Alex Kawilarang, Kisah Patriot yang Dicopot
Dianggap berjasa besar dalam perkembangan awal TNI, karier militer Kolonel A.E. Kawilarang tetiba hancur di ujung tahun 1950-an. Mengapa?
Letnan Jenderal (Purn.) Sajidiman Suryohadiprojo tidak percaya sama sekali jika seniornya di Siliwangi, Kolonel (Purn) Alex Evert Kawilarang adalah seorang pengkhianat. Alih-alih mencap-nya sebagai petualang, Sajidiman justru menyebut Alex (panggilan akrab A.E. Kawilarang) sebagai seorang patriot. Buktinya cukup banyak, ujar mantan Wakasad itu. Sejak tercatat sebagai anggota Tentara Keamanan Rakyat (TKR, cikal bakal TNI) pada 1945, Alex banyak terlibat dalam berbagai peristiwa bersejarah yang menegaskan dirinya adalah seorang loyalis Republik.
Baca juga: Selalu Dikira Tentara Belanda
Memimpin penumpasan pemberontakan Republik Maluku Selatan (RMS), menyelesaikan pembangkangan Andi Aziz dan membentuk pasukan komando di Angkatan Darat, adalah sebagian kecil dari jasa-jasa Alex kepada bangsa Indonesia. Sajidiman yakin jika tak ada pengaruh Alex, sejatinya wilayah Manado dan sekitarnya sudah bergolak sejak awal 1950. Namun mengapa sang kolonel justru bergabung dengan Perjuangan Semesta (Permesta) pada 1958?
“Ia bergabung dengan Permesta karena marah saat Manado dibom oleh pemerintah RI,” ujar Sajidiman kepada Martin Sitompul dari historia.id.
Baca juga: Misteri Penamparan Soeharto
Sajidiman bisa jadi benar. Ketika mendengar kampung halaman nenek moyangnya (Manado) dibom oleh AURI pada Februari 1958, dari Washington D.C. (tempatnya bertugas sebagai atase militer Kedutaan Besar Republik Indonesia di Amerika Serikat) Alex langsung mengirimkan kawat kepada Kepala Staf Angkatan Darat (KASAD) Mayor Jenderal A.H. Nasution. Isinya sederhana dan tegas: tidak setuju dengan pemboman tersebut dan menyatakan mundur sebagai atase militer. Demikian penuturan Alex dalam biografinya, Untuk Sang Merah Putih (disusun oleh Ramadhan K.H.)
“Saya marah…Tapi tidak pernah bilang saya akan bergabung dengan Permesta,” ujar Alex dalam wawancara khusus dengan majalah Tempo, 10 Mei 1999.
Mengikuti “deburan hati”, Alex lantas memutuskan untuk pergi ke Manado sekadar untuk menguatkan perasaan rakyat Minahasa yang baru saja dijatuhi bom oleh AURI. Namun kedatangan Alex di Manado tentu saja tidak disia-siakan oleh para pembangkang dari Permesta. Maret 1958, dia didapuk untuk menjadi Panglima Besar Pemerintah Revolusiener Republik Indonesia (PRRI).
“Mereka mengangkat saya sebagai Panglima Besar PRRI. Tapi saya tidak terima. Saya mau bergabung dengan Permesta saja,” ujar mantan Panglima TT III Siliwangi itu.
Alex tidak menyetujui konsep politik PRRI yang dianggapnya memiliki kecenderungan ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia. Dia lebih nyaman untuk bergabung dengan Permesta yang menurutnya lebih berfungsi sebagai oposisi saja. Kendati banyak petinggi Permesta merasa senasib sepenanggungan dengan PRRI, namun Alex menolak itu. Secara pribadi, dia menganggap tujuan politik keduanya berbeda.
Baca juga: Permesta dan Awal Gagasan Otonomi Daerah
Itulah yang menyebabkan Alex bersikeras bahwa dirinya bukan bagian dari kekuatan militer PRRI. Dia hanya menerima dirinya sebagai Panglima Besar Angkatan Perang Revolusiener (APREV), sayap militer Permesta.
“(Karena sikap itulah) dia dicurigai oleh kalangan tertentu (di PRRI dan Permesta) merupakan agen Nasution,” tulis Barbara Sillars Harvey dalam Permesta, Pemberontakan Setengah Hati.
Ketika bergabung dengan Permesta bukan berarti Alex pun tidak memiliki ganjalan. Sebagai seorang nasionalis, dia merasa kecewa dengan motivasi sebagian orang-orang Permesta yang turut berjuang semata-mata ingin melawan dominasi orang-orang Jawa.
“Wah tidak benar kalau begitu. (Tetapi pendapat) itu kebanyakan (dianut) oleh bawahan-bawahan yang kurang mengerti,” kata Alex.
Seiring dengan berjalannya waktu, perlawanan Permesta sendiri lambat laun berhasil dipatahkan. Selain adanya friksi di internal mereka (antara yang pro PRRI dengan yang tidak setuju dengan konsep PRRI), perlahan-lahan Amerika Serikat (AS) pun menarik bantuannya kepada PRRI dan Permesta.
“Omong kosong! Mereka tidak membantu Permesta, tetapi memanfaatkan Permesta untuk diri sendiri,” ujar salah seorang dedengkot Permesta Ventje Sumual dalam majalah Tempo, 5 Desember 1999.
Menurut Ventje, sikap AS berbalik 180 derajat ketika mereka mengetahui bahwa para petinggi tentara seperti A.H. Nasution dan Achmad Jani merupakan para jenderal yang anti komunis juga. Karena itulah harapan politik mereka memblok pengaruh komunisme dialihkan sepenuhnya kepada para jenderal tersebut dan otomatis PRRI/Permesta dibengkalaikan begitu saja.
Sebagai Menteri Pertahanan dan KASAD, pada 3 Maret 1961 Nasution menyerukan kepada kaum pemberontak untuk kembali ke pangkuan ibu pertiwi. Untuk Kawilarang sendiri, seruan untuk kembali juga dilakukan oleh para prajurit-prajurit dari Siliwangi yang sedang ikut menghadapi para gerilyawan Permesta di wilayah-wilayah Sulawesi Utara.
“Anak-anak Siliwangi ada yang memasang tulisan-tulisan di papan, yang isinya memanggil: ‘Pak Kawilarang supaya kembali!’,” kenang Nasution dalam biografinya: Memenuhi Panggilan Tugas Jilid IV: Masa Pancaroba Kedua.
11 April 1961, terjadilah gencatan senjata. Tiga hari kemudian, Wakil Menteri Pertahanan RI Mayor Jenderal Hidajat Martaatmadja (yang tak lain sahabat dekat Alex sejak menjadi taruna di KMA) dan Alex Evert Kawilarang secara bersama-sama bertindak sebagai inspektur suatu barisan Permesta dan pasukan TNI di dekat Tomohon. Hadir pula dalam kesempatan itu beberapa atase militer asing, termasuk Kolonel George Benson, atase militer Kedubes AS di Jakarta.
“Pertentangan antara kita sekarang tak dapat dipertahankan lagi…” demikian pidato Alex seperti dikutip A.H. Nasution dalam Memenuhi Panggilan Tugas Jilid V: Kenangan Masa Orde Lama.
Baca juga: Dua Panglima Bersimpang Jalan
Nasution sendiri baru bisa bertemu dengan Alex pada 12 Mei 1961. Alex yang saat itu terlihat sangat payah (karena terkena malaria saat bergerilya di hutan-hutan Minahasa) menyatakan kesanggupanya untuk mengembalikan semua orang (eks Permesta) ke pangkuan RI.
Pada 22 Juni 1961, terbit sebuah dekrit dari Presiden Sukarno yang berisi pemberian amnesti kepada para pengikut Kawilarang, Somba dan Saerang. Mereka dianggap telah menerima baik seruan kembali ke pangkuan ibu pertiwi.
“Satu upacara di Manado pada tanggal 29 Juli 1961 menandaskan amnesti tersebut dan penghapusan tuduhan-tuduhan resmi terhadap bekas pemberontak tersebut,” tulis Barbara Sillars Harvey.
Bisa jadi tuduhan-tuduhan itu mengacu kepada suatu surat rahasia Kejaksaan Agung bernomor: Plk. A1/6181/762.- yang ditujukan kepada Mahkamah Agung pada 27 Oktober 1958. Dalam surat itu, secara resmi pihak Kejaksaan Agung yang mewakili Pemerintah RI menuduh Kolonel A.E. Kawilarang telah bersekongkol dengan pihak pemberontak dengan mengadakan pertemuan di Singapura pada 8 Oktober 1958.
Baca juga: Hikayat Pasukan Komando Indonesia
Dalam pertemuan itu dibahas berbagai cara guna menghantam Pemerintah RI. Cara-cara itu diantaranya: berupaya mengacaukan perekonomian Indonesia dengan penggabungan perusahaan-perusahaan yang dimiliki kaum pemberontak, menyuap (dengan uang dan perempuan) para oknum petinggi TNI yang kerap datang ke Singapura untuk membantu pihak pemberontak dan menginfiltrasi Resimen 6 Lampung dan Divisi Siliwangi untuk menghasut para anggotanya supaya tidak puas.
Namun bukan berarti pengampunan itu menjadikan Alex kembali ke TNI. Selain dianggap sebagai pucuk pimpinan di militer Permesta, Alex pun mengakui bahwa dirinya tidak mau menyusahkan kawan-kawannya yang mungkin merasa risih berhubungan dengan bekas pemberontak seperti dirinya. Jadi minat untuk kembali berprofesi sebagai tentara sirna sudah.
“Saya sendiri menganggap bahwa kehidupan saya sebagai tentara sudah berhenti sejak Maret 1958,” ujar Alex dalam biografinya.
Apakah itu artinya Alex merasa trauma dengan dunia tentara? Mungkin saja, jika mengingat ketidaksetujuan sang kolonel saat putranya Edwin Kawilarang berniat masuk Akademi Militer pada 1973.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar