat itu adalah “perintah-perintah dari NEFIS (Dinas Intelijen Belanda) kepada Mayor Anu disertai ucapan terimakasih atas laporan-laporannya”. Sesuai target sang intel, surat ini kemudian ditemukan oleh seorang anggota lasykar, dibawa ke markas dan dilaporkan kepada sang atasan. Kegiatan intrik mengintrik, fitnah memfitnah pun dimulai.
Hoax (berita bohong) ternyata sudah dijadikan “senjata” sejak masa revolusi oleh intelijen Belanda. Biasanya cara-cara perang urat syaraf itu efektif membuat situasi kacau di garis belakang pihak Republik. Almarhum Jenderal A.H. Nasution menyebut mudahnya pejuang kita terjebak dalam hoax yang diciptakan NEFIS karena banyaknya masalah internal yang belum terselesaikan saat itu.
“ Serangan psikologis itu mencapai targetnya karena adanya kekacauan organisasi pertahanan dan masih kurang cerdasnya rakyat kita…” tulis Nasution dalam Tentara Nasional Indonesia Bagian I.
Yang paling menderita dari adanya situasi tersebut tentu saja adalah rakyat sipil. Menurut Jenderal Nasution, akibat “kesembronoan” pihak lasykar dan tentara Republik saat menyikapi hoax, tak jarang jatuh korban jiwa dari kalangan rakyat sipil tak berdosa .
Selain ancaman pembunuhan dan penyiksaan, “isu mata-mata Belanda” juga kerap dimanfaatkan oleh “para lelaki hidung belang” untuk menjalankan praktek pelecehan seksual terhadap para pedagang perempuan yang sehari-hari harus melintasi garis demarkasi. Itu bisa dilakukan oleh para anggota lasykar, tentara Republik maupun serdadu Belanda.
Soe Hok Gie pernah membahas tentang nasib memilukan para perempuan tukang beras antara Krawang-Bekasi pada era revolusi tersebut. Ia menuliskan bagaimana untuk menghindari tewas atau ditangkap karena hoax , para tukang beras itu tak segan-segan mengorbankan harga dirinya dengan membiarkan mereka dilecehkan(bahkan disetubuhi) oleh para lasykar dan tentara yang menjaga perbatasan garis demarkasi.
“ Di daerah garis demarkasi yang dijaga serdadu Belanda , mereka pun harus mengalami kejadian yang sama…” tulis Soe Hok Gie dalam Zaman Peralihan.