Masuk Daftar
My Getplus

Perdamaian Maludin Simbolon dan Djamin Gintings

Secara adat, Simbolon dan Gintings terikat tali kekerabatan. Pilihan politik yang berbeda menyebabkan keduanya merenggang, namun kemudian akur kembali.      

Oleh: Martin Sitompul | 30 Mei 2024
Maludin Simbolon dan Djamin Gintings. Sumber: Wiki.

Letkol Djamin Gintings gamang. Pemerintah pusat menunjuknya sebagai panglima Teritorium I/Sumatra Utara menggantikan Kolonel Simbolon. Gintings sebelumnya adalah kepala staf Teritorium I atau wakilnya Simbolon. Tapi, pemerintah belum percaya sepenuhnya pada Gintings. Andai kata Gintings gagal menjalankan peran barunya, pemerintah telah menyiapkan opsi perwira lain sebagai penggantinya, yaitu komandan Resimen II Letkol Abdul Wahab Makmur.

“Penunjukan Letkol A. Wahab Makmur sebagai alternatif kedua menduduki jabatan di Teritorium-I merupakan ‘cambuk pelecut’ bagi Letkol Djamin Gintings untuk menerima tawaran, catat Payung Bangun dalam biografi Kolonel Maludin Simbolon: Lika-liku Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa.

Gintings resmi menjabat panglima teritorium sejak 27 Desember 1956. Lima hari sebelumnya, Simbolon mengumumkan pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat lewat pembentukan Dewan Gajah. Setelah pemerintah memecat Simbolon, Gintings dan Wahab Makmur mengerahkan pasukan masing-masing untuk menangkap Simbolon.

Advertising
Advertising

Baca juga: Drama Malam Natalan: Kisah Penangkapan Kolonel Maludin Simbolon

Pasukan Gintings, seperti dicatat Audrey Kahin dalam Dari Pemberontakan ke Integrasi: Sumatra Barat dan Politik Indonesia 1926—1998, mengepung rumah Simbolon di Medan. Simbolon kian terdesak karena kekurangan pendukung lokal yang cukup untuk bertahan. Lantaran diburu terus oleh mantan bawahannya, Simbolon kemudian mengungsi ke Tapanuli. Seterusnya, Simbolon mencari perlindungan kepada Letkol Ahmad Husein yang juga mendirikan Dewan Banteng di Padang, Sumatra Barat.

Sementara itu, dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI disebutkan Djamin Gintings dan Wahab Makmur berhasil mendesak pasukan-pasukan Simbolon dari Medan. Simbolon mengundurkan diri ke Tanjung Morawa membawa sisa pasukannya lebih kurang 300 orang. Di daerah tersebut, anak buah Simbolon mendapat perlindungan dari pasukan yang berada di bawa pengaruh Dewan Banteng.

“Dengan mundurnya Simbolon beserta anak buahnya ke luar Kota Medan, praktis aktivitas Dewan Gajah telah dapat dilumpuhkan,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro, dkk, dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid VI: Zaman Jepang dan Zaman Republik.

Baca juga: Di Balik Upaya Penangkapan Kolonel Simbolon

Simbolon kemudian terlibat dalam pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) bersama beberapa panglima daerah yang bergolak. Perlawanan PRRI tumpas pada 1961. Simbolon ditahan dalam karantina politik, berpindah dari satu tempat ke tempat lain selama lima tahun. Dia baru dibebaskan setelah Presiden Sukarno lengser.

“Sesudah Supersemar, 11 Maret, tindakan pertama dari Pak Harto, adalah melarang PKI, melarang komunisme, Marxisme. Wah, itu saya lupa diri, saya dalam tahanan melonjak-lonjak karena gembira. Berarti yang dulu saya perjuangkan, benar,” kata Simbolon dalam Majalah Mutiara No. 832, 1—7 Oktober 1996.

Simbolon jelas kecewa atas kesediaan Gintings menggantikannya sebagai panglima, bahkan kemudian hendak menangkap dirinya. Padahal, Gintings termasuk perwira yang mendukung gagasan Simbolon tentang otonomi daerah. Lagipula antara Simbolon dan Gintings terikat tali kekerabatan (pomparan) marga keturunan Raja Naiambaton atau Parna (Parsadaan Naiambaton). Marga-marga yang terikat Parna adalah saudara dan keturunannya tidak saling mengawini. Di sisi lain, Gintings juga tak punya pilihan selain turut pada perintah pusat.

Baca juga: Djamin Gintings Nyaris Dibunuh

Sekali waktu, setelah bebas dari karantina politik, Simbolon diundang oleh Arsenius Elias Manihuruk, koleganya sesama prajurit TNI asal Tanah Batak. Di kediamannya, Manihuruk menyelenggarkan pertemuan orang-orang Batak. Rupanya dalam pertemuan itu turut diundang pula Djamin Gintings. Manihuruk mengatur supaya Simbolon dan Gintings bisa duduk berdampingan. Simbolon terkejut begitu melihat Gintings juga kumpul di rumah Manihuruk.

“Kawan ini ada di sini,” pikir Simbolon, “Saya kira, dia (Gintings) pikir juga begitu,” kata Simbolon.

Menurut Simbolon, selama dalam tahanan, dia banyak merenung. Dalam perenungannya, Simbolon mengadakan refleksi iman sebagai seorang Kristen. Dalam agama itu, Simbolon diajarkan untuk mengasihi. Tentu saja semua agama mengajarkan untuk berbuat baik kepada orang lain.

“Saya sudah ampuni, saya sudah lupakan apa yang terjadi di Medan dulu,” tutur Simbolon dalam Mutiara.

Baca juga: Djamin Gintings, Pahlawan Nasional dari Tanah Karo

Alih-alih meluapkan amarah, Simbolon lebih dulu menyambut Gintings. Supaya tidak kikuk, Simbolon mengajak Gintings berbincang. “Cuma saya lihat dia memang agak kikuk,” kenang Simbolon, “Tapi saya bikin bicara-bicara supaya lama-lama suasana menjadi enak, cair.”

Itulah pertemuan pertama Simbolon sesudah berpisah dengan Djamin Gintings pada akhir Desember 1956. Pada akhirnya, kedua pejuang asal Sumatra Utara ini berdamai. Tiada lagi friksi ketika mereka bersua kembali.

Gintings wafat tak lama kemudian, pada 23 April 1974 di Ottawa, sewaktu menjabat duta besar Indonesia untuk Kanada. Sementara itu, Simbolon setelah meninggalkan dunia militer beralih menjadi pengusaha. Dia wafat pada 15 April 2000. Gintings dan Simbolon sama-sama dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.  

Baca juga: Ketika Djamin Gintings Rindu Tanah Air

TAG

djamin gintings maludin simbolon

ARTIKEL TERKAIT

Pasukan Kelima, Kombatan Batak dalam Pesindo Antiklimaks Belanda Usai Serbuan di Ibukota Republik Operasi Pelikaan Ditolak, Gagak Bertindak di Ibukota Republik Menjelang Blitzkrieg di Ibukota Republik Dari Penaklukkan Carstensz hingga Serangan VOC ke Kesultanan Gowa Setelah Inggris Menjadikan Bekasi Lautan Api Saat Pelantikan KSAD Diboikot Hans Christoffel Memburu Panglima Polem Memori Getir Pembantaian Hama Bambang Utoyo, KSAD Bertangan Satu