Masuk Daftar
My Getplus

Bom Siliwangi di Bumi Pasundan

Kisah unit-unit tempur Republik yang sengaja “ditanam” di Jawa Barat pasca kesepakatan Perjanjian Renville.

Oleh: Hendi Johari | 20 Jun 2020
Pasukan Siliwangi siap hijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta pada Februari 1948 (Arsip Nasional Belanda)

SUATU hari di bulan Mei 1948. Senja mulai memasuki Curug Sawer yang dingin. Suara air terjun bergemuruh memerangi sunyi di kawasan yang termasuk wilayah Cianjur Selatan itu. Diapit tebing tinggi dan jurang menganga, iring-iringan konvoi militer Belanda merayap di jalan sempit. Beberapa serdadu bule di dalamnya nampak tegang, sebagian di antara mereka menghisap rokok untuk mengusir rasa takut. Senjata-senjata mereka siap ditembakkan.

Begitu jip pengawal iring-iringan lewat, rentetan tembakan berhamburan dari atas tebing-tebing tinggi. Granat-granat melayang dibarengi teriakan nyaring yang membuat suasana semakin mencekam. Di balik sebuah pohon besar, Kopral BM. Permana menembakan Stengun-nya. Begitu juga dengan pimpinan pasukan, Letnan Djadja Djamhari tak henti-henti menembakan pistol seraya memberi komando. Tak terasa setengah jam pun berlalu.

“Mereka akhirnya lari dengan meninggalkan sebuah truk yang berisi sekitar 10 prajurit KL yang langsung kami hantam tanpa ada yang tersisa,” kenang lelaki kelahiran Kebumen, 94 tahun lalu itu.

Advertising
Advertising

BM. Permana adalah seorang prajurit muda dari Kompi IV Batalyon 2 Brigade Infanteri 2 Soerjakantjana Divisi Siliwangi. Berbeda dengan sebagian besar kawan-kawannya yang dikirim untuk berhijrah ke Yogyakarta akibat pemberlakuan Perjanjian Renville saat itu, ia justru ditugaskan untuk tetap bertahan di wilayah Cianjur Selatan.

“Tentu saja kami kami tidak menggunakan nama Siliwangi lagi, tapi sebagai Kesatuan Patriot Bangsa. Kalau Belanda sih menyebut kami sebagai “gerombolan liar,” kata BM. Permana.

Letnan M. Adnan dari Brigade Infanteri 2 (Brigif 2) Soerjakantjana menguatkan pernyataan BM. Permana.  Ia masih ingat, pada hari-hari menjelang hijrah, dirinya dipanggil oleh Letnan Kolonel A.E.Kawilarang (Komandan Brigif 2 Soerjakantjana) ke Sukabumi. 

Baca juga: 

Alex Kawilarang, Kisah Patriot yang Dicopot

 

“Saat bertemu Pak Kawilarang itulah, saya diperintahkan untuk tinggal di Jawa Barat untuk terus menghadapi tentara Belanda,” ujar M. Adnan seperti tertulis dalam dokumen Dewan Harian Cabang Angkatan 45 Cianjur berjudul Beberapa Catatan Tentang Sejarah Perjuangan Rakyat Cianjur dalam Merebut dan Mempertahankan Kemerdekaan Negara Kesatuan Republik Indonesia 1942-1949.

Namun ada dua syarat yang wajib ditaati oleh pasukan-pasukan Siliwangi yang diperintahkan bertahan itu. Pertama, jika tertangkap oleh militer Belanda jangan pernah mengaku sebagai bagian dari Divisi Siliwangi dan saat beraksi dilarang keras menggunakan nama kesatuan asli. Kedua, seluruh anggota Divisi Siliwangi yang ditanam di Jawa Barat dilarang keras masuk ke wilayah-wilayah Republik Indonesia versi Perjanjian Renville. Jika ternyata tetap ada yang melarikan diri ke wilayah-wilayah tersebut, maka mereka akan langsung ditembak mati tanpa proses pengadilan.

Soal “penanaman” pasukan itu juga tercatat dalam Siliwangi dari Masa ke Masa (ditulis oleh Sedjarah Militer Daerah Militer VI Siliwangi/Sendam VI Siliwangi pada 1968), hasil kesepakatan Perjanjian Renville memang diterima dengan setengah hati oleh pihak tentara. Kendati pada akhirnya menerima keputusan untuk mengosongkan Jawa Barat, namun diam-diam Panglima Besar Jenderal Soedirman telah menugaskan Letnan Kolonel Soetoko untuk tetap mengkoordinasikan perlawanan bersenjata di tanah Pasundan.

“Mereka ibarat bom waktu yang sengaja ditinggal oleh Siliwangi di bumi Pasundan,”ujar sejarawan Rushdy Hoesein.

Baca juga: 

Darah dan Air Mata Long March Siliwangi

 

Letnan Kolonel Soetoko kemudian membentuk Brigade Tjitaroem, sebagai induk pasukan dari beberapa kesatuan tempur “bekas” Divisi Siliwangi. Soetoko sendiri akhirnya tertangkap Belanda pada Agustus 1948. Di bawah kendali Brigade Tjitaroem, ada beberapa batalyon yang tidak ikut hijrah ke Yogyakarta dan memang secara sengaja “ditanam” di daerah pendudukan.

“Yang saya ingat di antaranya  adalah pasukan Mayor Soegih Arto di Cililin, pasukan Letnan Effendi di Gentong-Tasikmalaya, pasukan Letnan Tjoetjoe di Gunung Cikuray-Galunggung, pasukan Letnan Zakaria di Bekasi, dan sebagian anggota Brigade Infanteri Soerjakantjana  di Cianjur-Sukabumi,” kata Letnan Kolonel (Purn) Eddie Soekardi, sesepuh Divisi Siliwangi.

Aksi rahasia yang dilakukan oleh TNI itu bukannya tidak tercium oleh pihak militer Belanda. Guna mengantisipasi aksi-aksi yang dijalankan oleh “pasukan liar” tersebut, pihak militer Belanda memutuskan untuk menjalankan operasi-operasi pembersihan di daerah-daerah yang ditinggalkan oleh pasukan Siliwangi.

Salah satu kawasan di Jawa Barat yang dinilai “corak republik”nya masih kental adalah Sukabumi. Di daerah itu, propaganda-propaganda pro-republik terus berlangsung. Bahkan, penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda juga sering terjadi, kadang-kadang secara sporadis.

Kekacauan-kekacauan itu tentu saja menimbulkan kemarahan pihak militer Belanda. Menurut salah seorang saksi sejarah bernama Atjep Abidin (93), tidak jarang usai terjadi penyerangan terhadap pos-pos militer Belanda, operasi pembersihan langsung dilakukan beberapa jam kemudian.

“Rakyat sipil dikumpulkan. Setelah dintimidasi, beberapa kaum lelaki dari mereka diambil dan dimasukkan ke penjara militer Van Delden, yang terletak di Gunung Puyuh, Sukabumi” ujar anggota Legiun Veteran Republik Indonesia (LVRI)  Takokak ini.

Baca juga: 

Kisah Pembantaian di Cianjur Selatan

 

Menurut Atjep, operasi pembersihan yang paling sering dilakukan yaitu di kawasan Nyalindung dan Sagaranten. Kedua tempat tersebut memang dikenal sebagai basis fanatik kaum Republik. Selanjutnya dari Van Delden, secara berkala, orang-orang yang dinilai militer Belanda sebagai kaum Republik dibawa ke wilayah Takokak, nama suatu kawasan yang terletak kira-kira 25 km di utara Sukabumi. Sejak zaman Hindia Belanda, kawasan itu merupakan daerah perkebunan teh yang memiliki kontur pegunungan serta dipenuhi hutan dan jurang.

Salah seorang mantan gerilyawan di Sukabumi, Yusuf Soepardi (95) mengakui bahwa saat itu nama Takokak sebagai tempat eksekusi mati kaum Republik, sudah menjadi rahasia umum di kalangan masyarakat Sukabumi dan Cianjur.

“Kalau ada orang Sukabumi atau Cianjur dibawa oleh tentara Belanda ke sana, ya jangan berharap ia bisa pulang lagi ke rumah…” ujar veteran yang di masa-masa tuanya pernah menjadi kuli panggul di Pasar Induk Cianjur tersebut.

Sepeninggal Divisi Siliwangi hijrah ke  Jawa Tengah, sesungguhnya tak ada perubahan situasi yang berarti di Jawa Barat. Pertempuran tetap berlangsung dan penyerangan pos-pos militer Belanda tetap terjadi. Itu dilakukan baik oleh pasukan Siliwangi yang sengaja ditinggalkan di Jawa Barat, maupun oleh pasukan Tentara Islam Indonesia (TII) yang secara resmi menentang Perjanjian Renville. 

Kondisi tanpa stabilitas tersebut berlangsung hingga “para maung” Siliwangi pulang kembali ke Jawa Barat menyusul  hancurnya kesepakatan Renville pada 19 Desember 1948. Rakyat Pasundan memang tak pernah ikhlas berada di bawah kungkungan Belanda.

Baca juga: 

Berjudi di Atas Renville

 

 

TAG

divisi siliwangi hijrah

ARTIKEL TERKAIT

Masuk Desa Tanpa Busana Karena Diserang Belanda Hijrah yang Dibenci TNI Dari Hijab hingga Hijrah Ibu dan Kakek Jenifer Jill Pieter Sambo Om Ferdy Sambo Pejuang Tanah Karo Hendak Bebaskan Bung Karno Siapa Penembak Sisingamangaraja XII? Sejarah Prajurit Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ibnu Sutowo dan Para Panglima Jawa di Sriwijaya