Masuk Daftar
My Getplus

Nas yang “Ditendang” ke Atas

Tak lagi sejalan dengan Panglima Tertinggi, Jenderal Nasution dipinggirkan dari gelanggang kekuasaan. Perkara politik dan pribadi jadi musababnya.     

Oleh: Martin Sitompul | 06 Sep 2019
Jenderal Nasution bercengkrama dengan Presiden Sukarno. Foto: Perpustakaan Nasional RI.

JENDERAL Abdul Haris Nasution duduk termenung di depan meja kerjanya. Sejurus kemudian, Nas (panggilan akrab Nasution) menerima telepon dari Mayjen Ahmad Yani. Oleh bawahannya itu, dia diberitahu bahwa tiga hari lagi, mereka akan serah terima jabatan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD).

“Saya merasakan dalam posisi yang mengambang. Memang dalam prakteknya sudah lama Yani memegang pimpinan sehari-hari dalam AD,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama.

Dalam pembicaraan di telepon, Yani mengatakan bahwa dirinya menginginkan serah terima secara formal. Para panglima Angkatan Bersenjata dan pejabat teras AD telah diundang menghadiri acara tersebut. Nasution sendiri rencananya akan menduduki jabatan Kepala Staf Angkatan Bersenjata (KSAB). Itu artinya, Nas melepaskan kedudukannya dari fungsi komando AD.

Advertising
Advertising

Baca juga: Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan

Memang saat itu, Nas sudah mulai jarang memegang kendali di AD. Dia lebih banyak menghabiskan waktu di Departemen Pertahanan dan Keamanan sembari keliling daerah. Yani yang semula adalah Deputi II-nya Nasution digadang oleh Presiden Sukarno untuk memimpin AD.

“Rupanya Jenderal Yani tidak ada maksud menunda, walaupun saya sedang menghadapi krisis soal KSAB tadi yang tak dapat saya terima dengan rela hati,” ujar Nas.  

Titah Panglima Tertinggi

Pada pagi hari, 23 Juni 1962, serah terima berlangsung di Istana Negara. Presiden Sukarno melantik Ahmad Yani sebagai KSAD. Bintang tiga pun melekat di pundaknya. Yani resmi menjadi orang nomor satu di jajaran AD, menggantikan Nasution. Dalam pidato pelantikan itu, Presiden Sukarno tidak lupa menyampaikan rasa terima kasihnya atas pengabdian Nasution.

“Jendral Abdul Haris Nasution, dengan saya mengucap banyak-banyak terima kasih atas segala jasa-jasa yang telah beliau berikan kepada tanah air, negara dan bangsa, kami berhentikan sebagai Kepala Staf Angkatan Darat dan kami angkat Jenderal Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersenjata,” kata Bung Karno dalam amanatnya yang diterbitkan Departemen Penerangan.

Baca juga: Ahmad Yani, Sang Flamboyan Pilihan Bung Karno

Pada kesempatan itu, Sukarno juga mengumumkan reorganiasi angkatan bersenjata. AD, AL, AU, dan Angkatan Kepolisian diintergrasikan langsung di bawah naungan presiden selaku Panglima Tertinggi. Masing-masing kepala staf akan diangkat jadi setingkat menteri dengan kedudukan sebagai panglima: Pangad, Pangal, Pangau, dan Pangak.

“Maka untuk mengintegrasikan keempat Angkatan ini, saya adakan Kepala Staf Angkatan Bersenjata dan saya pandang cakap saudara Abdul Haris Nasution menjadi Kepala Staf Angkatan Bersendjata itu,” demikian maklumat Sukarno.

Bagi Yani, itulah hari paling membanggakan dalam hidupnya. Yani menggapai puncak kariernya sebagai seorang perwira militer. Namun bagi Nasution, tampaknya menjadi hari yang kelabu.

Nasution Disingkirkan

Jabatan KSAB terdengar mentereng. Namun sesungguhnya, kedudukan itu sama sekali tanpa wewenang komando. Komando operasi TNI sudah ada dalam Komando Operasi Tertinggi (KOTI) di bawah komando presiden. Adapun kepala staf KOTI juga dijabat oleh Ahmad Yani. Nasution mengeluh seakan dirinya ditendang ke atas.  

“Saya merasa bahwa ini adalah jabatan kosong,” kata Nas dalam memoarnya. “Jadi bagi KSAB akan tertinggal hanya soal-soal koordinasi administrasi.”   

Nasution telah memegang jabatan tertinggi dalam AD selama tujuh tahun berturut-turut. Sebagai wujud regenerasi kepemimpinan, wajar saja bila Nasution diganti. Kendati demikian, rupanya ada prahara politik antara Sukarno dan Nasution.

Menurut penelitian Ulf Sundhaussen dalam disertasinya di Monash University, Nasution sengaja disingkirkan karena galak mengkritik Sukarno. Kritik ini terutama menyangkut korupsi dan kehidupan pribadi. Perkara inilah menyebabkan Nasution dicopot agar kekuasaannya dalam AD tidak semakin besar.   

Baca juga: Kala Tentara Menguasai Negara

“Siapapun yang akan menggantikan Nasution dalam pimpinan tentara tidak boleh mempunyai kekuasaan dan kemahiran yang sama dengan yang dimilikinya untuk memimpin kegiatan-kegiatan politik tentara,” tulis Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia 1945—1967.

Urusan Pribadi

Penyingkiran Nasution menyingkap ironi. Nasution adalah sosok berjasa dibalik tegaknya kekuasaan Sukarno ketika mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959. Pakar politik-militer Salim Said dalam Gestapu 65: PKI, Aidit, Soekarno, dan Soeharto mengatakan, “Nasution yang anti-Komunis adalah penghalang utama agenda politik Nasakom Sukarno.

Baca juga: Ada Nasution di Balik Dekrit Presiden

Urusan personal ternyata juga turut jadi faktor merenggangnya relasi Sukarno dan Nasution. Sukarno kurang menyukai sikap puritan ala Nasution. Apa yang terjadi kemudian pada mereka adalah hubungan yang tidak serasi yang berkembang jadi perselisihan.

Cekcok antara Sukarno dan Nasution biasanya bermula dari hal-hal kecil yang tidak disengaja. Akibatnya bisa fatal. Seperti misalnya, ketika Nasution tiba-tiba harus meninggalkan Sukarno dalam rapat atau pertemuan dengan tamu penting di Istana untuk melaksanakan ibadah salat. Nasution menyadari sikapnya dapat menggangu protokoler kenegaraan yang ketat. Tapi sebagai penganut Islam yang taat, Nasution tidak mungkin menggadaikan imannya demi aturan-aturan protokoler.  

Nas juga selalu bersikap antipati terhadap siapa saja lelaki yang mengambil istri kedua. Prinsip tersebut  tidak berubah ketika Sukarno menikahi Hartini setelah memperistri Fatmawati. Dia selalu menolak undangan Sukarno sowan ke Istana Bogor, dimana Hartini menjadi nyonya disana.  

Baca juga: Hartini dan Jenderal Anti Poligami

Sang jenderal pun kerap meninggalkan acara tari lenso yang sangat digemari Sukarno. Bung Karno sampai pernah berkata dengan sebal pada Nasution, “Je leert het nooit.” Artinya, “Kamu tidak pernah mempelajarinya.”  

Sukarno kadung jengkel. Nasution harus dipinggirkan. Demikianlah yang akhirnya terjadi.

“Baru kelak setelah G30S saya dapat tahu bahwa sayalah orang ‘kepala batu’ yang perlu disingkirkan,” kenang Nas.

TAG

Jenderal Nasution Ahmad-Yani TNI

ARTIKEL TERKAIT

Sejarah Prajurit Sudirman dan Bola M Jusuf "Jalan-jalan" ke Manado Sehimpun Riwayat Giyugun Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Jenderal Kehormatan Pertama Penyandang Jenderal Kehormatan, dari Sri Sultan hingga Prabowo Subianto Pengemis dan Kapten Sanjoto Hubungan Jarak Jauh Pierre Tendean Kisah Kaki Prabowo Muda Jenderal-jenderal Madura